[Chapter 23: Terlelap dalam Mimpi Buruk yang Terungkap]

28 13 9
                                    

Aku tidak tahu apakah tepatnya aku terlambat atau tidak, kemarin.

Diagnosa menyebutkan bahwa Mary, Bold dan Rainer telah terinfeksi racun Kegelapan dalam dosis yang cukup berbahaya—percayalah, kau harus melihatnya sendiri untuk memahami betapa kata 'cukup' itu hanya pemanis saja. Racun itu berbahaya. Dosis yang menyerang mereka bertiga berbahaya. Nyawa mereka dalam bahaya. Aku bisa merasakan benang-benang Abstrak ketiganya yang ternoda kelam, seolah digerogoti rayap bersungut racun—ketika menjenguk ke bangsal fasilitas kesehatan tempat ketiga ranjang pasien mereka terbaring berjejeran di satu bangsal, berbatas tirai putih. Dengan status koma yang kritis, berpacu dengan waktu di dalam krisis.

Aku tidak tahu apakah aku berhasil melakukan sesuatu atau tidak, kemarin.

Kubuka tangan kanan untuk dihadapkan pada wajah, mengmati guratnya dan rumbai benang yang menari-nari terlalu kasat mata hanya untukku seorang. Masih berjejak; masih kuingat jelas bagaimana sensasi gamang yang sunyi di tengah gemuruh energi ketika Abstrak dalam diriku meledak—lagi, untuk yang terkuat. Masih kuingat jelas pula rasa kalap yang membuat sepotong tangan dari alam bawah sadar mengambil alih kemudi diriku. Itu nyata. Jejak retakan tanah ... dari telapak tanganku yang menjalarkan Abstrak, selagi membiarkan diriku sendiri tenggelam dalam buih Legendaris Imortal ... yang seakan-akan terasa seperti sebuah kepribadian lain—

Ah, gawat. Aku mulai mengigau sendiri lagi.

Padahal, apa yang memenuhi kepalaku sepagi buta ini bukan itu.

Masih kuingat jelas—betapa suara itu menerobos kepalaku. Andaikan saja kepalaku semalam telah dikerubungi tembok-tembok tebal seperti kelelahan, kepanikan, insting bawah sadar dan kalap; seutas benang telepati itu melenting tipis dan menembus semuanya dengan halus. Menjadi satu-satunya yang terentang di kepalaku, melenyapkan segala puing tembok yang hancur. Untuk kemudian kusadari seutas benang itu benar-benar muncul di depanku; serupa benang-benang yang selalu kurasakan sehari-hari akibat Legendaris Imortal dalam Abstrak milikku.

Benang yang amat asing. Juga ... benang yang sangat indah. Seolah seisi dunia menjadi potret monokrom, hanya benang itu seutas yang berarak hidup dengan lembut menawan.

Juga, apa yang disampaikan suara itu terakhir kali sebelum membisu seakan selamanya. Walau tidak dengan benangnya yang tetap melambai halus di awang-awang dunia.

"Aku menunggumu di ujung benang, pewarisku."

Tentang bagaimana caranya merujukkan panggilan kepadaku, adalah yang menghantuiku selama kutemani bangsal si trio itu dengan duduk mematung semalaman. Aku hanya mendapatkan satu firasat ganjil yang semakin menjadi-jadi seiring detik terus berjalan. Firasat yang selaras dengan satu-satunya dugaan yang kupunya.

Dugaan mengerikan yang membuatku buru-buru keluar bangsal kamar pasien karena aku takut kepalaku akan meledak di sana lalu mengotori ruangan Mary, Bold dan Rainer barusan.

Secangkir teh dalam tangkupan kedua tanganku—yang berbaik hati diberikan oleh seorang dokter, mungkin karena melihat penampilanku sama sakitnya seperti pasien-pasien di dalam bangsal, juga dokter yang sebelumnya menjelaskan keadaan koma si trio itu—tersisa separuh ketika kusesap panasnya yang sudah berangsur dingin. Beruntung harum aroma khas daun teh seduhannya tidak terlalu menghilang. Riak samar permukaan cangkir teh memantulkan wajahku, yang sama mengerikan dengan dugaan dalam pikiranku.

Ah, miris sekali, kutertawai saja wajahku dalam pantulan kabur itu. Wajah yang lelah cenderung memikirkan masalah suara asing yang didengarnya sendiri, alih-alih keadaan koma ketiga rekannya.

Tetapi....

Aku mengangkat wajah, lorong yang lengang dari lalu-lalang yang juga jarang ada terbentang di hadapan. Juga, benang asing yang masih melambai sehalus riak sungai tertenang tanpa ujung air terjun itu. Kilap warna indahnya yang bagai emas murni mengundangku. Aku seorang.

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang