"Fellaniar, sarapannya enak sekali...! Tenaga Fuwuri benar-benar diisi ulang!"
Aku berbalik, pada Fuwuri yang masih menangkupkan kedua telapak tangannya pada cangkir teh, lantas tersenyum menanggapi. "Wah, aku senang itu enak, padahal hanya sempat telur orak-arik—"
"Kalau telur orak-arik buatan Fellaniar selalu enak, ada banyak cita rasa rempah-rempahnya!" sambar Fuwuri bersikeras.
"Yap, Fuwuri memang benar," timpal Rivid yang tiba-tiba saja muncul dan bergabung. "Tapi akan lebih enak lagi kalau kau memasak telur mata sapi saja—"
Fuwuri merengut. "Rivid, kalau telur mata sapi itu mentah, tidak ada rempah-rempah khas Fellaniar!"
Rivid menjentikkan jari. "Kalau begitu, telur mata sapi yang diorak-arik saja!"
"Memangnya ada...?" Fuwuri menusuk-nusuk bahuku dengan telunjuknya, meneruskan kebingungannya dengan ragu. "Eh, eh, Fellaniar, memangnya ada telur mata sapi orak-arik?"
Aku tersentak kecil, begitu disodori menjadi pemutus perkara. "Emm, kurasa bisa-bisa saja ... coba pecahkan telur di wajan tanpa dikocok bumbu, tunggu setengah matang, lalu baru diorak-arik. Dengan begitu, telurnya masih mata sapi, bukan?"
Fuwuri bertepuk tangan seketika, binar matanya berseri menyala. "Waah, Fellaniar genius! Aku akan mencobanya untuk sarapan besok!"
Sebelum aku sempat menyahutinya lagi, Rivid bersuara dan membuat kata-kataku tertunda. "Eh, Fellaniar, kau mau pergi keluar?"
Mengerjap, aku terkekeh ketika Rivid menyadari selempang tas anyam yang kubawa. "Ya, hanya sebentar, kok. Aku akan memasakkan makan siang, tenang saja."
"Ke mana?"
"Sedikit jalan-jalan sebentar," Kuacungkan satu telunjuk di depan wajah kala mengatakannya—isyarat untuk menghentikan Rivid menawarkan diri menemaniku. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan kalau ada apa-apa. Sudah ya, aku pergi dulu!"
"Hati-hati, Fellaniar!"
***
Setapak yang kulalui amatlah sepi. Seakan-akan ruas jalan ke depan sana adalah menuju negeri antah-berantah yang menelan semua orang tanpa mengembalikannya lagi, membuat sekitarnya bahkan tak ada yang berani mendekat.
"Dunia antah-berantah? Bukankah lebih tepatnya ... dunia kematian?"
Langkahku hampir terhenti, tetapi hanya hampir dan kulalui kembali jalan yang telah ditumpuk dengan bebatuan rapi menuju lurus ke depan. Batu-batu krem yang di serapat-rapatnya celah, ada saja rumpun rumput liar yang tumbuh, beberapa pula berbunga mungil yang baru saja lirih-lirih terembus angin tanpa bunyi gemerisik.
Kemudian, kuhentikan langkah. Mendongak, pada berdirinya gerbang yang sudah menjulang tepat di hadapan. Tertutup rapat dengan teralis pasak tertancap kaku ke tanah, bergeming dengan suara dentang redam ketika coba kuguncang dua kali. Sepanjang tembok yang terbentang mempertegas perbatasan sekaligus otoritas daerah, tampak tak lagi kokoh dengan utuh. Ada jejak-jejak seolah tar panas yang punya cakar kasar ditumpahkan luruh di dindingnya.
Aku melompat lewat di atas tembok gerbang dengan Abstrak, mendarat di sisi dalam tanpa masalah.
"Kau yakin, tanpa masalah?"
Masalahnya adalah apa yang terbentang di depan mataku kemudian. Kukenali batu-batu penyusun jalan yang bercabang menjadi tiga jalur besar di hadapan. Kukenali pot-pot tanah liat cantik yang dipajang seorang penyuka kerajinan tanah liat yang selalu menyambut mata kali pertama. Namun, batu-batu penyusun jalan itu tidak seharusnya hancur dengan tatanannya yang retak dan rusak. Pot-pot tanah liat itu tidak seharusnya tinggal kepingan yang berserakan menjadi karpet merah yang tersebar di jalanan. Banyak, masih ada banyak yang kukenali dari kota ini—yang seharusnya tidak diisi kekacauan tertinggal serta hawa suram.
KAMU SEDANG MEMBACA
KnightMare: Balsamic [TAMAT]
ФэнтезиMedan yang lebih buruk dari perang mana pun, ada di sini; panggung kenyataan di mana Kegelapan mengacaukan perbatasan demi menguasai dunia umat manusia. Mereka berkata ini demi kedamaian; pengorbanan berbaris-baris pion yang masih manusia pun dilaku...