"Tersembunyi dari legenda, ada satu jiwa seorang ras Imortal yang diawetkan. Tersembunyi dari waktu ke waktu, dan terbangun oleh guncangan keseimbangan dua dunia sepuluh tahun silam—ya, karena Kegelapan yang mengacaukan perbatasan. Entah kebetulan atau menyelaraskan, kristalisasi jiwa seorang Imortal tersebut bangkit di Benua Gaterian. Menyokong Abstrak manusia yang juga terbangunkan, khusus untuk satu daratan dalam jangkauannya, untuk memerangi Kegelapan. Itulah jati diri yang asli dari Pandora Nouveau, Fellaniar."
Kalau aku adalah aku yang tidak tahu apa-apa sebelumnya, kuyakin tawaku pasti tersembur seketika—mendengar Nona Etila yang anti pada legenda sebab rasionalitasnya, baru saja mendongeng dengan sempurna.
Sayangnya, jangankan tertawa, suara saja serasa hampir tak lagi kupunya. Hanya tatap mata yang kubisa berikan agar Nona Etila tetap melanjutkan.
Dan dia mengerti itu. "Sebagai Ketua Dewan, itu adalah hal pertama yang kuketahui. Tidak bisa sembarang orang berposisi tinggi—Raja menghendaki syarat bagi mereka untuk mengetahui rahasia ini adalah dengan mempertimbangkan berguna tidaknya mereka jika diberi tahu. Itulah kenapa Levair tidak—dia itu, meski yang paling terlihat seperti monster berhati dingin, justru sesungguhnya dialah yang paling manusia...."
Aku mengerjap. Entah mengapa, pembicaraan mengenai Kapten Levair membuat gemetarku mereda. Berkebalikan dengan was-was kalau-kalau dia tahu kami membicarakannya, aku merasa seakan nama Kapten Levair saja sudah membawakan keberanian bagiku. Ah, betapa aneh.
"Aku sendiri sudah muak," bisik Nona Etila, menggeram. "Sejak lama aku ingin membocorkannya pada Levair. Terutama di masa-masa dia yang terus menerorku dengan mengatasnamakan jabatan Ketua Dewan yang kumiliki, berusaha mengorek rahasia sejatinya Pandora Nouveau dariku. Tetapi, tentu saja aku tidak bisa. Levair mana peduli soal itu, sampai akhirnya terpaksa mundur akibat intensitas monster Kegelapan yang harus diurusnya sibuk nomor satu. Dan di saat-saat gila seperti sekarang inilah aku menyesalinya—sekarang, mustahil bagiku memberi tahu kebenaran untuknya."
Aku tahu Nona Etila dan Kapten Levair punya hubungan yang baik—yang langka bagi keduanya untuk menyebrangi kasta jabatan—lebih dari kenalan yang pantas diakui sebagai rekan dan teman. Tetapi aku tidak menyangka akan melihat rasa bersalah tertumpah amat larut di kedua manik merah Nona Etila yang bergetar.
Sekejap, ada selintas suara dari batinku sendiri—lain dari suara yang menghantuiku mulai sedari tadi. Sebuah kesadaran dari berkas ingatan. "Jangan-jangan—Nona Etila, itulah alasanmu menyuruhku menyembunyikan detail Abstrak milikku dari semua orang?"
Menatapku lurus-lurus, seulas senyum getir Nona Etila yang sangat tidak cocok dengannya menggenapkan kepastianku seketika.
"Maafkan aku, Fellaniar. Aku sama butanya dengan semua orang mengenai Legendaris Imortal. Aku tidak bisa membantu apa-apa selain dengan mencegah mereka yang buta hendak memanfaatkanmu."
Aku bertanya-tanya perasaan apa ini sebenarnya.
Rasanya terlalu tenang untuk dihitung sebagai amarah. Rasanya terlalu beku untuk dihitung sebagai kesedihan. Rasanya amat sangat kontras untuk dikatakan sebagai kebahagiaan usai menemukan kebenaran. Siapa bilang semua kebenaran berbuah manis? Bahkan, ada pula yang berbuah hampa seperti yang kupetik tanganku ini—rasa yang terlalu kosong.
Aku bertanya-tanya apakah aku—hatiku, sudah mulai mati rasa. Akibat terlalu biasa menelan sekian kejutan dari dunia yang seakan terlalu senang bercanda denganku. Sejak dugaan mengerikan yang kupunya semakin mendekati terka kebenaran—bahwa Legendaris Imortal yang kupunya berhubungan dengan Pandora.
Tunggu.
"Jadi, selama ini...,"
Aku tersadar oleh satu lagi suara pahit batinku sendiri.
"Aku ... dimanfaatkan seisi dunia...?"
***
Kepada Nona Etila, aku berjanji bahwa akulah yang akan memberi tahu Kapten Levair mengenai jati diri Pandora yang asli.
Padahal, aku sama sekali tidak yakin suaraku sudah cukup kembali di saat berpapasan dengan Kapten Levair nanti.
Aku membenamkan kepalaku yang terasa membengkak kedua sisinya di tautan kedua tangan, duduk pada kursi kayu yang menghadap jejeran ketiga ranjang pasien di hadapan. Tekstur lembut yang membuai jemariku adalah sapu tangan Rainer. Kutarik itu dari saku dan kuremas dalam tautan, dengan harapan akan memberikanku gesekan ketenangan atau keberanian. Sayagnya, ingatan bahwa sapu tangan itu adalah milik Rainer yang kini terbaring kritis dalam koma, membuatku menyerah pada harapan penuh lubang yang kubisikkan. Baiklah. Aku hanya perlu menaruh harapan pada kesembuhan Rainer, Mary dan Bold. Tidak perlu harapan lain hanya demi memuaskan keegoisanku sendiri. Semoga—
"Apakah berharap saja sudah cukup untuk mewujudkannya?"
Kursi yang kududuki terbanting ke belakang. Tersentak berdiri, napasku yang tersengal satu-satu hanya sendiri. Lamat-lamat, kusadari yang memecah kepalaku adalah suara itu. Dari benang yang misterinya telah menjadi kebenaran dan kini tak putus terbelit padaku, benang berkilau seindah emas penyelaras Legendaris Imortal itu.
Entah dari mana asalnya, tetapi kini yang kurasakan setiap mendengar suara itu berucap seolah hidup di dalam tempurung kepalaku adalah ketakutan.
Aku membenci Legendaris Imortal yang bagiku adalah kutukan sedari dulu.
"Bersembunyi saja di balik ketakutan, pewarisku?"
Dan aku lebih membenci bagaimana ia—sang Imortal, sang Pandora—memanggilku dengan rujukan itu.
"Aku tidak bertanya padamu," kataku dalam kepala, usai mengatur napas dan bergerak membetulkan kursi yang terbalik. Aku merasa bersalah juga telah membuat keributan—meski mereka tidak bisa mendengar dan terbangun karenanya.
"Dirimu harus berjuang. Dan dirimu tahu ke mana seharusnya berjuang."
"Pergi kau dari kepalaku! Pergi!"
Aku menjerit dalam kepalaku sendiri. Tak ada yang kelepasan tersembur dari mulutku langsung, karena rahangku terkatup rapat—terlalu rapat, terlalu kuat.
Pergi.
Dan dia benar-benar pergi.
Kuloloskan napas yang terasa sesak—hanya suaranya saja, benangnya masih setia mengambang dengan arak tipis bagai awan cerah di langit siang. Dengan begini, hanya ada satu solusi sebelum aku benar-benar gila dan mati dengan lebih menyedihkan ketimbang dikunyah monster Kegelapan.
Aku harus memberi tahu beban kebenaran ini pada Kapten Levair secepatnya.
Begitu genap solusi itu dalam benakku, kurasakan betapa menyedihkan diriku yang seakan membulatkan tekad hanya demi membagi derita. Ya. Biarlah setuju saja. Itulah mengapa ini hanya bisa kepada Kapten Levair. Karena Kapten Levair itu kuat.
Kulipat sapu tangan biru pinjaman Rainer yang kuselipkan semoga bisa kukembalikan dalam waktu dekat ke saku pakaian. Hampir seperti bersemangat membuka pintu dan melangkah keluar, aku terlambat menyadari selintas benang Abstrak familier yang merebak—sampai aku tak sengaja menabraknya di langkah kelimaku di lorong.
"Maaf—"
Sosok yang kutabrak mendongak, membuat napas dan kata-kataku tercekat.
Mata biru magenta itu menatapku, di antara helai rambut merah pucatnya yang jatuh dalam pita ikatannya di sebelah bahu, separuh tersembunyi tudung biru yang dikenakannya. Mata itu selintas melebar dengan samar, menghantarkan kecamuk rasa bersalah yang canggung dan tak kusangka akan bersinggungan saat ini.
"Lumi—"
Tetapi itu hanya selintas. Juga panggilanku baginya. Lumi menepi dan membuang pandangannya dariku, hanya menatap lurus lorong berdinding putih di depan. Seolah-olah aku tidak pernah menabraknya dan tidak pernah berusaha memanggilnya.
Dua kali lipat, rasa bersalah dalam dadaku memuncak. []
<><><><><>
"Terima kasih sudah membaca!" kata A/Z.
(985 words)
KAMU SEDANG MEMBACA
KnightMare: Balsamic [TAMAT]
FantasíaMedan yang lebih buruk dari perang mana pun, ada di sini; panggung kenyataan di mana Kegelapan mengacaukan perbatasan demi menguasai dunia umat manusia. Mereka berkata ini demi kedamaian; pengorbanan berbaris-baris pion yang masih manusia pun dilaku...