Sudah hampir tiga jam sejak kedatangan Felisia di apartemen Kaisha. Selama tiga jam itu juga Kaisha hanya berada di ranjang, lebih tepatnya menyembunyikan dirinya di dalam selimutnya. Felisia adalah temannya yang tidak sabaran dan merasa geram dengan sikap Kaisha. Ia kemudian memilih untuk membuka tirai kamar Kaisha yang sedari tadi membuat suasana kamar menjadi remang-remang. Mendengar suara yang ditimbulkan karena tirainya ditarik membuat Kaisha menyibakan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Felisia berjalan ke arahnya dengan setengah kesal, "Lo mau sampai kapan di balik selimut? Ini Jakarta, gak ada orang yang siang-siang malah pakai selimut kayak lo!"
"Anak kecil juga tahu kamar ini ada AC-nya, Fel," ujar Kaisha yang hendak kembali menutupi dirinya. Namun, Felisia langsung menyibakan seluruh selimut dari tubuh temannya dan membuat Kaisha menghela napasnya. Gadis itu kemudian bangun dari posisinya dan mendongak untuk menatap Felisia yang sudah melipatkan kedua tangannya di dada, "There must be something. Lo kenapa, Key?"
"Apanya? Gue cuma lagi mager aja hari ini," kata Kaisha berbohong dan kemudian berdiri untuk beranjak keluar dari kamarnya. Felisia yang berjalan mengikutinya di belakang tidak menyerah begitu saja. Meskipun telah mengenal Kaisha sejak awal perkuliahan, tidak mudah bagi Felisia untuk mengetahui segala hal yang terjadi di hidup temannya ini. Kaisha terlalu penutup, terkadang juga begitu dingin.
Kaisha membuka pintu kulkasnya dan meraih sebotol air mineral dingin yang kemudian ditegaknya hingga habis. Hari ini memang begitu panas, pendingin di kamarnya sebenarnya tidak benar-benar membantu. Entah bagaimana Kaisha dapat bersembunyi di balik selimutnya begitu lama. Felisia hanya memperhatikan setiap pergerakan yang dilakukan temannya, sampai Kaisha kembali melangkahkan kakinya dan berjalan melewatinya dengan sebuah apel di tangannya. Kini ia tidak lagi masuk ke dalam kamarnya dan duduk pada sofa yang berada di ruang tengah, lalu menyalakan televisi di hadapannya. Felisia menyusulnya untuk duduk di samping Kaisha, "Lo habis ketemu adiknya Aga, kan?"
"Tahu dari mana?" tanya Kaisha yang sejujurnya merasa sedikit terkejut, serta terganggu mendengar nama yang baru didengarnya. Namun, ia tidak menunjukannya sama sekali.
"Adiknya Aga itu temen deketnya Reno, temen gue SMA."
"Oh," balas Kaisha terdengar tidak tertarik dan kembali menggigit apel yang berada di tangannya dengan menatap lurus pada layar di hadapannya.
Felisia menatap Kaisha dengan tidak percaya karena temannya sama sekali tidak memperhatikannya. Ia kemudian melontarkan protesnya, "Lo dengerin gue gak, sih?"
"Kalau gue gak dengerin, gak bakalan jawab dari tadi."
"Key, I think you need to talk to him. Adiknya Aga," kata Felisia yang tidak ingin berbasa-basi lagi kali ini.
Kaisha menghela napasnya sekali lagi dan menatap Felisia, "Naren. Nama dia Naren, bisa lo berhenti nyebut namanya?"
"Okay fine, I'm sorry. Tapi, gue serius soal ngomong sama Naren. Mau sampai kapan lo berada di lingkaran yang sama, Key? Gue emang gak tahu pasti apa yang terjadi, tapi lo gak capek hidup kayak gini?"
"Coba resapi lagi kalimat yang lo omongin barusan," Kaisha yang mulanya sudah kembali melempar pandangannya ke depan kemudian menatap Felisia. Nada bicaranya terdengar jauh lebih dingin dari sebelumnya. Perempuan itu kemudian melanjutkan ucapannya, "Lo gak tahu pasti apa yang terjadi, kan?"
Felisia terdiam. Kaisha setengah tertawa sebelum ia kembali berbicara, "Gue juga gak mau hidup kayak gini kok, Fel. If you were in my shoes, lo akan tahu betapa frustasinya gue denger pertanyaan 'mau sampai kapan?' itu. Dan itu pertanyaan yang gue denger dari Naren kalau lo belum tahu juga."
"Key, it might be a hard pill to swallow. But what happened, happened. You can't change the past and it's not worth tripping over the past. Let the past, just be the past."
"Kalau lo lihatnya gue berada di lingkaran yang sama ataupun hidup di masa lalu, ya udah. Biarin gue berada di lingkaran ini. Know your place, Fel. Kadang lebih mudah buat ngomong sesuatu ketika lo sendiri gak pernah berada di posisi orang itu."
Know your place. Tiga kata yang menjadi tamparan tersendiri bagi Felisia. Kata-kata yang juga dilontarkan dirinya pada Reno beberapa hari sebelumnya. Kaisha mematikan televisi dan berdiri meninggalkannya untuk kembali masuk ke kamarnya. Saat itu, Felisia menyadari bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan. Tanpa benar-benar mengerti dengan mudahnya ia mengatakan segala sesuatu yang menurutnya benar.
.
.
.
"Jadi, lo ribut sama Felisia gara-gara bahas Naren?"
Kaisha mengangkat kedua bahunya, menegak minuman bersoda selagi menatap langit dan berkata, "Mungkin."
Keduanya sedang duduk di sebuah rooftop pada bangunan tua yang berada di dekat tempat mereka bertemu dengan Naren. Gian terlihat sudah menyelipkan sebatang rokok di sela bibirnya, sebelum memantik api. Meniupkan asap keluar dari mulutnya untuk mengepul di udara. Ia kemudian kembali menanggapi cerita Kaisha, "Orang bakalan ngomong sesuatu berdasarkan pemahaman mereka, Key."
"Tapi, gue gak pernah minta siapa pun buat ngerti."
"Tapi, lo marah ketika Felisia ngomong gitu."
Kaisha meletakan kaleng minuman yang sejak tadi dibawanya pada samping tubuhnya. Sedangkan Gian sesekali kembali menghisap rokoknya hingga asap kembali ditiupkannya ke udara. Perempuan itu memeluk kakinya yang ditekuknya sejak tadi, "Gue gak tahu harus cerita gimana ke orang lain selain lo."
"Karena lo takut?"
"Iya. Mungkin ini gak adil buat Felisia, tapi gue takut buat percaya sama orang lain. Bokap udah merusak kepercayaan gue dari dulu. Setelahnya, gue juga dibuat gak percaya sama temen deket sendiri."
Mungkin satu hal yang dapat diberikan Gian pada Kaisha adalah kemampuan dan keinginannya untuk mengerti. Berusaha sebaik mungkin untuk tidak merusak kepercayaannya. Ia berpikir bahwa tidak akan mudah bagi Kaisha untuk memberikan kepercayaannya kepada seseorang. Ini yang membuat teman perempuannya jarang memiliki teman karena baginya manusia adalah makhluk paling menakutkan di dunia. Gian memandangi wajah Kaisha dari samping, selalu ada kesedihan dan luka mendalam dari tatapan perempuan itu, "Key."
"Apa?"
"Kadang rasa takut itu ada untuk memicu keberanian dalam diri kita. Gue tahu pasti gak mudah buat kasih kepercayaan ke orang lain. Tapi, gue yakin lo juga gak bakalan mau kehilangan orang-orang yang beneran peduli. Mungkin lo mikir gak masalah, tapi setelahnya pasti bakalan ada kekosongan tersendiri."
Kaisha menolehkan kepalanya pada Gian dan menatapnya selama beberapa saat dengan diam. Kembali larut dalam pikirannya sendiri, sebelum ia akhirnya bersuara, "Gimana kalau kepercayaan gue dirusak lagi, Gi?"
"Segala kemungkinan selalu bisa terjadi, mau itu kemungkinan terbaik dan terburuk. Lo gak bakalan tahu kemungkinan mana yang bakalan terjadi kalau gak dicoba. Balik lagi, rasa takut ada untuk memicu keberanian. And it's your choice, mau munculin keberanian itu atau enggak."
Gian bukan orang yang banyak berbicara, Kaisha sangat tahu tentang itu. Tapi, rasanya narasi tentang setiap kata memiliki kekuatan besar sangat cocok diberikan pada teman laki-lakinya itu. Laki-laki yang kembali menemaninya malam ini selalu bisa melontarkan berbagai hal yang mulanya tidak pernah dipikirkan sendiri. Dan kali ini mungkin Gian juga benar. Selama tiga tahun, Kaisha memilih untuk berdiri di titik aman untuk menghindari segala kemungkinan terburuk dalam hidupnya. Mungkin Felisia juga ada benarnya, Kaisha berada di lingkaran yang sama dan terlarut terlalu lama pada masa lalu.