[Chapter 15: Menunggu Diam, Wahai Kesendirian]

33 13 7
                                    

Aku tertatih, berat pedang di kedua genggaman rasa-rasanya akan membuat pergelangan tanganku lepas—beruntung aku masih punya sejentik kesadaran dan kekuatan untuk menyarungkannya kembali di belakang punggung. Barulah setelah itu, kupasrahkan tubuhku begitu saja pada tembok di sebelah yang entah dari bangunan apa. Kepalaku pening, mataku menolak diajak terpejam sejenak oleh perihnya air hujan yang juga menolak diusir sedari tadi. Tubuhku merosot, jatuh terduduk dengan wajah tertunduk pada tanah berjejak genangan air yang basahnya tak lagi berarti semenjak sekujur tubuhku sudah menjadi penyerap hujan.

Kutarik napas dalam-dalam—yang mana hanya menambah beku ke dalam paru-paru. Setidaknya, aku mengingatkan diriku bahwa ini jauh lebih baik daripada kehabisan napas selama pertarungan tanpa henti sedari tadi.

Pasalnya, usai monster Kegelapan yang hendak merangkak ke istana kerajaan berhasil dilenyapkan olehku dan Fuwuri, benang telepati dalam kepalaku terjalin mendadak. Bukan oleh siapa-siapa dari Skuadron Satu—melainkan langsung dari Dewan Ksatria. Pengumuman untuk keadaan darurat tingkat satu bagi seisi benua yang meski tinggal separuh penghuninya.

Ringkasnya, ini adalah malam babak belurku. Hei, aku sudah ekstra lebih awal dari yang lain karena tugas menghadap singgasana, jadi tidak apa kalau aku membanggakannya sedikit, bukan?

"Jangan tidur di situ, bodoh."

Hampir saja aku benar-benar tertidur—ketika suara itu menyentak kedua kelopak mataku tanpa belas kasih. Tanpa perlu menunggu bingkai buram dari embun hujan enyah dari pandanganku, kutahu Kapten Levair adalah satu-satunya yang membangunkan bawahan babak belurnya dengan tendangan di kaki.

"Ah, belum tidur, kok," sahutku dengan suara yang bisa kudengar sendiri betapa paraunya. Mendongak, aku hampir tidak percaya menemukan sepotong tangan bergurat kasarnya kehidupan terbuka mengulurkan diri padaku.

"Ck. Setidaknya kalau kau mau tidur, tidurlah di tengah-tengah pertarungan sana. Medanmu sudah terlalu jauh, tahu," cetus Kapten Levair, mengedikkan jemarinya tanda uluran tangannya bukan untuk dibalas dengan mata yang terpana atau mulut yang ternganga.

Buru-buru kusambut jari-jemari kokoh itu—yang menarikku sampai pergelangan tanganku rasa-rasanya benar-benar akan lepas. Aku meringis, hendak langsung melepaskan pegangan usai genap berdiri ketika genggamannya justru mengerat.

Mata Kapten Levair menyipit tajam, membalas tatap mata sejuta tanya dariku. "Fokus dan konsentrasi, apa kau lupa? Tunggu—jangan-jangan Abstrak spesial milikmu sudah sekarat?"

Aku mengerjap. Oh, ternyata itu maksudnya. Kukira ada monster Kegelapan macam apa yang merasuki Kapten Levair sampai kadar kepeduliannya bisa se-tembus pandang barusan.

"Uh—kalau Abstrak milikku, masih seratus persen selamanya. Yang apa kabar adalah wadah sangkarnya ini, Kapten Levair." Kutudingkan telunjuk pada seringai mirisku sendiri.

"Dasar lemah. Begini kau sebut dirimu Ksatria? Nomor Dua dan Nomor Empat sedang bertarung di depan sana," Kapten Levair mengedik ke ruas jalan kosong di hadapan. "Selama kau punya kesadaran untuk Abstrak milikmu itu, tidur saja silakan di sana."

Aku menggeleng kuat-kuat—untuk celaan Kapten Levair dan untuk mengusir jauh-jauh kantuk yang menempeli kepala. "Tidak. Tenang saja, aku masih seorang Ksatria."

Ya, tak peduli sebusuk apa pun yang aku layani, ini bukan demi mereka aku menjadi Ksatria sejati.

Kupejamkan mata—yakin untuk yang satu ini terhitung tidak apa-apa—memaksakan fokus melebihi ambang kelelahan di sekujur tulang-tulang. Memanggilnya. Membukakan pintu sangkar yang sempat tergembok penat kembali, untuknya bebas lagi. Timbal balik dari konsentrasi, sensasi hangat di tengah bekunya diriku itu melingkupi. Melegakan ruang yang memilah-milah benang Abstrak di sekitar dalam kepalaku lagi. Lantas kubuka mata, menjalinkan benang-benang Abstrak dariku kepada Kapten Levair dari genggamannya. Mengalir dan mengalir. Menetes pula pada permukaan tanah bergenangan air yang kupijak. Menjentikkan bunyi setetes air yang jatuh, bergema bak dalam gua. Hening sekejap mata, sebelum sekian benang beraneka ragam menari-nari serupa badai damai sejauh pandanganku terbentang.

"Sudah kuduga kau tidak benar-benar sekarat," kata Kapten Levair, menyudahi genggaman tangannya denganku untuk diregangkan singkat dengan satu tangannya yang lain.

Aku menanggapinya dengan segaris seringai, demi menyembunyikan tekanan Abstrak milikku sendiri yang terus meluas ke segala celah bak sebaskom air yang ditumpahkan. "Terima kasih. Ada monster Kegelapan lain yang cukup kuat di jalur yang sama dengan Lumi—Nomor Empat; aku akan menanganinya sekaligus mendekatkan jangkauan medanku lagi ke sana."

Legendaris Imortal yang mengalir dalam Abstrak milikku, sebenarnya pantas dengan sebutan 'spesial' dari Kapten Levair—meski sebenarnya selalu ia maksudkan secara satir. Sejarahnya masih samar, tetapi andaikan Abstrak juga berasal dari legenda pendahulu ras Imortal, secara wajar, para Imortal pasti memiliki Abstrak yang jauh lebih kuat dari ras manusia saat ini. Itulah yang membuatku paling berguna dalam pertarungan kerja sama—meski tak ada yang tahu selain Kapten Levair—aku bisa memengaruhi Abstrak rekan-rekanku yang lain dalam jangkauan medan tertentu menjadi berlipat ganda.

Terutama, untuk Kapten Levair.

"Salahkan dirimu sendiri kalau jatuh."

Eh?

Satu sentakan, dan tahu-tahu saja aku sudah terbang. Hanya sebelah bahuku saja yang tertahan oleh sepotong lengan yang menopang, sehingga refleks aku mengaitkan lengan untuk mempertahankan keseimbangan. Angin dingin mengibaskan rambutku ke belakang, bebas menampar wajahku di tengah gelapnya malam yang seakan langsung kusentuh langitnya—tunggu, bukan itu! "Kapten Levair—?!"

Yang tiba-tiba saja memapahku untuk dibawanya melentingkan diri ke kejauhan itu justru seenaknya saja tidak acuh. "Apa? Tidak ada salahnya kau menjadi kepala pemasok energi dan aku menjadi kaki, bukan? Lagipula, kontak fisik akan menstabilkan Abstrak spesialmu lebih rinci."

Meski mengandalkan Abstrak adalah satu-satunya jalan untuk bisa meniti angin malam seperti saat ini bak mempunyai kepak sayap, aku baru bisa cukup lega ketika keseimbangan berhasil kudapatkan; berpegangan dengan mengaitkan lengan kiri ke belakang leher Kapten Levair, sementara lengannya ganti menyangga sabuk di pinggangku seperti memapah orang pingsan.

Baiklah, ini bukan saatnya aku tenggelam dalam dilema mengenai Legendaris Imortal yang mengalir dalam tubuhku. "Semua yang ada di lapangan, laporkan keadaan."

"AngkaSatu, lapor. Berhasil mencegah monster-monster Kegelapan dari perbatasan area skuadron lain untuk mengacau ke dalam area Skuadron Satu. Gelombang berikutnya hampir tampak."

"AngkaDua, lapor. Tak ada tanda-tanda monster Kegelapan di sini berpindah halauan. Mereka kompak bekerja sama dalam jumlah di atas dua."

...

Aku mengatupkan mulutku yang tadinya siap melanjutkan terusan laporan secara lisan kepada Kapten Levair.

"AngkaEmpat?"

Lantaran itu adalah Lumi, aku tidak percaya akan kemungkinannya yang sedang sibuk bertarung dan tak bisa fokus menjalin telepati. Lumi adalah yang paling tidak mungkin. Firasat ganjil mulai menyeruak, dan aku belum sempat memutuskan untuk mencoba melacak benang Abstrak Lumi ketika Gieru melompati urutan laporan—dan bukan untuk keadaannya sendiri.

"AngkaLima, lapor! Mendeteksi Abstrak pada titik lokasi AngkaEmpat yang tidak beraturan, berbenturan dengan aura Kegelapan besar yang melingkupi Kota Bagian Feroniac. Keadaan darurat terkonfirmasi—AngkaNol, hanya kau yang bisa menyusulnya!" []


<><><><><>


"Terima kasih sudah membaca dan saya tunggu jejakmu ada di sini! Secuil informasi, saya akan menggunakan istilah 'Imortal' mulai saat ini, bukan serapan bahasa Inggris yang di-italic 'Immortal'. Yah, mungkin cuma kepala saya yang berputar memikirkannya, sih," kata A/Z, memutuskan untuk mengatakan keputusannya.


(982 words)

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang