haloo.
gengs santai dulu gasie..... masa kurang dari sehari udah 140 komentar.....🙂
gokill abiss kalian semuaaaa. terima kasih banyak yaaa!!!
target chapter ini naik 5 aja deh jadi 90. soalnya rada pendek. seharusnya sih digabung di chapter sebelumnya, tapi aku putusin untuk bagi 2 aja.
happy readingg!!
***
Apa yang baru saja didengar oleh telinganya berada jauh di luar tebakan Jiwa sebelumnya. Meski sesungguhnya, setelah pertemuan singkatnya dengan Haza siang tadi, Jiwa semakin merasa clueless mengenai hubungan apa yang sebenarnya dimiliki oleh Haza dan Jingga.
Haza mungkin bisa dengan tenang berbicara bahwa ia mempersilahkan Jiwa jika memang ingin mendekati Jingga. Namun Jiwa adalah laki-laki, dan ia mengenal jenis tatapan yang Haza berikan kepadanya saat berbicara demikian.
Tatapan yang hanya diberikan oleh seorang pria jika merasa ada seseorang yang telah mengusik apa yang menjadi miliknya.
"It's an arranged married." Jingga lanjut berbicara, berusaha terdengar tenang. Meski tentu saja, topik ini tidak pernah menjadi sesuatu yang mudah bagi Jingga.
Sementara Jiwa yang masih berdiri dan menatapnya hanya diam. "Ayah saya dan Papa Mas Haza bersahabat. Dari SMP kalau nggak salah. Katanya dulu, Papa sempat selisih paham dengan kakeknya Mas Haza dan hampir nggak jadi pewaris dari Casugraha Group. Selama masa Papa susah itu, Ayah yang selalu bantuin dia, bahkan ngajak tinggal bareng karena Papa juga diusir dari rumah tanpa bawa uang sepeser pun. Makanya setelah Papa akhirnya pulang kembali dan berdamai dengan Kakek Mas Haza, Papa merasa punya hutang budi yang besar kepada Ayah."
Jingga tidak tahu diamnya Jiwa sekarang karena laki-laki itu masih ingin mendengarkan penjelasannya lebih lanjut, atau karena Jiwa terlalu terkejut dan sulit mencerna apa yang baru saja Jingga katakan kepadanya.
Namun apapun alasan Jiwa, Jingga memutuskan untuk kembali lanjut bercerita.
Yang Jingga tidak tahu adalah, alasan lain dari bisunya Jiwa saat ini adalah karena bagaimana Jingga yang masih memanggil Darshan Casugraha dengan sebutan Papa.
"Tiga tahun lalu, Ayah jatuh sakit. Leukemia. Papa tentu mau membantu membayar semua pengobatan dan kemoterapi yang harus Ayah jalani. Awalnya Ayah menolak, namun lama kelamaan, harta keluarga kami hampir habis. Apalagi saat itu, Galar belum sebagus sekarang, jadi hampir nggak ada yang dateng menginap di sini. Ayah akhirnya menerima bantuan Papa. Tapi Ayah juga punya kekhawatiran lain."
"Dia khawatir harus ninggalin lo sendirian."
Jingga tersenyum mendengar Jiwa yang menebak dengan tepat dan mudah. "Ayah tau umurnya nggak lama lagi. Sementara saya selama ini hanya punya Ayah. Saya nggak pernah tega ninggalin Ayah sendirian. Papa yang tau kekhawatiran Ayah itu akhirnya ngasih solusi untuk memperbagus Galar supaya semakin banyak yang ingin datang ke sini. Selain itu, supaya saya nggak sendirian saat nanti Ayah harus pergi, Papa menawarkan untuk menikahkan saya dengan Mas Haza. Papa bilang, sejak dulu dia selalu ingin saya jadi menantunya. Apalagi Mas Haza sama sekali belum pernah mengenalkan perempuan ke orang tuanya karena terlalu sibuk bekerja."
Jingga sulit membaca emosi yang bermain di wajah Jiwa ketika lelaki itu bertanya, "Lo berdua mau aja dijodohin begitu?"
"Memangnya saya punya pilihan?" Jingga tersenyum muram. "Ayah selama ini sudah meminta saya untuk mencari pasangan hidup saya. Katanya, salah satu keinginan terbesar Ayah adalah melihat saya menikah dengan orang yang akan menjaga saya menggantikan Ayah. Dan mau bagaimana pun saya menyangkal, saya sadar waktu saya dengan Ayah nggak lama lagi. Sementara Mas Haza... saya nggak pernah mendengar dari mulut dia langsung dia menerima atau menolak pernikahan itu. Tapi saya rasa dia hanya nggak mau membantah perintah orangtuanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Temu Jiwa
RomanceBebas bertemu belenggu. Ribut bertemu sunyi. Ramai bertemu sepi. Banyak yang bilang bahwa dua sosok bertolak-belakang justru akan saling tarik-menarik layaknya magnet. Namun dalam realita, Jiwa dan Jingga adalah sepasang manusia yang punya kemampuan...