"Rivid!"
Aku mencoba memanggil namanya. Di antara suara tanah yang seakan diketuk terus-menerus agar pecah, juga ribut kabut yang seakan tengah melakukan ritual pemanggil kekacauan di lapangan tarung terbuka itu. Beberapa pepohonan mengukung sisi-sisinya yang luas, dan tanah di sana terlapisi rumput pendek yang kentara rajin tidak dibiarkan liar. Selebihnya, kosong—benar-benar lahan pertarungan terbuka.
Dan, sosok satu-satunya manusia berdiri tepat di tengah-tengah lapangan sana. Pada salah satu murid yang tampaknya bisa kuserahi amanat, sudah kusuruh ia melaporkan keadaan munculnya monster Kegelapan di dalam akademi—detail aba-aba untuk mengungsi biar kuserahkan kepada guru-guru itu yang seharusnya tahu. Sebab, aku sendiri punya peran—yang hanya aku seorang bisa memainkannya di sini dan saat ini.
Hanya sebentar kualihkan pandang kepada lorong untuk memastikan arus benang-benang Abstrak telah menjauh, Rivid sudah tak lagi berdiri tegak saja. Pemuda itu mengangkat kedua tangannya di depan badan—yang bisa kulihat dari posisinya yang menyerong—tampak seolah sedang mengamati kedua tangannya sepanjang lengan. Mataku melebar—bukan, bukan sekadar seolah. Mata zamrud pemuda itu yang berawan kini terpancang pada sapuan bercak merah di sepanjang lengannya—darah dari gadis murid akademi yang diselamatkannya sekejap mata sebelumnya.
"Rivid!" seruku sekali lagi, berusaha mencegah gerakan lengannya yang kembali mengendur dan saling menjauh. "Rivid Rhys!"
Percuma. Jangankan mencegah, teriakanku bahkan tidak bisa menangguhkan barang sedetik saja ia membuang sarung tangan kedua tangannya. Aku mempertaruhkan kesempatan terakhirku untuk mencegahnya—tetapi, baru kutarik napas, Rivid sudah menyentak gagang tombak di bagian berukir timbul tajamnya pada telapak tangan kiri.
Darah memuncrat. Merah pertama yang tertumpah.
Aku tak bisa lagi mengumpulkan napas ketika pemuda itu ganti melintangkan sayatan luka di telapak tangan kanannya. Seakan cairan merah yang menetes-netes ke sepanjang tombaknya itu hanyalah pelumas yang berguna, Rivid mencengkram tombak dengan kedua tangannya dan mendirikan kuda-kuda sempurna. Hampir saja aku terkesan dengannya yang tetap tenang mengambil ancang-ancang sekalipun terkepung kabut-kabut hitam pekat yang kian berpusing—andai aku tidak pernah mengetahui aba-aba dari apa ini sebenarnya.
Tanpa menunggu seruan peringatanku akan selintas kabut yang merupa sepasang tangan di belakang punggungnya, bunga api telah bermekaran di sepanjang tombak Rivid untuk disebarnya dalam satu lingkaran penuh. Meledakkan kobar api detik berikutnya, yang melahap habis sosok kabut yang hendak membekapnya dari belakang tadi.
Momentum gerakannya membuat pijakan pemuda itu kini lurus menghadapku. Matanya kini lurus menatapku. Aku mematung; kobar api yang juga terbakar di dalam matanya—hingga seakan warna zamrud maniknya termakan oleh warna merah—itu jauh lebih tajam ketimbang sekali kejadian yang membuatku mengetahui sisi gelapnya dulu.
Setelah terkunci oleh matanya, gerakan dari sudut-sudut bibirnya ganti menarik atensiku seperti refleks. Pada seukir senyum yang mengembang menjadi lebar seringai, berbingkai euforia yang sama membaranya dengan api di sekujur tombak dan parade kabut yang berhenti bermain-main di sekelilingnya.
"Fellaniar, jangan ganggu aku bersenang-senang, ya."
Itu bukan pertanyaan yang menunggu jawaban, itu adalah pernyataan yang mengecam peringatan di antara matanya yang memelotot oleh bara dan seringainya yang siap mengunyah mangsa.
"Riv—"
Jangankan sampai, tanganku hanya separuh menggapai. Kecamuk Abstrak seakan mendadak diledakkan di dadaku, menyentak derita yang merasuki tulang-tulangku. Pijakanku serasa terbelah hingga lututku rebah, memahat tiap tajam benang Abstrak yang kukenali adalah milik Rivid di hadapanku menjadi jarum yang bercabang-cabang. Emosinya bukan lagi sekadar tidak stabil—benar-benar kacau. Tusukan demi tusukan mencelus jantungku dari imaji yang nyata. Aku tertular gelegak amarahnya yang sepanas kuali berapi. Tetapi aku dibatasi oleh sekat kesadaran bahwa amarah itu adalah milik Rivid, membuat gelegak panas itu menghantamkan mual tanpa henti ke rongga dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
KnightMare: Balsamic [TAMAT]
FantasyMedan yang lebih buruk dari perang mana pun, ada di sini; panggung kenyataan di mana Kegelapan mengacaukan perbatasan demi menguasai dunia umat manusia. Mereka berkata ini demi kedamaian; pengorbanan berbaris-baris pion yang masih manusia pun dilaku...