[Chapter 08: Hati dan Emosi, Mengenai Memori]

37 15 4
                                    

"Saya Kei Agrovio. Mulai hari ini saya akan menjadi anggota Ksatria Nouveau Skuadron Satu. Mohon bantuannya."

Begitulah bahan pembicaraan pagi di meja sarapan dimulai, dengan perkenalan diri dari pemuda yang dibawa Kapten Levair semalam. Hanya sebatas perkenalan singkatnya itu yang kudengar jelas, selanjutnya aku berfokus memasok energiku yang diperas lembur semalaman dengan sarapan buatan Fuwuri. Aku berhasil memfokuskan mata untuk tidak mengantuk saat lembur, sebagai gantinya, di pagi hari inilah efek beratnya mataku baru terasa. Kuharap kepalaku tidak akan jatuh ke piring sarapanku sendiri.

Meski begitu, aku sudah cukup memindai profil fisik pemuda anggota baru itu—dan satu kesimpulan langsung kudapatkan; dia jenis orang yang serius—atau malah kelewat serius. Dapat terlihat dari garis wajahnya yang tegas bak dididik keras, rahangnya yang mengatup dengan bibir cenderung terkunci formal, pula matanya yang mengilatkan tajam keseriusan—bukan datar-tajam-intimidatif seperti Kapten Levair. Postur tubuhnya yang tegak tampak seperti kebiasaan, juga vokalnya yang selalu jelas mengeja wibawa. Rambutnya terpangkas rapi tanpa melewati tengkuk, ditata meyamping meski poni depannya sedikit panjang.

"Ya. Selamat datang di Skuadron Satu, Kei," sapa Lumi meski wajahnya malas diekspreksikan mengikuti kalimat.

"Salam kenal, Kei! Panggil saja Fuwuri, Fuwuri!" balas Fuwuri dengan senyum terkembang cerah nan lebar.

Dan Kei mengangguk ke arah kedua yang duduk di kursi makan, sopan dengan senyum bak standar. "Terima kasih, Lumi, Fuwuri."

"Hei, hei, hei...! Anak baru, kau tidak tahu apa itu senioritas? Sini biar kutunjukkan—"

Sebelum Gieru membuat keributan, derit kursi lain yang ikut bangkit memotong.

"Ahaha, maaf, ya. Dia Gieru yang selalu suka cari ribut, dan aku Rivid yang tidak suka cari ribut. Salam kenal, Kei," kata Rivid, menangkup wajah Gieru dengan sebelah telapak tangan yang bisa membuang pemuda serampangan itu kapan saja untuk membungkamnya.

Sementara, hanya aku seorang yang tidak memberikan sambutan. Sebenarnya aku ingin bergabung dalam perbincangan hangat di depan mataku itu, tersenyum seperti Fuwuri, atau menimpali beberapa kali seperti Lumi; memancingnya bicara seperti Gieru, atau menjadi peredam tanda-tanda pencari masalah seperti Rivid. Tetapi, selain letih yang masih belum tersisih dari mata, ada juga sebersit ketidaknyamanan yang entah mengapa sejak semalam bertatap muka kali pertama dengan Kei terasa mengganggu pikiranku.

Aku menghela napas, menatap piring sarapanku yang telah tandas—berbanding terbalik dengan piring-piring lainnya yang bahkan belum dilahap setengahnya. Jadi, aku bangkit dari kursi, membawa hanya piringku saja untuk diletakkan di dapur.

Markas Skuadron Satu terdiri dari dua lantai dan sepetak halaman belakang. Dari pintu depan, ruang tamu yang selalu dibersihkan rapi terbentang. Di dinding sisi kiri, tiga kamar berderet sampai pintu belakang. Di balik dinding pembatas ruang tamu, ruang makan dengan meja makan dan tujuh kursi menandainya berdampingan dengan rak alat-alat makan. Sedikit lorong berbelok ke kiri ada ruangan kecil yang berfungsi sebagai gudang makanan—sementara ke kanan, terdapat dapur yang cukup luas sekaligus keran yang siap digunakan untuk mencuci piring. Bersebelahan dengan kamar mandi dan toilet, yang petaknya cukup memadai sekaligus terdapat bak air di masing-masing bilik. Sementara, tangga ke lantai dua menanjak di dekat dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang makan. Di lantai dua juga berderet tiga kamar dengan balkon ke luar dan masing-masing satu bilik kamar mandi dan toilet. Dan keluar dari pintu belakang, ada petak halaman belakang yang terkadang dipakai untuk latihan melenturkan otot—terserah mau dengan cara apa—dengan sebuah ruang kamar yang dibangun menempel dinding luar markas, bersebelahan dengan gudang senjata serta kamar mandi dan toilet di sana juga.

Jadi, begitulah markasku. Markas yang paling baik dibanding markas skuadron-skuadron lainnya, sungguh. Membuatnya menjadi nyaman atau tidak, adalah urusan para penghuninya sendiri.

Usai kuletakkan piring di celah kecil dekat kompor yang mengampu keran air di atasnya dengan kelotak singkat, jantungku nyaris loncat keluar begitu berbalik dan mendapati sosok Kapten Levair yang menyilang tangan bersandar ambang pintu dapur yang hanya setengah badan—sepertinya pintu itu ditempelkan hanya untuk mencegah masuknya tikus, meski atap tidak dipikirkan sepertinya.

"Ada apa, Kapten Levair? Muncul tiba-tiba sampai aku hampir jantungan." Kucoba menepis nada gerutuan dalam kata-kataku.

Kapten Levair mengerlingkan manik tajamnya padaku. Mengibaskan selembar kertas yang kukenali adalah salah satu dari lembar laporan lemburku semalam. "Terima kasih untuk lemburnya semalam. Berkat itu, aku tahu bahwa kita benar-benar harus memprioritaskan evakuasi."

Kukenali keseriusan yang sarat dalam manik tajam itu. Dan sebenarnya, aku pun sudah menduga kesimpulan yang selaras dengan Kapten Levair sejak menulis laporan. "Untuk lemburnya, sama-sama, Kapten Levair. Dan untuk evakuasinya, kurasa itu memang prioritas yang seharusnya. Tapi—"

"Ya, aku tahu," potong Kapten Levair dengan suara berat. Kudapati rahangnya yang mengeras geram, pahit serupa rasa dalam bibir yang kugigit ke dalam. "Sulit bukan berarti kita menyerah dengan prioritas itu. Fellaniar, bersiap untuk ikut mengajukan hal ini pada Dewan denganku hari ini."

Aku sigap menegak hormat, menghapus lelah yang berusaha membantah. "Siap laksanakan, Kapten Levair."

"Kau tidak perlu membereskan berkas-berkas. Inilah alasanku memintamu lembur semalam, membuat rekapitulasi yang satu untuk dibawa ketimbang banyak berkas lawas," kata Kapten Levair memberi tahu, yang kujawab dengan senyum lega dan anggukan.

"Satu lagi—jangan lupa untuk mengakrabkan diri anak baru itu, Fellaniar. Kau cukup membenciku saja yang sudah memasukkannya menggantikan posisi mendiang Nomor Tiga."

Aku membisu.

Kembali. Rasa tidak nyaman itu kembali melingkupi hatiku. Entah kenapa.

"Aku sama sekali tidak membenci Kapten Levair...," bisikku lirih, kata-kata berlarian tak teratur dalam kepalaku yang berusaha menyusun. "Tapi, kenapa ... kenapa Astra harus digantikan?"

Manik tajam Kapten Levair bergeming dingin kala menjawabku, sebelum berbalik pergi tanpa menunggu.

"Karena dia sudah mati, Fellaniar." []


<><><><><>


"Terima kasih sudah membaca. Dengan ini, minggu pertama writing marathon berjalan lancar alhamdulillah~" kata A/Z, merentangkan kedua tangan untuk menyembunyikan jejak medan perang di kamarnya. "Juga, saya akan selalu menghargai apresiasi vote & comment darimu, Readers! Ikuti instagram @thebladeofwrite untuk info-info terbaru KnightMare: Balsamic!"

(851 words)

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang