Sekali lagi, Kapten Levair menegaskan betapa evakuasi menjadi prioritas pertama kami. Tidak ada basa-basi—tugas dibagi-bagi, semua anggota Skuadron Satu bersumpah janji untuk memenuhi misi.
"Waktunya kita bergerak sendiri. Biar aku yang bertanggung jawab. Kalian hanya perlu menuntaskan misi dengan segala cara."—begitulah yang dikatakan Kapten Levair penuh penegasan di kala rapat sarapan pagi tadi, menandai titik di mana kapten skuadron andalan ini telah kehabisan kesabaran bermain-main dengan urusan proses formalitas yang disinggung Rivid.
Gieru menanggapinya dengan seringaian—reaksi yang bagus untuk menunjukkan semangatnya menuntaskan misi dengan segala cara.
Demi semua itu, maka di sinilah aku berada.
"Wah, Nona Fellaniar! Apa kabar?"
"Nona Fellaniar, saya selalu berterima kasih atas kerja keras Anda melindungi dunia."
"Saya sungguh kagum, Skuadron Satu selalu bisa diandalkan."
"Skuadron Satu memang skuadron terbaik Nouveau, bukan, Nona Fellaniar?"
"Memang seperti yang diharapkan dari Nona Fellaniar dan Skuadron Satu."
Aku tersenyum, rapi dan sopan seperti bungkusan, sekali-dua tertawa pula. Menjawab semua sapa sepanjang kakiku berjalan ke mana saja, mengharuskan tebalnya senyum setia terpasang dan hormat senantiasa ditegakkan tak kenal pegal.
Sungguh, aku mengerti mengapa Kapten Levair menunjukku untuk mengambil bagian misi yang paling enggan dijalaninya ini—menghadap Raja secara langsung di istana kerajaan, melewati prosedur untuk melapor saja kepada Ketua Dewan yang akan diteruskan, demi menyuarakan langsung permintaan pengungsian warga yang masih dikondisikan pada beberapa tempat sementara.
Aku pernah berada pada kondisi ini sebelumnya—tetapi hanya sebagai pajangan tambahan; seorang gadis hijau yang berdiri diam mendampingi sosok berwibawa dingin Kapten Levair. Di sini, kali pertama menghadapi semua sapaan bergaya tinggi di setiap jengkal istana seorang diri, aku sungguh-sungguh berharap bisa pulang sekarang juga. Tidak yakin seberapa lama lagi bisa kupertahankan senyum palsu di wajah. Kalau boleh, ingin kupanggilkan Abstrak pada kedua kakiku untuk memelesat melewati semua lorong demi langsung mengetuk pintu ruang singgasana.
Kemudian, aku baru sadar bahwa aku sudah melakukan larangan terbesar kala menjalani misi ini—melamun—ketika sebuah benturan keras menjungkalkanku. Entah ditabrak atau menabrak—yang sempat kuharap sia-sia hanyalah dinding kosong—hanya ada pilihan meminta maaf bagiku. "Maafkan sa—"
"Bisa-bisanya kau menabrakku, hah?!"
Aku terjengit seketika, begitu kata-kata yang bahkan belum rampung kuucapkan dipotong dengan bentakan kasar. Tak ada satu pun dari kami yang terjatuh—sebab aku adalah seorang Ksatria yang cukup terlatih untuk bertahan dari itu, dan orang yang bertabrakan denganku adalah seorang pria dewasa bertubuh besar bak batang oak yang tak ada apa-apanya dengan seorang gadis delapan belas tahun. Tanpa perlu menebak pun, aku bisa langsung mengetahui dari mana ledakan amarahnya.
Kubungkukkan badan ke depan, mengulangi, "Maafkan saya, Tuan. Saya sungguh tidak sengaja."
Aku tetap mengucapkannya, sekalipun—
"Berani kau berlagak tidak bersalah, Ksatria rendahan?! Apa kau tidak tahu siapa yang memberikan senjata tempaan terbaik padamu? Itu aku! Bangsawan Heraldi yang bersahaja! Tunjukkan rasa hormatmu!"
—aku tahu bahwa akan seperti ini jadinya.
Aku bukan Kapten Levair yang bisa mengatasi hal ini dengan tatapan mata tajamnya yang tak kenal formalitas, jadi yang bisa kulakukan setiap menghadapi para bangsawan sok tinggi berkepala besar begini adalah menunggu ocehan konyol mereka habis dan kalimat mereka diakhiri pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KnightMare: Balsamic [TAMAT]
FantasyMedan yang lebih buruk dari perang mana pun, ada di sini; panggung kenyataan di mana Kegelapan mengacaukan perbatasan demi menguasai dunia umat manusia. Mereka berkata ini demi kedamaian; pengorbanan berbaris-baris pion yang masih manusia pun dilaku...