"19"

1.4K 178 4
                                    

Hari ini Jeno kembali menemani Jaemin seharian penuh, seperti biasanya. Ia selalu ada mulai dari lelaki manis itu membuka mata di pagi hari. Dan kini, Jeno baru saja membantu Jaemin menelan obat-obatnya.

"Aku mau ke toilet sebentar," ucap Jeno. Ia bangkit setelah mendapat anggukan dari Jaemin, melangkah menuju kamar mandi dalam ruangan kemudian menghilang di balik pintu yang menutup.

Mendadak lelaki manis itu mengernyit, merasakan dadanya yang mulai nyeri. Jaemin mencoba menarik napas, tapi ia malah terbatuk-batuk. Awalnya hanya batuk biasa. Namun, lama-kelamaan batuk itu mencipratkan darah dari dalam mulutnya ke tangan yang menutupi bibir tipisnya.

Beberapa menit hingga Jaemin berhenti batuk, dan Jeno akhirnya keluar dari kamar mandi. Matanya langsung menangkap tangan Jaemin yang terkena noda darah. Jeno buru-buru menghampiri istrinya, menyodorkannya segelas air minum yang dibalas dengan senyuman tipis.

"Aish, harusnya kau segera berteriak padaku." Jeno mengambil tisu dan dengan telaten mengelapi tangan mungil istrinya.

"Kenapa tidak memanggilku, hm? Kalau kau butuh aku seharusnya kau segera memanggilku. Aku akan segera datang. Entah kenapa aku jadi merasa tidak berguna. Lain kali-"

Dan celotehan Jeno tidak ada habisnya. Sambil tangannya terus mengelap, bibir penuhnya itu terus mengomel. Menggemaskan bagi Jaemin. Lelaki manis itu masih tersenyum tipis, menyaksikan dalam diam suaminya yang baginya sedang mengomel lucu.

Tidak tahu lucunya dari mana, hanya Jaemin yang tahu.

Jeno menatap tajam yang lebih muda. "Lee Jaemin, apa kau bahkan mendengarkanku?"

Pria tampan itu memastikan tangan Jaemin sudah bersih dan membuang tisunya. Kemudian tangannya menangkup wajah Jaemin, menatap lelaki manis itu tepat di iris mata cokelatnya. "Aku yakin kau tidak mendengarkanku, honey."

Tanpa rasa bersalah, Jaemin terkekeh kecil. Kepalanya menggeleng pelan, "Mm, tidak dengar hehe."

Gemasnya Jeno.

Gemas ingin marah tapi gemas ingin memakannya juga. Ia harus bagaimana?

Jeno mengecup singkat kening istrinya, lalu menghela napas pasrah. "Sudahlah, sayang," ucapnya frustrasi sambil mengacak rambutnya yang semula rapi.

Tangan Jeno bergerak menyelimuti Jaemin sampai sebatas dadanya. "Sekarang istirahat saja."

Tapi Jaemin menggeleng dengan mem-pout bibirnya. Ia memelas menatap Jeno dengan matanya yang bulat. "Aku tidak mengantuk, Jeno," balasnya. Lalu membuka lagi selimut itu.

"Tapi lebih baik kau isti-"

Tok tok

Suara pintu yang diketuk menginterupsi mereka. Jeno mengacak rambutnya, lagi.

"SIAPA LAGI SIH ITU?!"

Jaemin langsung bersembunyi, menenggelamkan seluruh tubuhnya di bawah selimut putih rumah sakit. "Jeno seram...." Cicitnya, yang masih bisa didengar oleh Jeno.

Jeno tersenyum kecut. Astaga, ia salah lagi.

Pria bermarga Lee itu memilih untuk membuka pintu. Ia kembali mendengar beberapa ketukan halus saat kakinya melangkah. Alisnya mengernyit begitu menyadari ada yang aneh.

Jika ini Mark atau Haechan lagi, mereka pasti akan langsung menerobos masuk tanpa permisi. Jadi, mungkinkah ini ayah dan ibunya? Atau ayah mertuanya? Tapi mereka semua sedang sibuk sekarang.

Ekspresi Jeno berubah datar begitu mengetahui siapa yang datang. Ia bertanya dingin pada tamunya, "Maaf, ada perlu apa kemari?"

Orang itu melempar senyuman cantiknya. "Aku ingin bicara dengan istrimu ...," ia melongok ke dalam sedikit, ingin tahu apa lelaki manis yang dicarinya ada di dalam. "... secara empat mata."

"Tidak perlu repot-repot." Jeno hampir saja menutup pintu itu, tapi Jaemin berteriak padanya, "Siapa itu, Jen?"

"Bukan siapa-siapa."

"Cepat bilang."

Jeno berdecak. Kepalanya menoleh untuk menatap yang lebih muda. "Ini Renjun, dia bilang ingin bicara denganmu."

"Maka biarkan dia masuk."

Jeno tampak kaget, "Eh?"

Me After You [NOMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang