02 | galar

671 129 8
                                    

hai.

sudah siap bertemu lagi dengan jiwa?

happy reading!

***

Matahari berada tepat di atas kepala ketika mobil Jiwa bergerak melewati papan nama bertuliskan Galar. Setelah kurang lebih 3 jam berkendara—atau sepertinya lebih, karena Jiwa sempat tersesat mengingat daerah ini jauh dari perkotaan dan sangat asing baginya—Jiwa akhirnya tiba di guest house yang direkomendasikan oleh Tian semalam.

Namun Jiwa tidak langsung turun dari mobilnya. Lelaki itu terdiam sejenak, memperhatikan bangunan yang terhampar di depannya. Not bad. Ah, scratch that. This is great.

Guest house satu lantai itu terlihat sederhana, dengan kebun kecil di halaman depan yang tampak terawat. Ada kursi taman yang menghadap ke kolam ikan kecil. Bangunannya mengingatkan Jiwa pada rumah oma yang dulu sering ia kunjungi semasa bocah. Terasa hangat. Terasa tenang. Namun meski bisa dibilang bangunan tua, sama sekali tidak ada kesan horor yang diberikan oleh Galar karena semuanya masih dalam keadaan baik.

Jiwa tidak ingin hiperbola, namun meski belum menjejakan kakinya ke dalam, Jiwa telah menyukai kesan pertama yang diberikan oleh Galar.

Tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Jiwa akhirnya turun, mengeluarkan koper yang menjadi satu-satunya bawaan miliknya, lalu mulai melangkah masuk menuju ke meja resepsionis.

Wanita di balik meja itu hampir tersedak nafasnya sendiri ketika melihat siapa yang sedang berdiri di hadapannya. Dan meski dengan kacamata hitam yang dikenakannya, mengenali sosok Jiwantara Lazuardi bukanlah hal yang sulit. Wajahnya yang hampir selalu terlihat wara-wiri baik di televisi maupun sosial media membuat hal tersebut semakin mudah.

Maka, butuh beberapa detik untuk pegawai Galar itu bisa menyapa Jiwa.

"S-selamat datang di Galar. Ada yang bisa saya bantu?"

Jiwa tersenyum, dengan mudah tahu bahwa gadis di depannya ini mengenalinya. Well, melihat seseorang—terutama wanita—nervous di hadapannya seperti ini tentulah bukan hal yang baru lagi bagi Jiwa. Perempuan itu benar-benar terlihat salah tingkah ketika Jiwa menanyakan apakah masih ada kamar kosong, hingga ketika ia memanggil salah satu staff laki-laki untuk mengantarkan Jiwa ke kamar yang akan ditempati oleh pemuda itu.

Sebelum Jiwa pergi menuju kamarnya, cowok itu sekali lagi menarik segaris senyum sambil berkata, "Thank you—" Jiwa membaca nametag di baju perempuan itu, "—Jolly."

Anggap saja fanservice.

Padahal memang basicnya buaya saja.

Ketika sampai di kamarnya, Jiwa langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Menyetir sendiri selama 2 jam tanpa henti ternyata melelahkan juga. Jiwa baru menyadarinya karena selama ini, Jiwa selalu keluar dengan supirnya.

Memikirkan itu membuat Jiwa jadi membuka matanya, menatap kipas angin yang menempel di langit-langit kamarnya. Pria itu menghela nafas. Panjang. Ia bergerak merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. Ekspresinya sama sekali tidak berubah ketika membaca notifikasi-notifikasi yang memenuhi layar ponselnya. Bahkan dalam sedetik, puluhan notifikasi baru masuk.

Notifikasi itu berasal dari sosial medianya. Isinya tak jauh berbeda. Penuh dengan komentar-komentar kebencian hingga menyumpahi agar ia segera menemui ajalnya.

Mengabaikan itu semua, Jiwa memilih untuk membuka Whatsapp mengirimkan sebaris pesan kepada Yuki bahwa ia sudah sampai di Galar—sesuai dengan janjinya bahwa ia akan terus mengabari gadis itu. Setelahnya, Jiwa meletakkan ponselnya di atas kasur dan beranjak untuk mandi.

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang