halo!!
50 komentar untuk chapter selanjutnya yaa hehe.
happy reading!
***
Waktu menunjukkan pukul empat pagi kala Jingga membiarkan embun membasahi punggung kaki dan celana yang ia kenakan. Hujan yang turun sejak tengah malam baru reda kira-kira satu jam lalu, dan Jingga yang terbangun memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan tidurnya dan justru datang ke kebun belakang Galar yang bisa ia lihat langsung dari jendela kamarnya.
Dari seluruh spot yang ada di Galar, ini adalah favorit Jingga. Tanaman-tanaman yang tumbuh di sini dipelihara oleh Ayah semasa hidupnya. Begitu juga dengan batu pijakan yang membentuk jalan setapak kecil, serta lampu-lampu kuning temaram yang bergelantungan, menghadirkan kesan hangat dan tenang bagi siapapun yang datang ke sini.
Hingga ketika Ayah mulai jatuh sakit dan hanya bisa terbaring di kamarnya — yang sekarang ditempati Jingga—karena tidak lagi punya tenaga untuk berdiri tegap, Jingga masih menemukannya sedang memandang ke luar jendela, memperhatikan hasil tangannya dengan segaris senyum yang selalu turut hadir.
Berada di sini bikin Jingga merasa terlempar kembali ke masa kecilnya. Ketika ia akan berlari kesana kemari di kebun ini sementara ayah bergerak merapikan rerumputan yang mulai meninggi. Beberapa kali ayah memanggil Jingga untuk ikut merapikan kebun di sini.
"Nanti, ini semua akan jadi milik Jingga. Jadi Jingga harus belajar untuk merawatnya juga." Ayah bilang begitu dulu.
Dan menjaga kebun belakang ini adalah cara bagi Jingga untuk berpegang pada satu-satunya hal yang membuat dirinya merasa Ayah tidak pernah betul-betul pergi.
Sejak dulu, hanya ada Jingga dan Ayah.
Dan bagi Jingga, itu sudah cukup.
Di tengah-tengah senyap yang sedang mencengkram erat, Jingga hampir saja meloloskan satu buah umpatan karena terkejut tatkala seseorang—yang entah hadir sejak kapan dan datang darimana—ikut duduk di sampingnya dengan wajah kelewat santai.
Tentu saja. Hanya ada satu orang gila yang kini tampaknya memiliki hobi baru yaitu mengganggu Jingga sepanjang waktu seakan ia tidak punya hal lain untuk dikerjakan.
Jiwantara Lazuardi.
"Nggak masalah sama asap rokok, kan?" Jiwa bertanya, lantas membawa sebatang rokok ke celah bibir, menyulutnya dengan api.
Pemuda itu menghembuskan asap yang langsung berbaur bersama udara, lalu menoleh untuk menatap Jingga yang duduk di sebelahnya.
Tanpa ada perubahan ekspresi sama sekali, Jingga beranjak. Bagi Jingga, ini masih terlalu pagi untuk berdebat. Tenaganya belum terkumpul penuh untuk bisa meladeni Jiwa beserta apapun tujuan lelaki itu datang ke sini yang Jingga yakini hanya bermuara pada satu hal; mengusik kehidupannya.
Namun belum sepenuhnya Jingga berdiri, Jiwa berhasil menahannya duluan. Wajah Jingga menunjukkan perempuan itu sudah siap mengeluarkan rentetan protes karena Jiwa yang dengan berani menyentuhnya, namun sebelum itu terjadi, Jiwa telah lebih dulu menyelanya.
"C'mon, masa langsung cabut? Gue baru dateng, loh."
"Saya lagi nggak ingin berdebat sama kamu."
"Nggak ada yang ngajak debat, Ji." Jingga tahu Jiwa sengaja menekan saat menyebutkan Ji untuk menyindir peristiwa kemarin pagi. "Gue janji nggak bakal bikin lo merasa terganggu. Gue hanya butuh teman duduk aja."
Ada sesuatu yang sekelebat bisa Jingga tangkap dari mata Jiwa yang bikin Jingga percaya pemuda itu tidak sedang mempermainkannya seperti biasa. Jingga kembali duduk, kali ini memberi jarak kira-kira tiga jengkal di antara dirinya dan Jiwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temu Jiwa
RomanceBebas bertemu belenggu. Ribut bertemu sunyi. Ramai bertemu sepi. Banyak yang bilang bahwa dua sosok bertolak-belakang justru akan saling tarik-menarik layaknya magnet. Namun dalam realita, Jiwa dan Jingga adalah sepasang manusia yang punya kemampuan...