|13|

11 0 0
                                    

Adit tidak benar-benar mengerti apa yang ia inginkan ataupun hatinya mau. Rasanya hidup selama dua puluh tahun masih belum memberikan petunjuk apa-apa tentang itu. Sesaat ia ingin melakukan suatu hal tapi dua puluh menit setelahnya, ia berpikir untuk tidak akan melakukannya lagi seumur hidup. Manusia dengan logika dan hatinya memang misteri yang tidak akan pernah terpecahkan.

Kini ia benar-benar hidup mengikuti arus. Just let it flow.. membiarkan dirinya terkejut untuk twist yang dipersiapkan tuhan. Namun Adit tidak setidak peduli itu pada hidupnya, ia masih memikirkan dan memiliki goal yang ingin dicapai dalam beberapa tahun. Jangan lupa ia punya mama serta kakak dan abang yang ingin ia buat bangga.

Disatu sisi, ia telah memproklamirkan kedisfungsian hatinya. Bukan rasa kepada sesama manusia seperti empati dan lainnya. Melainkan tertuju untuk manusia yang berpotensi bergelung dalam rasa yang sama, seperti, hmm.. cinta?

Tapi sebenarnya Adit tidak begitu paham perbedaan dan batas keduanya, ia melihatnya secara abu-abu. Tidak tahu dengan pasti dimana ia harus menggambar garis.

Ia kesal melihat rekan kerjanya yang melakukan seksisme kepada rekan kerja wanita. Makanya ia juga merasa kesal melihat Semesta menggendong Dira saat mereka pulang joging waktu itu, bukankah itu juga sikap seksisme yang menganggap Dira lebih lemah sehingga harus digendong?

Adit juga tidak suka dengan orang yang memperlakukan orang lain secara khusus dan berbeda. Raka pernah bercerita tentang bosnya yang berlaku lebih baik dan khusus terhadap rekan kerja yang ternyata adalah keluarga bosnya itu. Raka sempat kesulitan karenanya. Oleh karena itu, Adit terkadang mengernyitkan kening melihat perlakuan Riko yang berbeda pada Kia.

Ia bukan orang aneh karena merasakan semua emosi itu kan? tentu saja ia yakin itu hanya bagian dari rasa kemanusiaan yang memang harus ia rasakan selayaknya manusia.

**

"Kalau akhir minggu ini kita jalan, gimana?" tanya Semesta pada Dira memecahkan keheningan yang tercipta saat mereka sedang menonton drama.

Dira sampai sengaja mengeluarkan bantal dan selimut ke ruang depan saat Semesta "mengajukan diri" sebagai teman nonton. List dramanya sudah menumpuk karena kesibukannya beberapa minggu terakhir. Jadi sore ini setelah menyelesaikan kelas dan memastikan tidak ada rapat yang perlu didatangi, Dira menyeret Semesta segera pulang. Saat ia menceritakan apa yang ingin dilakukannya di perjalanan pulang, ia pikir dirinya cukup manipulatif membuat Semesta secara sukarela ikut duduk di bawah selimut, berusaha keras untuk tidak tertidur.

"hmm?" balas Dira tidak jelas. Ia terlalu fokus menonton.

"iya.. gimana kalau minggu ini kita jalan-jalan?" tanyanya lagi sambil menoleh melihat belakang kepala Dira yang berbaring terlungkup.

Dira memutar kepalanya menghadap Semesta menampikan raut heran.

"Kenapa?" tanya Semesta bingung.

"Kamu lupa kalau minggu sore acara makrab?" tanya Dira mengerutkan alis.

Semesta menutup matanya dan menghirup udara dengan berat. Ia benar-benar lupa. Dia lupa dengan acara yang membuat waktu kebersamaannya dengan Dira terpangkas habis akhir-akhir ini. Kalau mereka bukan tetangga, ia harus sabar karena hanya bisa melihat Dira saat di kelas.

"Acaranya minggu ini ya?" Semesta membuka mata dan tersenyum lemah menatap Dira yang masih memandangnya.

Dira memperhatikan Semesta sebentar sebelum ia menegakkan tubuhnya untuk duduk berhadapan.

Rekonsiliasi HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang