RE-WRITE - Bab 9

1K 85 5
                                    

Tujuh tahun yang lalu....

Bagi beberapa individu yang masih dalam fase remaja, terkadang bersenang-senang tidak selalu dapat dirasakan. Beberapa di antaranya memiliki keharusan untuk menjalankan rencana orang tua guna memenuhi ekspektasinya terhadap anak-anaknya. Tidak semua remaja ingin menghabiskan waktunya untuk menghafal berbagai rumus ataupun mengingat berbagai kosa kata dari bahasa negara lain. Meskipun rasa ingin tahunya pasti menggebu-gebu, banyak dari mereka yang ingin mengetahui dunia luar bukan hanya melalui kegiatan akademis.

Seperti biasa, Kaisha sore ini sudah terlihat di salah satu pusat bimbingan belajar bahasa. Masih dengan mengenakan seragam putih birunya, tahun terakhir sekolahnya selalu menjadi waktu tersibuk dalam hidupnya. Ia memasuki gedung tua yang sudah dimodifikasi menjadi bangunan modern. Perempuan yang tidak pernah memanjangkan rambutnya lebih dari bahu itu terlihat duduk di salah satu bangku kelas. Meskipun ia tidak benar-benar berminat memperlajari Bahasa Prancis, Kaisha tetap selalu memilih untuk duduk di barisan terdepan. Tidak selang lama, seorang perempuan berumur sekitar dua puluh lima memasuki ruangan. Membuat setiap murid bimbingan langsung membuka bukunya masing-masing, kelas dimulai.

Kelas sudah berjalan sekitar tiga puluh menit, sudah menjadi rutinitas bagi Kaisha untuk kemudian mengangkat tangannya, "Excuze- moi veux aller aux toilettes*?"

"Oui, s'il vous plaît.*" Setelah mendapatkan izin, Kaisha kemudian berdiri dari bangkunya dan berjalan meninggalkan ruang kelas. Tentu toilet bukan menjadi tujuan perempuan itu yang sesungguhnya, Kaisha terlihat melangkahkan kakinya keluar dari gedung tersebut. Ia berjalan menyusuri trotoar untuk menuju salah satu mini market yang biasa dikunjunginya di tengah pelajaran. Perempuan itu mendorong pintu kaca dan langsung menuju bagian minuman yang berada di mesin pendingin. Senyumnya mengembang ketika menemukan susu stroberi kesukaannya membuatnya langsung membuka pintu kulkas tersebut. Pada saat itu, tiba-tiba seseorang meraih susu yang hendak diambilnya. Kaisha sontak langsung melemparkan pandangannya pada laki-laki yang berdiri di sampingnya. Laki-laki itu balas menatapnya, terlihat acuh. Ketika ia hendak berjalan melewati Kaisha, perempuan itu menghalangi jalannya, "That's mine."

"Ada nama lo di sini?"

"Gue yang mau ambil itu duluan."

Nama laki-laki itu tertera pada seragam yang dikenakan, Raditya Narendra Sajana A. Naren tidak peduli dengan ucapan Kaisha dan memilih untuk memutar tubuhnya, berniat memilih jalan lain. Akan tetapi, dirinya kembali terhalang karena seorang laki-laki yang terlihat seumuran dengannya berdiri di hadapannya kali ini. Kaisha mengangkat alisnya kebingungan menyadari keberadaan laki-laki yang tidak asing baginya, "Gian?"

"Ini lo temenan berdua emang konsepnya mau gangguin orang jalan ya?" tanya Naren dengan kesal.

Gian tidak mengatakan apa pun, namun ia kemudian meraih kotak susu yang dibawa oleh Naren. Ia kemudian berjalan melewati Naren untuk mengajak Kaisha pergi ke kasir. Perempuan itu tersenyum penuh kemenangan karena mendapatkan minuman yang dia inginkan. Kaisha menolehkan kepalanya pada Naren selagi berjalan dengan menjulurkan lidahnya mengejek. Setelah membayar minumannya, Kaisha dan Gian duduk di kursi yang tersedia di depan mini market. Perempuan itu terlihat senang hanya karena sekotak susu yang didapatkannya. Raut wajahnya terlihat riang, selagi berkata pada teman laki-lakinya, "Lo keren deh!"

"Lebay," kata Gian singkat.

"Keren my ass." Suara asing yang didengar Gian dan Kaisha membuat mereka menolehkan kepalanya pada sumbernya. Laki-laki yang mereka temui di dalamnya terlihat tengah sibuk membuka minumannya. Menyadari bahwa dirinya tengah ditatap, Naren balas menatap keduanya.

"Aneh," celetuk Kaisha.

"Lo aneh, ngambil minuman orang lain."

Kaisha memutar bola matanya, "Gue yang buka pintu kulkasnya."

"Mana gue tahu lo mau ambil susu yang itu!"

Gian menghela napasnya, enggan terlibat kembali dengan perdebatan tidak penting di antara keduanya. Laki-laki itu kemudian kembali bersuara, "Key, lo udah kelamaan di luar. Buruan balik ke kelas."

"Males. Gue pusing dengerin orang ngomong Bahasa Prancis."

"Eh, lo les di IFI juga?" tanya Naren secara tiba-tiba yang membuat Kaisha menatapnya aneh, namun perempuan itu menganggukan kepalanya.

"Gue juga lagi kabur kelas!"

Naren berhasil mendapatkan perhatian Kaisha. Perempuan itu tiba-tiba berdiri dari kursinya dan berkata dengan terlihat senang, "Seriusan? Please, kita baliknya barengan aja!"

"Ide bagus."

Kaisha membaca nama yang ada di seragam Naren, tidak asing sama sekali baginya. Perempuan itu kemudian bertanya, "Lo Raditya yang ujian B2* kemarin peringkat dua bukan?"

"Jangan gitu lah, gue gak mau sombong anaknya."

Ucapan Naren membuat Kaisha menatapnya dengan sedikit geli. Gian yang masih duduk di kursinya kemudian meresponnya, "Itu di depan lo yang selalu juara umum tiap ujian di sana."

"Anjir! Lo Denallie Tarani Kaisha?"

"Iya," balas Kaisha singkat.

Naren seketika bertepuk tangan selagi menggelengkan kepalanya, merasa kagum. "Gokil, lo suka kabur kelas? Tapi, lo selalu juara umum tiap ujian?"

"Lo sendiri selalu peringkat dua, gak usah lebay deh." Kaisha kembali duduk pada kursinya. Naren yang tadinya berdiri kemudian bergabung duduk bersama mereka. Ia kemudian menatap Gian dan bertanya untuk memastikan, "Nama lo Gian?"

Gian menganggukan kepalanya, lalu ganti ia menatap Kaisha dan bertanya, "Lo? Denallie?"

"Key," ujar Kaisha.

"I see. Panggil gue Naren aja," tambah Naren. Rasanya laki-laki itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Ia memperkenalkan dirinya lebih jelas pada dua orang yang tidak bertanya mengenai dirinya sama sekali. "Lo les Prancis juga?"

"Enggak. Gue ada les gitar di deket sini."

"Oh ya? Lo main alat musik apa aja?" tanya Naren.

Gian meresponnya dengan santai, "Gitar dan drum aja."

"Cool! Kapan-kapan ke studio gue dong, kita main bareng."

Kali ini, Naren berhasil mendapatkan perhatian Gian. Ia terlihat tertarik dengan pembicaraannya dengan laki-laki yang baru saja dikenalnya, "Lo ada studio? Main alat musik apa?"

"Ada, tapi studio kecil gitu di rumah. Gue cuma bisa gitar, bass, keyboard, dan drum bisa dikit sih."

"Itu kata lo 'cuma'?" timpal Kaisha dengan bertanya karena kebingungan.

Naren menganggukan kepalanya polos, "Soalnya gue bukan yang jago gitu. Lagian alat musik kan juga banyak. Gue lebih suka bikin lagu aja."

"Keren juga lo bikin lagu. Bikin lagu juga perlu peka sama banyak instrumen," kata Gian kali ini.

"Iya, sih. Gue masih perlu banyak belajar."

"Key bisa main piano tuh."

Naren melempar pandangannya pada perempuan yang tengah meminum susu stroberinya untuk bertanya, "Iya?"

"Iya, cuma gue gak suka main piano. Jadi, lo gak perlu ajak gue ke studio juga."

Laki-laki itu mengangkat kedua bahunya asal-asalan, "Emang gue gak berminat ngajak lo juga, sih."

"You're so annoying," kata Kaisha dengan jujur membuat Naren tertawa mendengarnya. Pertemuan yang terjadi secara tidak sengaja di antara mereka menjadi awal mula pertemanan ketiganya terjalin. Setelah bertemu dengan Kaisha dan Gian, Naren juga memutuskan untuk pergi ke SMA yang sama dengan keduanya. Ketiganya kerap melewatkan hari-harinya bersama. Kaisha sama sekali tidak keberatan menjadi perempuan satu-satunya di dalam pertemanan ini. Faktanya, baik Gian dan Naren selalu memperlakukannya dengan baik. Membuat dirinya merasa dikasihi dan dilindungi, tanpa perlu meminta pada keduanya.


*Permisi, boleh saya izin ke toilet?

*Ya, silahkan.

*Ujian level mandiri Bahasa Prancis.

Can You Love Me Naked?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang