[Chapter 04: Dunia yang Pedih, Pun Penuh Kasih]

58 14 8
                                    

{{Silakan mainkan video di multimedia untuk pengalaman membaca yang lebih baik :)}}



Aku tidak tahu sejak kapan aku lengah. Tetapi rasa-rasanya, aku baru saja disadarkan kembali tentang dunia apa sebenarnya yang tengah kutinggali kini.

Aku tidak tahu sejak kapan aku terlena. Tetapi, haruskah kenyataan mengingatkanku dengan tamparan sekeras kematian Astra?

Sakit. Sakit. Sakit.

Inilah duniaku yang sebenarnya. Tanah kedamaian yang telah runtuh sedari sepuluh tahun silam, tertanda perbatasan pijakanku yang luruh semenjak itu. Aku benci mengetahuinya. Aku benci mengingatnya. Ingin aku kembali menjadi bocah yang menangis keras-keras di tengah lautan kekacauan karena kehilangan boneka kesayangan. Ingin aku kembali menjadi bocah itu yang tak tahu apa-apa. Bocah yang tak perlu memedulikan apa-apa. Bocah yang mudah terlupa begitu saja.

Tapi tidak bisa.

Bocah itu sudah lenyap. Apa yang tertinggal di sini hanyalah Fellaniar Aracter yang sendirian. Membawa nama pengorbanan berlagak tiada pamrih meski hati menahan sayat perih, demi menyelamatkan keluarganya ke tempat teraman di tanah terkutuk ini. Fellaniar Aracter yang harus memikirkan Mama, Ayah dan adik perempuannya—sembari mengeluarkan namanya sendiri dari prioritas itu, sebagaimana nyawanya yang sudah terpotong setengah harga.

Kusaksikan kobar api di bawah teriknya mentari menari-nari, menyelimuti segenap kilap logam dari potongan-potongan zirah Armor Ksatria atas kepemilikan Astra Novaliem sebagai prosedur prosesi penghormatan terakhir bagi Ksatria Nouveau yang selalu hilang nyawa bersama raganya.

Dan, sepuluh tahun silam itu kembali terulang—semu dalam tempurung ingatan, tetapi tetap sekali lagi melubangi hatiku yang hampa.

Sepuluh tahun silam.

Legenda itu menjadi nyata. Dongeng itu menjadi nyata. Yang biasanya hanya diceritakan para orang tua kepada anak-anak mereka menjadi ancaman main-main. Demi tidak bermain lewat senja, tidak malas mandi, mau menghabiskan makanan di piring, atau agar tidak berani-berani tidur terlampau larut. Para orang tua itu selalu berkata, menakut-nakuti anak-anak, bahwa mereka akan dimakan monster kegelapan jika menjadi anak nakal.

Sepuluh tahun silam.

Tanah yang kupijak—seluruh penduduk di atas Benua Gaterian pijak—bergetar dan meretak di mana-mana. Lautan mengamuk, menghempaskan ombak bergulung-gulung dengan gemuruh mendung. Tepat di malam yang menjelang, tepat ketika semua keluarga tengah makan malam bersama di masing-masing rumah. Untuk telak dihempas kekacauan.

Hari itu, semua umat manusia mengetahui sebuah sisi lain dunia mereka yang biasa. Bahwa di bawah pijakan mereka, sebuah dunia mimpi buruk hidup di antah-berantah bawah sana; Kegelapan.

Hari itu, semua umat manusia menyebarkan ketakutan dari satu penjuru ke penjuru lain. Tentang saudara mereka di Gaterian yang mati-matian mempertahankan kehidupan dari gempuran monster-monster ganas mengerikan, dengan bayaran lenyapnya setengah populasi kependudukan.

Kekacauan. Kematian. Kegelapan.

Dunia memberikan atensi. Minim simpati, penuh distraksi. Kebenaran tragedi mengawali, bahwa selama ini umat manusia memang selalu hidup berdampingan dengan Kegelapan. Bertolak belakang, seharusnya tidak pernah mengacaukan keseimbangan, seharusnya tidak pernah merusak perbatasan semesta alam. Tetapi kenyataan telah mengatakan, bahwa mimpi buruk itu telah menyebrang. Tak seorang pun dapat memikirkan alasan, selain masuk akal bahwa dasarnya mereka yang jahat ingin berpetsa menginjak-injak umat manusia. Demi keserakahan. Demi kepuasan. Demi kekuasaan. Demi kekuatan.

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang