[Chapter 16: Ketakutan, Keberanian; Siapa Berhak Menentukan?]

37 12 8
                                    

Tidak, kumohon tidak.

Jangan sampai sekali lagi, sekali lagi—

"Fellaniar, apa yang kau lakukan?!"

Aku terkesiap, merasakan tamparan angin membuyarkan lamunan kosongku dan mengibas rambutku ke belakang, diikuti singkat dentuman yang bahkan menggetarkan atap datar nan lapuk tempatku berpijak. Ketika mengikuti kemauan kepalaku untuk menoleh ke belakang, sepotong tangan kurus yang persis seperti tulang ditempeli kulit hitam pekat menggelepar sebelum lenyap tertelan abu. Barulah aku kembali pada ruang dan waktu yang nyata—bahwa segerombolan monster Kegelapan tiba-tiba berkelepak terbang dari tanah yang berdenyar bak ombak. Rupa mereka hanya sekelebat kulihat akibat linglung dan kecepatan monster-monster itu yang memelesat sana-sini—tetapi berhasil kuidentifikasi berupa wujud setinggi manusia dewasa, dengan tubuh berlekuk kaku dan carik-carik kabut hitam yang melapisi empat potong tangan belulang tempel kulit hitam mereka, serta kepala berbentuk meruncing yang kupastikan serupa paruh burung ketika lengan kiriku disasar olehnya.

 Rupa mereka hanya sekelebat kulihat akibat linglung dan kecepatan monster-monster itu yang memelesat sana-sini—tetapi berhasil kuidentifikasi berupa wujud setinggi manusia dewasa, dengan tubuh berlekuk kaku dan carik-carik kabut hitam yang melapi...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perih sontak menjalar dari lengan kiriku hingga ujung-ujung jari begitu kembali menyadarinya. Kutangkupkan tangan kananku secara refleks, merasakan tetesan basah mengalir dari sela-sela jemari yang kutahu niscaya merah—perih, hangat yang ganjil di tengah bekunya sekujur tempias hujan di tubuhku. Bergejolak, Abstrak dalam diriku menolak racun Kegelapan yang menelusup dari luka terbuka—sela di antara jari-jariku yang dingin merasakan bendungan tangkupan tanganku yang jebol kian mengucur.

"Fellaniar!"

Aku diombang-ambingkan siksa dari lukaku; namaku diserukan sekali lagi. Dentang logam beradu dengan pekik yang melengking terlampau tinggi. "Cepat pergi! Mau menunggu temanmu mati di seberang sana dulu, hah?!"

Bentakan kasar itu menamparku, melecutkan kobar api dalam dadaku. Begitu saja dan genggamanku telah mencengkram kedua gagang pedang. Aku berbalik, memutar pijakan, sekelebat sosok hitam menghadangku mendadak—

Dan tebasan kuat sebilah pedang membukakan jalan untukku. Jubah di punggungnya tersibak membelakangiku, berkata bisu bahwa ia memintaku lekas pergi tanpa perlu kalimat pamit.

Cepat selamatkan temanmu sebelum terlambat.

Ragu dan gentar terusir seketika. Hasil akhir dari kepercayaan serta mengandalkan orang lain memang selalu menjadi salah satu misteri takdir bekerja. Sekali-dua, pada akhirnya—kesempatan selalu imbang. Baik manusia maupun Ksatria, harus bertahan ketika kesempatan itu menuntut pilihan. Ya atau tidak—kecuali kau mengambilnya, tidak ada yang tahu apa gerangan di baliknya.

Aku tidak tahu, aku pun tidak tahu.

Selagi berpacu derap dari atap demi atap, jalan becek genangan air dan sekali-dua licin membuatku nyaris terpeleset, merunut peta dari Gieru dalam kepala—apakah aku hanya akan terlambat? Sudahkah Lumi lenyap dan tidak selamat? Sia-sia sajakah aku yang hanya menjadi semakin sampah? Bahkan, bagaimana dengan Kapten Levair yang kutinggalkan di belakang?

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang