K A I S H A
Mulanya aku berpikir bahwa menyimpan amarah hanya akan menguras energi. Membuatku selalu berusaha untuk meredam emosi tersebut, pun menghindarinya. Namun, seiring berjalannya waktu aku menyadari bahwa terkadang kita akan hidup berdampingan dengan sesuatu ataupun seseorang yang dapat memicu adanya rasa marah. Bodohnya, aku berpikir bahwa Ayah akan menempati posisi nomor satu sebagai orang yang dapat membuatku marah. Aku tidak membencinya, sedikit pun. Hanya saja aku tidak bisa memungkiri bahwa segala hal yang pernah dan masih dilakukan olehnya masih berbekas, membuatku sangat marah.
Dugaanku salah. Mungkin benar jika banyak yang menyatakan bahwa sakit hati terbesar dapat terjadi karena orang tak terduga, tidak terkecuali orang terdekat. Aku sudah merasakannya tiga tahun yang lalu. Hari di mana seseorang yang paling dekat dan aku percaya berkhianat, membuatku mempertanyakan banyak hal. Aku mempertanyakan makna pertemanan yang telah terjalin antara kita selama bertahun-tahun. Apa makna dari ratusan malam yang pernah kita habiskan bersama hanya untuk bertukar cerita hingga pagi dan bergurau di rooftop? Bagaimana dengan setiap kata yang terlontar untuk meyakinkan satu sama lain, juga dukungan? Bahkan aku juga mempertanyakan tentang pelukan yang selalu kita berikan kepada satu sama lain sewaktu-waktu.
Tapi, itu semua bukan pertanyaan terburuk dari ribuan pertanyaan yang sering muncul secara bergantian dan mengisi kepalaku. Ada pertanyaan terburuk di atas segala pertanyaan itu. Apa salahku? Aku sudah melewati berbagai malam dengan mempertanyakan diri sendiri. Menjadi makananku sehari-hari untuk menghardik dan menyalahkan diriku sendiri. Tidak peduli berapa kali Gian selalu mengatakan bahwa segala yang terjadi sama sekali bukan kesalahanku. Mungkin aku terlalu banyak berinvestasi dalam pertemanan. Mencari kehangatan atas rasa dingin yang aku dapatkan dalam keluarga. Berharap bahwa teman dekatku tidak akan menjadi seseorang yang memelukku hanya untuk menancapkan pisau secara diam-diam. Kemudian membiarkanku terjatuh, membuat pisau itu semakin menancap dengan dalam.
Aku kira itu sudah menjadi bagian terburuknya. Ternyata pertemuan siang itu membuat sesuatu yang sudah buruk, menjadi lebih buruk lagi. Dari ribuan manusia orang yang membuat Jakarta tidak pernah mati setiap harinya, aku harus bertemu dengannya. Seseorang yang membuatku semakin sulit untuk memberikan kepercayaan pada orang lain. Hadirnya dengan mudahnya membuatku kembali merasakan luka yang sudah aku coba kubur sedalam-dalamnya. Nyatanya, hanya dengan melihatnya luka itu seolah-olah kembali terbuka dengan sangat lebar dan jelas. Jangan ditanya bagaimana rasa sakitnya, aku bahkan tidak mengerti cara terbaik untuk mendeskripsikannya. Masih teringat dengan jelas pertanyaan yang dilontarkan dengan jelas di hadapanku, "Mau sampai kapan, Key? Ini udah berapa tahun?" Ditambah satu pertanyaan lainnya, "Apa lo juga akan melupakan fakta kalau lo hampir membuat seseorang meninggal?"
Dan apakah mereka juga akan menutup mata kalau terkadang manusia juga dapat merasa mati, tanpa perlu kehilangan nyawanya? Aku mungkin tidak dapat menjelaskan dengan pasti rasa sakit dalam diriku selama ini. Tapi, aku hanya bisa mengatakan satu hal. Aku tidak merasa benar-benar hidup selama ini. Aku hanya masih bernafas.
.
.
.
"Fel!" Felisia yang sedang berjalan menuju kantin fakultasnya menolehkan kepalanya ke sumber suara. Laki-laki yang memanggilnya terlihat setengah berlari menghampirinya, membuat Felisia menatapnya kebingungan.
Reno yang sudah kini sudah berdiri di hadapannya langsung bertanya, "Kaisha ke mana?"
"Maksud lo Key? Dia tadi langsung balik ke apartemen. Kenapa? Sejak kapan lo kenal Key? Lo mau modusin dia ya? Gak ada ya lo modus-modusin temen gue!" Belum sempat Reno berbicara kembali, Felisia sudah mencecarnya dengan berbagai pertanyaan dan mengancamnya secara tidak langsung.
"Pertama, gue gak kenal sama dia. Kedua, gak ada niat buat modusin. Terus yang ketiga, gue butuh ngobrol sama lo."
Felisia sebenarnya tidak suka untuk berbasa-basi, apalagi ketika dirinya sedang merasa lapar. Namun, aneh pikirnya ketika Reno sampai meluangkan waktu untuk mendatanginya mengingat bahwa mereka tidak berada di satu fakultas yang sama. Perempuan itu kemudian mengajaknya untuk membeli makan terlebih dahulu, sebelum keduanya kini duduk berdampingan di dalam mobil milik Reno. Felisia terlihat sibuk menikmati sebuah kotak yang berisikan nasi campur andalannya, "Lo ngomong aja, gue makan pakai mulut kok. Jadi, telinga gue masih bisa dengerin."
"Sumpah, lo kalau makan bisa pelan-pelan gak sih? Gak berubah dari SMA perasaan." Reno menatap Felisia dengan terheran-heran. Ia sudah mengenalnya sejak di bangku SMA. Tidak jarang ia menemui Felisia terlihat menikmati sepiring penuh dengan nasi segunung di kantin sekolah. Sampai Reno pernah memanggilnya sebagai omnivora karena Felisia benar-benar dapat memakan banyak hal dalam porsi besar.
"Gue laper tadi habis presentasi. Energi gue terkuras. Buruan ngomong, jangan bawel dah lo."
"Lo tahu Key ada masalah?"
Seketika Felisia menghentikan kegiatannya dan menatap Reno, "Masalah apa?"
"Soal dia dan tunangannya? I mean, mantan tunangan dia."
Felisia memutar bola matanya kesal, mengira bahwa Reno akan membahas tentang isu perselingkuhan teman dekatnya. Dirinya tidak lagi terlihat tertarik dengan percakapan keduanya dan kembali menyendokan nasi ke dalam mulutnya. Sampai Reno kembali berkata dan membuatnya seketika tersedak, "Maksud lo gimana?"
"Iya, gue ngerti Key gak selingkuh. Terus adiknya Aga itu temen gue, namanya Naren."
Felisia menutup kotak yang dibawanya dan membuka sebuah botol air mineral, lalu ia menegaknya sampai habis. Ia kemudian kembali memusatkan pandangannya pada Reno, "Terus kemarin Key ketemu temen lo itu?"
"Iya," kata Reno.
"Pantesan dia banyak diem hari ini. Biasanya juga gak banyak ngomong, sih."
"Nah, gue mau minta tolong sama lo nih."
Felisia mengerutkan dahinya, kali ini tidak dapat menebak arah pembicaraan yang akan dilontarkan oleh Reno. Laki-laki itu kemudian melanjutkan ucapannya, "Bantu gue bikin Key ketemu sama Naren. Mau gak?"
"No, gue kasih tahu ya. Gue rayu Key buat nemenin belanja aja susah, ini lagi. Kalau gue jebak dia buat ketemu sama Naren yang ada pertemanan gue sendiri jadi taruhannya. Gak mau, gue gak mau bantuin lo."
Reno meraih lengan perempuan yang di sampingnya. Kali ini ia merengek seperti anak kecil, berusaha merayu Felisia agar membantunya. Alih-alih mendapat bantuan dari Felisia, perempuan itu justru memukul keningnya. Felisia lalu kembali berkata, "No, gue sama sekali gak pernah tanya terlalu dalam soal urusan ini. Cuma selama kenal Key, dia bukan orang yang suka marah."
"Tapi, dia udah marah sama temen gue bertahun-tahun. Gue gak tega lihatnya, Fel."
"Justru itu yang harus lo pertanyakan. Kenapa bisa orang jarang marah bisa marah sampai bertahun-tahun?"
Reno menatapnya dengan serius kali ini, "Soalnya Key gak bener-bener tahu semuanya."
"Itu urusan temen lo untuk bisa nunjukin yang Key selama ini gak tahu. Temen lo milih diem selama tiga tahun ini, No. Kalau dia ada kemauan, harusnya dia usaha lah. Know your place juga, gak semua hal perlu lo urusin. Sekali pun lo tahu kejadiannya kayak gimana." Felisia meraih beberapa barang yang dibawanya dan langsung keluar dari dalam mobil. Reno yang masih berada di dalam hanya dapat menghela napasnya. Bukan ia berniat untuk ikut campur, tapi sudah terlalu lama untuknya mengetahui sendiri. Tentang satu dan beberapa hal yang tidak pernah disampaikan oleh Naren kepada yang lain, termasuk Kaisha.