"16"

1.4K 185 10
                                    

Beberapa hari berlalu dan Jaemin masih rutin melakukan terapinya. Lelaki manis itu mengerjap. Menggeliat pelan dalam dekapan Johnny sebelum akhirnya duduk terbangun dari tidur siangnya.

"Ung...."

"Sudah bangun, hm?" Tanya Johnny. Ia terkekeh kecil saat melihat putranya masih sesekali menutup matanya lagi dengan kepala terantuk antuk.

Jaemin kembali memeluk Johnny sambil memejam. Menghirup dalam aroma tubuh ayahnya yang memberikannya rasa nyaman tersendiri.

Ah, tunggu dulu.

"Jeno ... di mana dia?" Racau Jaemin tiba-tiba.

Johnny lantas tersenyum. Tangannya mengusak lembut pucuk kepala si manis lalu mengecupnya sayang. "Kenapa, sweetheart? Do you miss him?"

Jaemin menggeleng. "Tidak, hanya saja aku tidak melihatnya. Di mana dia, daddy?"

"Kau yakin tidak merindukannya?"

Johnny malah membalas dengan pertanyaan lain, yang membuat Jaemin terdiam.

"Yes, you absolutely miss him."

Pikiran Jaemin kini mengingat bagaimana belakangan ia hampir tidak menganggap Jeno ada. Lelaki manis itu tidak disuapi oleh Jeno saat makan, tidak meminta Jeno mendorong kursi rodanya, tidak meminta Jeno mengambilkan sesuatu untuknya, bahkan Jaemin juga sudah jarang mengobrol dengan suaminya itu. Semuanya beralih menjadi bersama Johnny.

Oh, Jaemin. Apa yang kau lakukan?

Jaemin refleks menepuk keningnya. "Dasar bodoh."

Menatap anaknya dengan bingung, Johnny mengernyit heran. "Siapa yang bodoh? Daddy?"

Jaemin balas menatap Johnny. Bibirnya cemberut lucu. "Aku."

"Eh, kau?"

"Hm, aku~~~" Rengek lelaki manis itu. "Aku mau Jeno, daddy. Di mana dia? Apa dia pergi karena aku menyebalkan? Apa dia tidak di sini karena aku jahat padanya? Apa aku-"

Johnny meletakkan telunjuknya di tengah bibir Jaemin. "Ssttt.... Jangan berpikiran aneh-aneh. Dia hanya mengurusi beberapa pekerjaannya sekarang."

Jaemin mengangguk paham. Sudah lama suaminya itu mengurusi pekerjaan perusahaan dari rumah karena dirinya, karena Jeno selalu menemaninya. Tapi bagaimanapun juga, kadang kala akan ada beberapa urusan yang tidak bisa Jeno tangani dari rumah ataupun tempat lain seperti sekarang. Jaemin sangat paham, ia tidak boleh egois.

"Bagaimana kalau kita bermain?" Usul Johnny.

"Bermain?"

"Iya, bermain dengan daddy. Kau tidak mau, sayang?" Johnny membuat wajahnya seolah-olah sedih. Menyebabkan lelaki manis di hadapannya mendengus sebal dan mencubit pelan pinggangnya. "Tidak usah memasang ekspresi sedih begitu, aku tidak akan tertipu."

"Jadi, kau tidak mau?"

"Siapa bilang?"

Johnny tersenyum gemas. Ia lalu mencubiti pipi Jaemin tanpa henti. "Uri Jaemin sangat nakal, eoh?"

"Daddy, stop! Aw, sakit...."

Jaemin berusaha mencegah tangan Johnny. Sampai akhirnya ayahnya itu berhenti saat ponselnya mendadak bergetar di dalam saku celananya. Ia langsung menatap Jaemin.

"Angkatlah, daddy. Aku akan menunggumu."

Dengan begitu Johnny berjalan keluar. Meninggalkan Jaemin duduk sendirian di atas brankar dengan semua pikirannya sambil menatap kosong ke jendela yang membelakangi pintu.

Lelaki manis itu terlalu sibuk melamun sampai tidak menyadari ada seseorang yang masuk, dengan perlahan mendekatinya.

Orang itu lalu berdiri diam sebentar. Memandangi punggung Jaemin tanpa suara, punggung kecil nan ringkih yang harus dilindungi.

Ia menaruh asal barang-barangnya di lantai, kemudian mendekap Jaemin dari belakang. Menyusupkan wajah di ceruk lehernya dan sesekali menciumi telinga kirinya. Mulutnya lalu berbisik pelan, "Menungguku, honey?"

***

Annyeong, kangen ga?

Me After You [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang