K A I S H A
Aku tahu bahwa akan selalu ada kabar yang dapat diterima sewaktu-waktu. Terdapat berbagai kabar yang akan datang secara tiba-tiba, tidak terkecuali berita buruk. Jangankan waktu, kabar buruk sering tidak mengenal situasi dan kondisi. Mungkin tidak ada satu pun individu di dunia ini yang menanti kabar buruk, sebagaimana mereka biasa menanti sebuah berita baik. Sepenuhnya aku yakin, kabar buruk juga kerap menimbulkan berbagai emosi yang menyesakan dada. Pikiran seolah-olah menjadi petang seketika, namun keadaan memaksa agar kita dapat tenang.
Pukul dua dini hari, aku menerima sebuah panggilan. Mengharuskanku mengakhiri panggilan rutinku tiap malam bersama Gian, perasaanku tidak tenang. Tanteku memberi kabar bahwa Mama sedang tidak dalam kondisi baik. Beliau kembali kritis dan tengah menjalani perawatan di rumah sakit untuk kesekian kalinya. Kabar yang aku dapatkan membuatku seketika langsung loncat dari kasur, tepat setelah panggilanku dengan Tante Eva berakhir. Aku bukan seseorang yang dapat melakukan berbagai hal dalam satu waktu. Tapi, entah bagaimana kabar ini membuatku dapat menyiapkan kebutuhanku ke dalam koper kecilku, memesan tiket pesawat, dan memberi kabar kepada Gian. Semua dapat aku lakukan dalam waktu bersamaan dan cepat.
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk Gian datang ke apartemenku. Aku tahu, Gian adalah orang yang selalu dapat diandalkan. Terlebih ketika waktu genting seperti ini. Sama denganku, wajahnya terlihat sangat khawatir. Aku langsung berjalan keluar dengan membawa koperku yang kemudian diraihnya. Tanpa mengatakan apa pun, Gian berjalan dengan cepat bersamaku menuju lantai dasar apartemen. Tidak banyak yang dikatakan Gian selama perjalanan menuju bandara, hanya sesekali ia bersuara.
"Obat?"
"Udah," kataku singkat padanya.
"Obat asma dan lambung juga udah?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
"Udah." Selebihnya ia hanya menanyakan beberapa hal lainnya. Kebanyakan pertanyaan selanjutnya berputar tentang keperluan kuliahku dan urusan izin yang tentu akan dibantunya. Selebihnya Gian tidak lagi berbicara denganku, mungkin dia tahu bahwa aku juga tidak sedang dalam kondisi hati yang baik.
Terkadang aku tidak mengerti bagaimana wilayah Jakarta dan sekitarnya tidak pernah tidur. Bahkan perjalananku menuju bandara jam tiga pagi pun masih sempat harus mengalami macet di beberapa jalan, membuatku merasa gusar. Namun, Gian berhasil membuat kami sampai di bandara sekitar pukul setengah lima Sesampainya di Terminal Tiga, aku langsung turun dari mobil dan Gian membantuku menurunkan koper milikku. "Flight jam berapa?"
"Harusnya jam enam lewat sepuluh menit kalau tadi di jadwal."
Gian menganggukan kepalanya, "Ya udah, lo masuk aja. Biar bisa langsung check in."
"Iya," Gian kemudian memelukku sebentar dengan mengusap punggungku seperti berusaha meyakinkanku bahwa segalanya akan baik-baik saja. Kemudian aku langsung berjalan masuk untuk dapat segera antre di belakang penumpang lainnya dengan tujuan yang sama denganku. Dan hal paling buruk ketika sedang cemas adalah mendapat kabar buruk tambahan. Penerbanganku ditunda sekitar satu jam dengan berbagai alasan.
"Iya, Tante. Pesawatku baru berangkat mungkin sekitar jam tujuh sini." Aku langsung memberi kabar kepada Tante Eva setelah memutuskan untuk menunggu waktu penerbangan di Starbucks. "Mama operasi jam berapa?"
"Jam sembilan waktu Singapore, Sayang."
"Aku titip Mama dulu ya, Te. Papa udah di sana?"
"Belum," jawaban Tante Eva sesuai dengan dugaanku. Aku hanya terdiam untuk beberapa saat, sebelum mengakhiri panggilan dengan berkata, "Oke. Tante jangan lupa makan. Nanti aku langsung ke Gleneagles."
Aku memandang kosong pada layar ponselku yang mati, hanya memantulkan wajahku sendiri. Ada perasaan sesak dalam dadaku seperti ingin menangis, tapi pikiranku menolak. Isi kepalaku seolah-olah berkata bahwa ini bukan saat yang tepat untukku menangis. Aku menghela napas, berharap waktu dapat berjalan lebih cepat.