RE-WRITE - Bab 4

2.4K 217 5
                                    

Sudah hampir dua minggu sejak kondisinya memburuk secara psikologis. Tidak banyak yang dilakukan Kaisha selain pergi ke kampus untuk menjalankan perkuliahan sebagaimana mestinya, meskipun dirinya kerap merasa cemas. Menyebabkan beberapa bagian jemarinya menjadi terluka karena menjadi korbannya tiap kali rasa cemas muncul secara tiba-tiba. Selebihnya, ia hanya menghabiskan waktunya di dalam apartemennya sendiri dengan laptop yang sesekali menyala. Digunakan untuk mengerjakan tugas perkuliahannya. Kaisha tidak memiliki banyak teman, hanya sebagian yang berteman untuk sekadar menjadi rekan tugas kelompok. Ada satu teman jurusannya yang dikenal sejak masa orientasi dulu, Felisia. Satu-satunya teman yang terbilang cukup dekat dengannya perkuliahan.

            "Key, lo gak jenuh hampir dua minggu di apartemen doang?"

            Kaisha menggelengkan kepalanya, membuat Felisia yang tengah berbaring di atas kasur kamarnya selagi menikmati kue kering itu merasa sedikit frustasi. Felisia membalikan tubuhnya dan menatap Kaisha yang terlihat fokus dengan laptop di hadapannya. Tangannya masih sibuk membawa sebuah bungkus plastik besar yang isinya hampir habis karena telah dilahapnya sendiri, "Besok temenin gue belanja, yuk?"

            "Gak mau," balas Kaisha singkat. Kaisha merasa tidak tahan lagi, ia mendesis pelan. Menghentikan jemarinya yang sedari tadi sibuk mengetik beberapa hal untuk tugasnya dan mengalihkan fokusnya pada Felisia, "Lo kalau mau makan jangan di kasur. Terus ganti baju, jangan pakai baju dari luar di atas kasur."

            "Bawel lo," Felisia membalasnya asal-asalan.

            "Lo yang jorok."

            Felisia mendengus dan bangun dari posisinya. Hanya bangun, tanpa beranjak pergi dari ranjang Kaisha karena ia tahu bahwa sia-sia saja. Setelah ini, Kaisha pasti akan mengganti sprei kasurnya dengan yang baru karena sejak awal kedatangannya Felisia langsung berbaring di sana. Perempuan itu duduk di sisi ranjang masih dengan mulutnya yang mengunyah makanan, "Kondisi lo gak bakalan membaik kalau cuma mengurung diri di apartemen, Key."

            "Gue ke kampus kok," kata Kaisha. "Lagian ya, gue yakin sama Gian gak dikasih izin kalau mau jalan keluar gitu."

            "Bener ya? Gue telpon nih Gian, kalau dikasih izin gimana?"

            "Coba aja, pasti gak bakalan dikasih izin." Kaisha berkata dengan yakin.

            Kini Felisia meletakan bungkus plastik yang dibawanya ke lantai, mengundang tatapan tajam dari Kaisha. Plastik itu dibiarkan terjatuh, membuat sebagian dari sisa isinya mengotori lantai. Temannya itu merogoh ponsel miliknya di dalam tas dan bertanya sekali lagi, "Kalau dikasih izin gimana?"

            "Gue temenin lo shopping."

            "Bener ya?"

            "Ya," kata Kaisha yang kini kembali memusatkan pandangannya pada layar laptop di hadapannya. Saat itu, ia yakin bahwa Felisia benar-benar akan menelpon Gian. Tidak butuh waktu lama untuk panggilan temannya itu diangkat oleh Gian. Meskipun tidak dapat mendengar balasan Gian dengan pasti, Kaisha mengerti arah pembicaraan keduanya.

            "Gi, gue ajak Kaisha jalan ya besok?" tanya Felisia tanpa berbasa-basi.

            "Ke mana?"

            "Grand Indonesia paling? Kalau terlalu ramai ya ke Plaza Indonesia aja." Melihat Felisia yang tidak bersuara, Kaisha meyakini bahwa Gian sedang mempertimbangkan jawabannya.

            "Key masih gampang triggered buat anxiety-nya. Kalau mau lo ajak jalan, jangan di tempat yang terlalu rame."

            Felisia tersenyum penuh kemenangan, Kaisha membenci dirinya yang memilih untuk menoleh ke arah temannya pada saat itu. Ia kemudian bertanya sekali lagi untuk memastikan jawaban dari Gian, "So, it's a 'yes' right? Key boleh jalan ya?"

Can You Love Me Naked?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang