05 | syarat untuk memaafkan

454 114 82
                                    

halooo.

terima kasih ya untuk komentar-komentar di chapter sebelumnyaa

target chap inii 70 komentar yaaa

happy reading!

***

Semula, Jingga tidak peduli.

Jingga tahu dari ekspresi Jiwa ketika memutuskan untuk beranjak pergi, laki-laki itu tersinggung dengan apa yang ia katakan. Akan tetapi Jingga tidak merasa memiliki alasan yang kuat untuk harus menemui dan meminta maaf kepada Jiwa atas apa yang telah dilontarkannya.

Jingga tidak meminta Jiwa untuk datang dan duduk bersamanya tadi. Jingga tidak meminta Jiwa untuk terus mengajaknya mengobrol meski Jingga sudah menunjukkan ketidaksukaan dengan jelas. Lagian, Jingga hanya memberikan opininya saja perihal berita yang ia baca tentang lelaki itu. Bukan urusan Jingga bagaimana Jiwa menyikapinya.

Awalnya begitu.

Sampai beberapa jam kemudian, ketika keduanya tidak sengaja berpapasan di restoran, saat Jingga baru hendak masuk dan hampir bertabrakan dengan Jiwa yang tampaknya baru selesai sarapan.

Untuk pertama kalinya, laki-laki itu tidak meloloskan godaan apapun kepada Jingga. Ekspresi Jiwa tidak berubah sama sekali seperti tidak emosi yang ia rasakan. Bahkan, Jiwa jadi yang pertama memutus kontak mata dan pergi dari sana, meninggalkan Jingga yang tanpa sadar menatap punggungnya hingga tak terlihat lagi.

Senyap yang diberikan Jiwa kepadanya sukses bikin laki-laki itu menjadi topik utama di kepala Jingga sepanjang hari. Rasa bersalah pelan-pelan mengerubungi Jingga yang hanya bisa gusar di ruangannya tanpa tahu harus melakukan apa.

Maka ketika langit sudah mulai gelap, Jingga memutuskan untuk mendatangi Jolly di meja resepsionis, ingin meminta pendapat kepada salah satu pegawai yang paling dekat dengannya itu.

"Jolly."

"KON—" Kemunculan tiba-tiba Jingga bikin Jolly hampir saja meluncurkan sebuah kalimat mutiara dari bibirnya. Ketika menyadari yang baru saja memanggil namanya adalah Jingga, Jolly langsung melotot sebelum satu senyum manis ia hadirkan di wajahnya. "—Trak kerja saya masih panjang kan, Mbak?"

"Saya..." Jingga berdeham canggung. "... Saya mau minta pendapat."

Jolly menyipitkan mata, sedikit curiga namun membara karena mulai mencium bau gosip. "Pendapat soal apa, Mbak? Jolly punya semua solusi untuk semua permasalahan Mbak Jingga. Dari soal karir, masa depan sampai cintrong-cintrongan."

"Misalkan nih... Misalkan, kamu denger rumor nggak enak soal seseorang. Tapi kamu nggak akrab-akrab juga sama orang itu. Terus kamu bilang langsung ke orang itu kalau kamu percaya sama rumor yang lagi beredar. Kamu juga bilang kalau orang itu pasti nggak pernah dididik dengan baik sama orang tua—"

"Wah, anjing." Sedetik kemudian, Jolly panik. "Eh, maaf, Mbak. Anjingnya bukan buat buat Mbak Jingga, kok. Jolly udah kesel duluan aja dengernya."

Jingga menelan ludah. "...Kenapa kesel?"

"Ya abis orang itu sotoy abis, Mbak. Gini ya, Mbak, namanya aja rumor, berarti belum tentu bener, kan? Kalau ternyata emang rumor itu betul, okelah. Tapi kalau salah? Bayangin aja, Mbak, udah kena rumor nggak enak, eh ada orang yang dengan sok taunya datang ke depan muka dia terus ngejelek-jelekin dia, bahkan sampai bawa-bawa orang tuanya. Kalau Jolly jadi dia sih udah abis orang itu Jolly bejek-bejek."

Shit.

Jingga membatu di tempatnya.

Ia... sejahat itu?

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang