"Aku pulang ke Jakarta dulu ya, Ma."
Ilene yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai peralatan pada tubuhnya mengangguk pelan. Dibalik alat oksigen yang masih membantunya bernafas ia tersenyum, selagi meraih tangan putrinya. Kaisha menundukan tubuhnya, mengerti bahwa ibunya hendak berbicara padanya, "Take care of yourself. Mama loves you, always."
"I love you too, Ma." Kaisha berkata dan tersenyum hangat pada ibunya. Ia kemudian kembali menegakan tubuhnya untuk menatap Eva yang juga berada di sana, "Tante, tolong jagain Mama ya."
"Jangan khawatir, Sayang."
Kaisha kembali menundukan dirinya untuk mengecup kening Ilene, sebelum dirinya meraih tas kecil miliknya di kursi. Tidak ada ayahnya di sana, mungkin Alex juga tidak tahu bahwa Kaisha akan kembali ke Jakarta hari ini. Namun, Kaisha sebenarnya juga tidak benar-benar peduli dengan kehadiran ayahnya saat ini. Ia tahu bahwa tantenya masih dapat diandalkan dan bisa menjaga ibunya dengan baik. Kaisha kemudian berjalan menghampiri Eva dan memberikan pelukan pada perempuan yang selalu terlihat rapi dengan pakaian kerjanya, "Jaga diri Tante juga ya."
"Tante yang harus bilang gitu sama kamu. Jangan lupa janji kamu sama Tante, ya?"
Kaisha mengerutkan hidungnya dan tersenyum tipis, "Semoga aku gak lupa."
"Dasar." Kaisha hanya menanggapinya dengan tersenyum kembali. Dirinya kembali menolehkan kepalanya untuk menatap ibunya. Ilene tersenyum dan menatap lekat Kaisha yang sudah membawa koper di tangannya. Putrinya terlihat menghela napasnya, merasa berat untuk meninggalkan Ilene yang masih perlu dirawat untuk beberapa hari lagi. Senyum ibunya yang membuat Kaisha sedikit merasa lebih tenang, ia kemudian berkata kepada tantenya terakhir kali sebelum beranjak pergi dari sana, "Kabarin aku ya, Te."
"Selalu," balas Eva pada keponakannya.
Setelahnya dengan perasaan yang masih berat, Kaisha beranjak pergi dari sana. Ia langsung pergi menuju bandara untuk kembali ke Jakarta. Mempersiapkan dirinya untuk kembali menghadapi hiruk piruk ibu kota yang menjadi saksi atas berbagai hal dalam hidupnya. Tinggal berjauhan dengan orang yang ia sayangi, bukan hal baru baginya. Namun, selalu menjadi sesuatu yang tidak mudah di masa tertentu untuk Kaisha. Berbeda dengan perjalanannya ketika berangkat, selama penerbangan ke Jakarta Kaisha dapat tertidur. Dirinya terbangun ketika terdengar informasi yang menyatakan bahwa pesawat akan segera mendarat.
Pada sisi lain, Aksa yang sudah sampai terlebih dahulu di Jakarta terlihat berada di sebuah restoran bersama enam temannya. Entah bagaimana teman-temannya berakhir datang menjemputnya bersama, padahal terakhir kali Aksa hanya meminta tolong Reno. Ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk meminta Aksa membayar makan siangnya, lebih tepatnya Tama yang memberikan ide. "Langsung balik?"
"Ngapain kita ke sini rame-rame kalau langsung balik, bego?" ucap Haikal pada Bagas.
"Oh, mau ke apartemen Aksa dulu?"
"Rumah nenek lo," balas Naren kali ini.
Lainnya hanya menggelengkan kepalanya mendengar percakapan di antara mereka bertiga. Aksa kemudian berkata, "Balik sekarang aja deh. Gue lihat di Google Maps belum terlalu macet sekarang."
"Iya, bentar lagi kayaknya bakalan macet." Gian merespon setelah ia melihat jam tangannya. Mereka langsung saling berdiri dari kursinya masing-masing, berjalan meninggalkan restoran tersebut. Tidak jauh dari posisi restoran yang baru saja mereka datangi, terdapat seorang perempuan yang dikenal beberapa di antara mereka.
"Key?"
"Key?" Terdengar dua orang memanggil Kaisha secara bersamaan, membuat perempuan yang dipanggil membalikan tubuhnya. Seketika tangan Kaisha meremas keras gagang koper yang dibawanya, matanya menatap tajam ke salah satu di antara enam laki-laki di hadapannya. Gian yang tadinya tidak menyadari keberadaan Kaisha langsung berjalan menghampirinya dengan wajah yang terlihat panik.
Kaisha berjalan melewati Gian untuk mendatangi laki-laki yang juga tengah melangkahkan kaki ke arahnya. Keduanya berdiri berhadapan kali ini, Kaisha tersenyum sinis dan setengah tertawa. Siapa pun yang berada di sana dapat melihat ada rasa amarah, terlihat dari wajah perempuan itu. Kaisha kemudian membuka mulutnya untuk bersuara, "How's life? Oh, tentu baik-baik aja. Gak ada juga keluarga Atmadja yang hidupnya susah. Ya, kan?"
"Lo apa kabar, Key?"
Mendengar pertanyaan yang diterimanya membuat Kaisha kembali tertawa geli. Tawanya berbanding terbalik dengan emosi yang sedang memuncak di dalam dirinya saat ini. Naren, laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya masih menatapnya, raut wajahnya menunjukan adanya rasa bersalah. "Berantakan. Hidup gue berantakan kalau itu yang mau lo denger."
Gian datang menghampiri Kaisha dan meraih tangan teman perempuannya. Kaisha melepaskan tangannya dari Gian, mendekatkan tubuhnya pada Naren untuk kembali berkata, "Gue gak akan pernah lupa sama yang dilakuin keluarga lo. Terutama lo sendiri, Raditya Narendra Sajana Atmadja."
"Mau sampai kapan, Key? Ini udah berapa tahun?"
"Lo kira gue mau bertahun-tahun hidup dalam bayangan masa lalu yang kayak gitu? Coba lo tanya orang lain, ada yang mau mengalami hal yang pernah terjadi di hidup gue? Gue gak pernah melewatkan malam tanpa mimpi buruk. Dan gak akan pernah lupa dengan kejadian yang dialami. Sedangkan lo bisa hidup tenang dengan keluarga lo yang sampah itu. Mau sampai kapan pun, kalian akan tetep sama di mata gue."
Perempuan itu langsung meraih kopernya dan membalikan tubuhnya, tidak ingin berada di sana terlalu lama. Hanya rasa marah yang dirasakan Kaisha beserta luka lama yang terbuka kembali. Namun, langkahnya seketika berhenti ketika Naren kembali berbicara, "Gimana dengan lo, Key? Apa lo juga akan melupakan fakta kalau lo hampir membuat seseorang meninggal?"
Naren sepenuhnya mengerti pilihannya untuk melontarkan pertanyaan itu sangat tidak tepat. Bukan hanya Kaisha yang tercengang atas ucapannya, Gian dan teman lainnya terlihat terkejut dengan ucapan Naren. Perempuan yang diajak berbicara memilih untuk tidak kembali menatapnya, terlebih air mata sudah berada di pelupuk matanya. Kaisha kembali melangkahkan kakinya menjauh. Gian yang masih berada di sana menghampiri Naren untuk menarik kerah baju yang dikenakan laki-laki itu. Membuat Reno dan Bagas seketika mencoba menjauhkan keduanya, meskipun upaya mereka tidak berguna. "Lo manusia paling sampah yang pernah gue tahu. Berhenti jadi pecundang."
"Gi, udah." Reno sekali lagi mencoba menenangkan Gian. Laki-kaki itu melepas genggaman tangannya pada Naren dan langsung pergi meninggalkan teman-temannya untuk menyusul Kaisha. Mereka yang masih berada di sana, saling menatap satu sama lain. Melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Membuat beberapa di antara mereka hanya bisa mengangkat kedua pundaknya, menandakan bahwa tidak ada yang mengerti. Tidak ada yang berani untuk melontarkan komentar dan hanya mencoba mencerna kejadian yang baru saja terjadi.
Aksa berjalan menghampiri Naren dan menepuk pundak temannya, "Balik ke apartemen lo aja. Biar gue balik sama yang lain, istirahat."
"Thanks." Naren berkata terakhir kali kemudian juga melangkahkan kakinya pergi dari sana. Siang ini, menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk mereka semua dan meninggalkan berbagai tanya. Menjadi siang yang juga membuka luka lama, khususnya Kaisha.