hai haiii.
rencananya chapter ini buat besok malam. eh tapi ternyata komentar chapter sebelumnya udah sampai 70. nggak bisa ditantang memang kaliannn wkwk
terima kasihh ya buat semua komentarnya
target buat chapter ini 85 komentar yaa
happy readingg!!
***
Jingga menggeliat kecil di tempat tidurnya sebelum perlahan membuka mata setelah terlelap entah untuk berapa lama. Namun Jingga rasa tidurnya cukup panjang, karena dari jendela kamarnya, Jingga bisa melihat bahwa di luar sana sudah langit sudah gelap.
Kening Jingga mengernyit tatkala menyadari bahwa lampu kamar sudah dimatikan, menyisakan cahaya kuning temaram yang berasal dari lampu tidur di sebelah kiri kasur. Kalau tadi Jingga sempat terbangun untuk menyalakan lampu tidurnya, maka ia sama sekali tidak ingat sekarang.
Lantas, ketika Jingga melihat ke sekeliling ruangan, matanya membeliak kala menemukan Jiwa yang duduk di sofa kamarnya. Pemuda itu tampaknya belum menyadari Jingga yang sudah terbangun dan sekarang sedang memperhatikannya. Menggunakan lampu sudut yang tidak begitu terang, Jiwa tampak sedang membaca sebuah buku yang Jingga yakini adalah diambil Jiwa dari rak buku milik Ayah yang juga berada di kamar ini.
Untuk beberapa alasan, Jingga memutuskan untuk tidak bersuara untuk sejenak. Ia diam, mengamati Jiwa yang kini sedang membalik halaman buku.
Baju Jiwa sudah berbeda dari yang Jingga ingat sebelum ia tertidur, mengindikasikan bahwa pemuda itu sempat kembali ke kamar dan berganti baju. Tangan kiri Jiwa menopang sisi wajahnya dengan santai, sementara tangannya yang bebas memegang buku yang masih menjadi pusat dari seluruh perhatiannya. Cahaya remang yang berasal dari lampu sudut di dekat Jiwa membuat fitur-fitur wajah lelaki itu terlihat semakin tajam.
Yang Jiwa lakukan hanyalah membaca buku, namun mengapa Jingga merasa cowok itu seperti sedang berpose untuk sebuah pemotretan majalah ternama?
Tidak ingin terhanyut lebih lama lagi, Jingga memutuskan untuk bersuara. "Kamu seharian cuma duduk di sini?"
Jiwa mendongak, dan ada seulas senyum yang muncul kala matanya bertemu dengan mata Jingga. Jiwa menurunkan buku yang sedang ia baca, namun masih belum mengubah posisi sama sekali. Pemuda itu memandangi Jingga yang sudah setengah duduk di kasurnya, menikmati wajah tanpa polesan perempuan itu lebih dari yang ia kira.
"Gue ada keluar bentar buat ngerokok dan mandi tadi."
"Nggak makan?"
"Kalau mau dapat laporan seluruh kegiatan gue, harus jadi pacar gue dulu."
Jingga memutar bola mata. "Nggak. Saya nggak mau tau."
"Nggak ada rasa terima kasih sama sekalinya." Jiwa mencibir. "Bad girl Jingga."
"I've told you i'm not a bad girl!"
"But not a good girl, either." Jiwa berdiri dan melangkah mendekati Jingga, lalu duduk di sisi wanita itu dengan jarak yang dekat. Lain kali, Jingga rasa ia harus harus menghindari berada di dalam ruangaan kurang pencahayaan seperti ini hanya berdua dengan Jiwa. Karena pemuda itu jadi tampak lebih berbahaya dan... Indah. "Am i right?"
"No. Not at all." Jingga menukas. Namun sorot matanya melunak saat berkata, "But, anyway... Thank you for... Being here."
Jingga sudah lama tidak memiliki orang di sisinya saat jatuh sakit seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temu Jiwa
RomanceBebas bertemu belenggu. Ribut bertemu sunyi. Ramai bertemu sepi. Banyak yang bilang bahwa dua sosok bertolak-belakang justru akan saling tarik-menarik layaknya magnet. Namun dalam realita, Jiwa dan Jingga adalah sepasang manusia yang punya kemampuan...