[Chapter 17: Merah]

33 12 5
                                    

"Fellaniar?"


Ah, suara selembut sutra yang terbawa angin itu—bahkan benang Abstrak miliknya saja amat halus—tak perlu kutebak pun kutahu itu adalah Fuwuri.

"Sekali lagi—maksudku, lagi-lagi—terima kasih, ya, Fuwuri."

Fuwuri dengan murah hati membalas senyumku yang tak cukup kuat untuk sampai ke mata dengan lengkungan sempurna. "Kembali kasih selalu untuk Fellaniar! Juga ... maaf."

Aku mengerjapkan mataku yang masih berat. Meski lukaku sembuh dengan cepat, ada sesuatu di balik jejak-jejak tak berdarah itu yang tak bisa semudahnya sembuh. "Kenapa...?"

Fuwuri mengangkat wajah, mempertemukan kedua matanya yang berkaca-kaca dengan keterkejutanku. "Maaf ... karena Fuwuri sudah merepotkan Fellaniar beberapa hari lalu—um, waktu misi di saat hujan di istana itu...."

Kusesali senyum yang sanggup kuukir hanya sebatas guratan lemah untuk menjawabnya. "Tidak apa-apa, Fuwuri. Sama sekali bukan masalah—semua orang punya mimpi buruknya masing-masing, bukan? Di situlah seorang rekan dan teman dibutuhkan."

Ya, hanya mimpi buruk yang telah berlalu dari kenyataan.

Binar mata Fuwuri perlahan kembali, tetapi tampak masih terhalangi sesuatu—yang kemudian menyusul diutarakannya. "Dan juga, maaf ... karena aku ... Lumi—"

"Itu bukan salahmu, Fuwuri." Itu salahku.

"Tapi, tapi—andai aku menghiburnya lebih baik ... andai aku jadi teman yang lebih baik lagi di sisinya, Lumi tidak akan marah pada Fellaniar...."

Fuwuri, jika kau yang sudah jadi teman baiknya saja bersalah sampai seperti ini, bagaimana denganku sebagai teman yang sudah membunuh temannya yang lain?

Aku hampir saja menyuarakannya keras-keras, andai pintu kamarku tidak lebih dulu menyuarakan ketukan dan deritnya yang terbuka. Menampakkan segurat wajah yang tersenyum mencairkan suasana, di bawah matanya yang bermanik indah.

"Kau terlambat sarapan, lho, Fellaniar."

***

Suasana markas yang sepi membuatku menyadari betapa hari terlalu terik untuk dihitung pagi sebagai waktuku terbangun. Jatah sarapan yang tersisa di satu piring pun sudah mendingin ketika kubawa ke kamar—sengaja kubawa ke kamar, karena menikmati makanan sendirian di meja makan itu menyedihkan. Tak pernah kukira akan tiba juga hari di mana aku bisa bangun kesiangan di markas ini—tanpa paksaan kedisiplinan si kapten yang mengajarkan untuk jangan pernah mengharapkan sesuatu bernama cuti.

Aku mengalihkan tatap pada sepiring sarapan—alias hampir menjadi makan siangku—yang tepat menunggu di hadapanku, di atas meja kayu yang biasanya hanya kufungsikan sebagai rekan lembur. Menu sederhana, yang mengutamakan selembar telur mata sapi bertepi sangat rapi bak mata yang sungguhan simetris—tentu saja ini adalah jadwal Rivid untuk memasak. Aku menghela napas. Bukannya aku mengeluh, tetapi—uh ... mungkin bisa kubilang aku menyesal tidak hadir di meja makan bersama yang lainnya untuk menjadikan telur mata sapi super bundar khas menu Rivid menjadi bahan gurauan wajib.

Kutusukkan garpu tepat pada kuning telur, mengangkatnya—membiarkan telur mata sapi ini bergoyang goyah nyaris merosot jatuh; dan membuka mulut lebar-lebar untuk menggigitnya kasar. Tak peduli minyak terasa lumer menyapa pipi, aku memaksakan diri mengunyahnya utuh-utuh. Enak. Asin. Lumi pasti menghakimi Rivid seketika untuk mengurangi garamnya lain kali. Dan Kapten Levair pasti menghakimi Rivid seketika untuk menambah garamnya lain kali. Membayangkannya saja, aku sudah mengasihani Rivid—pasti tak ada seorang pun yang menolong bahkan meski ia memasang wajah memelas seolah habis diperas sebab tidak tahu siapa yang lebih menyeramkan untuk sebaiknya dituruti.

KnightMare: Balsamic [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang