"For God's sake, Denallie Tarani Kaisha."Kalimat pertama yang didengar oleh perempuan berambut hitam setelah keluar dari kamarnya adalah seseorang memanggil nama lengkapnya. Kaisha hanya membalas ucapan laki-laki yang tengah berdiri di kitchen island-nya dengan tersenyum. Ia duduk di kursi meja makan, sebelum laki-laki tersebut menyusul duduk di hadapannya.
"Keringin dulu rambutnya," ucapnya lagi. Ini bukan pertama kalinya ia mendapati Kaisha membiarkan rambut pendeknya basah, membuat bagian pundak kaos yang ia kenakan menjadi basah.
"After breakfast." Balas Kaisha dengan singkat.
Tidak ada 'after breakfast' bagi Gyanindra Nayaka Putra. Gian, teman dekat Kaisha yang tidak pernah absen dari kesehariannya. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah perempuan yang sedang memakan roti buatannya. Mata Kaisha beralih dari layar ponselnya pada teman laki-lakinya, tepat setelah Gian menarik kursinya. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, Gian mengangkat tubuh Kaisha dan menaruhnya di bahu. "Gian, gue masih makan!"
Gian terlihat tidak peduli dengan ucapan Kaisha. Ia kemudian menurunkan Kaisha di atas ruang yang tersedia di samping wastafel kamar mandi apartemennya. Kedua tangan Gian berada di kedua sisi tubuh Kaisha yang masih memiliki roti di antara bibirnya. Mata cokelatnya menatap Gian dengan kesal.
"Abisin rotinya, gue keringin rambut lo."
Perempuan itu hanya mendengus kesal selagi Gian mengambil pengering rambut di dalam laci. "Gak ada orang makan di dalem kamar mandi, Gi."
"Seharusnya gak akan ada, kalau lo ngeringin rambut dulu."
Kaisha membuang roti yang sebelumnya ia makan ke tong sampah yang berada tidak jauh dari jangkauannya. Ia meletakan ponsel yang sedari tadi berada di tangannya di sampingnya. "Gue benci ngeringin rambut, Gi."
Kini kalimat Kaisha membuat Gian menghentikan kegiatannya. Ia mematikan pengering rambut dan meletakannya di samping ponsel milik Kaisha. Kedua tanganya kembali berada di kedua sisi tubuh teman perempuannya. Posisi Kaisha saat ini membuat wajah keduanya sejajar dan netranya saling bertemu.
"Gue benci ngeringin rambut." Kaisha mengulang ucapannya.
"Gue tahu. Tapi, lo gak benci ketika gue ngeringin rambut lo."
Kaisha mengalihkan pandangannya dari Gian, membuat laki-laki itu menghela nafas panjang. "Key, gue yang ada di sini sama lo, bukan dia."
"It's not about—"
"It's not about him, but you, Kaisha. You've changed."
"..."
"Bagi orang lain mungkin lo terlihat cantik, you with your messy hair. Tapi, itu gak berlaku buat gue."
Kaisha kembali menatap Gian yang sama sekali tidak mengalihkan tatapannya sekali pun. "Key, dulu lo gak pernah suka ketika rambut lo berantakan. Lo gak pernah mau ke kampus dengan rambut yang belum rapi, apalagi basah."
"Gi, gue udah usaha."
"I know, Key. Kalau lo masih belum bisa, gue yang bakalan bantu. Gue masih di sini sama lo. Kalau lo ancur, gue juga. Perkara rambut lo aja bisa selalu bikin dada gue rasanya sesek, Key."
Entah bagaimana, ucapan Gian dapat terdengar hangat dan frustasi di saat bersamaan. Ia menyadari bahwa hampir tiga tahun terakhir dirinya bisa merasa marah hanya karena sebuah pengering rambut. Bagi Kaisha, barang itu selalu mengingatkan dirinya akan sesuatu. Satu dan beberapa hal yang selalu menyakitkan baginya. Sejak saat itu, ia berusaha menghindar untuk mengeringkan rambutnya sendiri. Dan Gian mengetahui semua alasan di balik sikapnya.