15 | kesadaran akan sesuatu

474 102 262
                                    

hai haiii.

terima kasihh buat komentar komentarr di chap sebelumnyaaa

kalian super kereenn!!!

target chap ini nggak naik deh, karena memang lebih pendek dari yang biasanya. chapter ini cuma chapter 'pembuka' untuk konflik selanjutnya

eits.

220 komentar untuk chapter selanjutnya yaww

happy reading!

***

Jingga membersihkan tubuhnya dengan satu jejak senyum yang enggan meninggalkan wajahnya. Hatinya terasa begitu ringan. Dan tentu saja kali ini tidak ada lagi drama dari Jiwa karena Jingga meninggalkan kamarnya sebelum pemuda itu terbangun. Bahkan tadi, saat Jingga membuka matanya, Jiwa sudah lebih dahulu terjaga dari tidurnya, sedang memperhatikan Jingga entah sudah berapa lama.

Jingga bersenandung kecil seraya berganti baju. Mendadak, pipinya terasa panas kembali mengingat momen-momen tadi malam. Bagaimana Jiwa menyentuhnya dengan penuh kehati-hatian, seakan dirinya adalah sesuatu yang begitu rapuh. Jemari dan bibir Jiwa yang menyapu permukaan kulitnya selembut mungkin, termasuk tatto yang akhirnya bisa Jiwa lihat seluruhnya tanpa terhalang apa-apa.

Kupu-kupu itu kembali berterbangan di perut Jingga ketika bisikkan Jiwa semalam kembali menggema. Sebaris kata yang Jiwa ucapkan tepat di telinga Jingga usai Jiwa menyentuh dan mengecup rajaman tinta di punggung telanjang Jingga.

"From now on, every time you see this tattoo, you will think about me. Only me. Got it, bad girl?"

Jingga rasanya benar-benar diterbangkan sangat tinggi saat Jiwa berbisik demikian. Jingga bahkan tidak mau lagi mengingat respon macam apa yang ia berikan tatkala ia mendengar kata-kata itu dari mulut Jiwa semalam.

Masih dengan kulit yang lembab dan rambut yang basah usai mandi, Jingga keluar dari kamarnya. Namun perempuan itu berseru kaget saat menemukan sosok Jiwa yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya seraya berpangku kaki. Mendengar suara Jingga membuat Jiwa mendongak, memindahkan perhatian dari buku—yang Jingga yakini cowok itu ambil dari rak buku di kamarnya—yang sedang dibacanya.

"Cantik amat."

"Kamu ngapain di sini?"

"Nggak boleh?" Jiwa bertanya balik.

Jingga meringis. "Nggak gitu..."

"Jangan bikin trauma deh, Ji. Terakhir kali aku di sini, berakhir kita berantem dan aku diusir karena ternyata lagi nungguin orang lain."

"Saya nggak nunggu siapa—wait..." Jingga mengerjap. "Aku...?"

Jiwa mengedikkan bahu santai. "Biasanya orang pacaran kan ngomongnya pake aku-kamu."

"Pacaran?!"

Lantas, tatapan Jiwa berubah terluka. "Jangan bilang setelah semalem kita belum pacaran juga?!"

Jingga menyentakkan kepalanya lelah. Bagaimana bisa laki-laki sedramatis ini punya begitu banyak penggemar yang memuja-mujanya? "Bukan gitu. Saya hanya ngira di umur kita sekarang status-status kayak gitu udah nggak perlu lagi."

"Status itu penting, Jingga. Biar kalau si Casugraha itu dateng aku punya hak untuk mukul dia sambil bilang 'Jangan deket-deket sama cewek gue lagi!'."

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang