Bab 2

814 121 1
                                    

Kamila menyeruput kopinya dengan tenang, kemudian kembali menatap Zee setelah mencerna kalimat Zee yang berputar-putar tapi kemudian merujuk pada satu pertanyaan inti yang membuat Kamila tersenyum.
“Ya… kami dulu taaruf. Kenapa, Bu?” tanya Kamila setelah menjawab.
Kantor sedang sepi. Hanya Seno dan Mayang yang berada di kubikel masing-masing mengerjakan pekerjaan mereka, dan kubikel Kamila, tempat Zee berada saat ini berada cukup jauh dari kubikel mereka. Jadi Zee tak perlu merasa khawatir kalau harus curhat masalah ini ke Kamila.
Zee meringis, dugaannya tepat. Kamila dan suaminya memang taaruf. Tentu saja, hanya dengan melihat Kamila yang berhijab lebar, rapi, dan santun cukup membuktikan bahwa Kamila adalah muslimah taat yang tak akan menggunakan jalur pacaran. Dari obrolan mereka dulu, Zee tahu bahwa Kamila sudah berhijab sejak kecil. Berbeda dengannya yang baru saja hijrah, mengenakan busana syar’i saja baru setelah ia masuk S2. Kelakuan yang masih jauh dari anggun, ceroboh, dan sembarangan membuat Zee terkadang sungkan untuk berusaha lebih dekat dengan Kamila. Tapi, tak dipungkiri Zee, bahwa satu-satunya tempat yang enak untuk curhat dan dimintai nasehat adalah Kamila. Dosen lain, kebanyakan Pria, sudah beristri pula. Sementara Laura sudah tentu menyerah untuk hal-hal berbau agama. Ia tak merasa lebih mumpuni dibanding Zee sendiri. Mayang? Hohoho, mungkin jika tak ada manusia lain di bumi, Zee baru akan mempertimbangkan untuk curhat pada wanita itu.
“Penasaran aja Bu, abisnya saya seneng gitu kalau lihat Ibu sama Suami, kayaknya kompak bener, padahal nggak pernah pacaran ya, Bu?” Zee nyengir, di beberapa kali acara gathering, Zee sempat melihat betapa kompaknya keluarga Kamila. Di usianya yang baru 36 tahun, Kamila sudah mempunyai 4 anak yang super lucu dan menggemaskan. Anak pertamanya berusia 10 tahun, dan yang keempat baru berusia 2 tahun.
Kamila tertawa kecil, ”kamu sih lihatnya pas kompak aja.”
“Hah? Emang aslinya nggak kompak, Bu?”
Kamila tertawa lagi kemudian mengerling ke arah Zee.
“Emang dulu taarufnya gimana, Bu? Boleh cerita, nggak? He... he... he,” tanya Zee was-was, meskipun nggak yakin Kamila mau cerita tapi sebenarnya Zee berharap juga Kamila mau bercerita.
“Ya biasa aja, begitulah taarufnya.”
Hmmm... Zee menarik napas, jawaban yang sudah ia duga.
"Ya... biasanya gimana dong, Bu? Dari guru ngaji, Bu? Terus Bu Kamila langsung mau gitu sama beliau?” cerca Zee.
Tanpa memandang Zee, wajah Kamila terlihat bersemu dan tersenyum kecil.
“Bu Zee ini kenapa tanyanya hari ini sih?”
“Lho? Emang kenapa, Bu?”
“Kan saya jadi inget lagi peristiwa 12 tahun yang lalu. Tepat pada tanggal ini saya menikah.”
“Oh ya? Waaaah serius, Bu?”
Kamila mengangguk, ”saya juga baru inget waktu Bu Zee tanya,” jawabnya sambil terkekeh kecil.
“Jadi... gimana, Bu?”
“Gimana apanya?”
“Ya... cerita yang tadi... nostalgiaan lah, Bu,”
Kamila terkekeh kecil lagi, kemudian memandang Zee lembut.
“Dulu kami taaruf, tapi lewat murabbi masing-masing. Jadi kami benar-benar dipertemukan ya... setelah ijab.”
Zee melongo, ”Hah? Serius, Bu? Nggak pernah ketemu sebelumnya? Kok bisa?”
Kamila tersenyum lagi, ”aneh, ya?”
Zee menggeleng, ”enggak sih, cuma berasa film banget. Seriusan ada yang kayak begitu?”
“Ya ada lah. Buktinya saya.”
“Ih, tapi kok Bu Kamila mau aja sih? Emang nggak takut kalau nggak sesuai harapan gitu?”
“Takut juga, was-was pasti. Saya juga berusaha mencari tahu tentang beliau melalui teman-teman dekat juga murabbi saya.”
“Terus kalau taaruf gitu bukannya ada sesi tanya jawab, Bu? Itu juga nggak ketemu?”
Kamila menggeleng, ”lewat murabbi. Waktu itu saya juga belum tahu prosesnya kayak apa. Ketika kemudian murabbi bilang kalau beliau berkehendak seperti itu. Ya saya ikut aja, namanya juga masih bodoh waktu itu, Bu.”
Zee menggaruk-garuk kepalanya, ini sih berasa beli mangga dalam karung. Mana tahu itu isi beneran mangga semua? Mana tahu itu isi bagus atau enggak?
“Jadi beliau yang nggak mau ketemu Ibu?” Zee menyimpulkan.
Kamila mengangguk,”waktu itu beliau benar-benar memercayakan masalah jodohnya pada murabbinya setelah patah hati dengan akhwat yang sebelumnya gagal beliau nikahi.”
"Hah? Jadi... Kaya pelarian gitu?” Reflek Zee membelalak kaget. Ketika tersadar ucapannya mungkin saja menyinggung Kamila, Zee buru-buru menutup mulutnya dan meminta maaf. Zee mengutuk dirinya sendiri, sudah bagus Kamila mau cerita, malah disinggung. Haduuuuh Zee ceroboh banget.
Tetapi tanpa diduga Kamila tersenyum, ”he... he... he, Bu Zee mikirnya begitu, ya? Kalau saya justru mikirnya baguslah beliau memilih jalan pernikahan untuk move on, bukannya tenggelam dalam masa lalu, kalau bahasa anak sekarang apa, ya? Galau? Lagipula cara yang ditempuh juga baik. Kan memang niat menikah untuk DIA. Jadi... nggak harus dengan ‘dia’ dong tapi yang penting karena DIA dan untuk DIA.”
Zee tersenyum lega. Dalam hati ia membodohkan dirinya sendiri. Ya... memang bedalah, dia yang masih sangat awam, kebanyakan dengerin lagu galau dan nonton drama korea, mana kepikiran sebijak itu. Diam-diam Zee makin kagum pada Kamila.
“Tapi sebenarnya Bu, karena ‘dia’ juga penting sih. Karena sebelumnya, ternyata beliau juga benar-benar mencari tahu siapa saya. Jadi nggak bener-bener blind. Meskipun tanpa foto dan tanpa ketemu ternyata beliau mengulik pula latar belakang dan keseharian saya,” Kamila terkekeh lagi.
Huhuhu Zee ikut tertawa, meskipun dalam hati ia ternyata benar-benar jadi iri pada pasangan ini.
“Eeh, kok dari tadi saya terus yang cerita, ya? Jadi kemana-mana nih, ngomong-ngomong Bu Zee mau taaruf juga?”
Zee kembali nyengir, bahkan setelah satu minggu yang lalu akhirnya ia menyerahkan proposal pada Marwa, guru ngajinya pun Zee masih saja ragu dan takut.
“Saya sudah ingin menikah, Bu, sebenarnya...”
Kamila kembali tersenyum,”sudah ada calon?”
Belum sempat Zee menjawab sekonyong-konyong dari arah pintu muncul Danu memanggil-manggil nama Zee.
“Ghaziya Hafiza!”
“Ya, Pak? Ada apa?” tanya Zee cepat berdiri begitu mendengar nama lengkapnya dipanggil.
Danu nyengir dan mendekati Zee.
“Dicari Firman tuh, katanya ada paket lagi.”
Zee tampak berpikir sejenak, tapi kemudian ia tersenyum lebar saat ingat kalau ia baru saja memesan beberapa buku dari olshop buku langganannya.
“Paket apaan sih?”tanya Danu penasaran.
“Ih, mau tau aja,” jawab Zee asal.
Danu mencibir, “dapet kiriman paket mulu, kiriman suami kapan?” ledek Danu kemudian.
“Kapan... kapaaan... kita berjumpa lagi....” sahut Zee sambil bernyanyi, ”Makasih ya, Pak, infonya. Bu Kamila, kapan-kapan dilanjut lagi, ya, hehehe...” lanjut Zee kemudian bergegas meninggalkan ruangan dan menuju ruang administrasi, tempat ia mendapatkan paket yang sudah ia tunggu-tunggu.
***
Zee melangkah gontai menuju dapur kos pagi itu untuk sekadar membuat minuman hangat. Rupanya dispensernya sejak kemarin lupa ia nyalakan. Jadi untuk mempersingkat waktu, Zee lebih memilih merebus air di dapur umum kos.
Perut Zee terasa tak nyaman, ia sudah menduganya mengingat ini adalah hari pertamanya haid, seperti biasa, pencernaannya bermasalah. Ia BAB lebih sering juga kentut lebih sering selama haid, apalagi kalau hari pertama, frekuensinya bisa berlipat. Biasanya kalau sudah gejala seperti ini ia lebih memilih untuk tidak mengajar dan menggantikannya dengan tugas daripada malu kentut melulu di kelas.
Sambil menunggu air matang, Zee kembali merenung, mengingat obrolannya dengan Kamila beberapa hari yang lalu. Sebenarnya masih banyak yang ingin Zee bicarakan dengan Kamila,
ia butuh lebih banyak nasehat sebelum benar-benar melangkah. Tetapi waktu untuk curhat dengan tenang di kantor ternyata belum datang lagi.
“Mbak Ji, belum berangkat kerja?” Sebuah suara membuyarkan lamunan Zee, ia tahu siapa pemilik suara itu. Namanya Mbak Ipah, perempuan jawa yang sudah 5 tahun lebih menjadi asisten rumah tangga ibu kosnya tetapi juga bertugas membersihkan bagian luar kos yang ditinggali Zee.
Bangunan kos yang ditempati Zee memang terpisah dari bangunan utama rumah Bu Titin dan Pak Arto selaku pemilik kos. Bangunan mereka dipisahkan oleh garasi samping tempat anak-anak kos memarkirkan mobil atau motornya. Bangunan Kos terdiri atas 8 kamar yang cukup luas dengan kamar mandi di dalamnya. 5 kamar dan satu dapur umum ada di lantai satu. Sementara di lantai atas terdapat 3 kamar dengan satu dapur umum dan tempat jemuran yang cukup luas. 
Penghuni kos memang tidak semuanya perempuan, di lantai satu saja ada Lando dan Ferry. Lando bekerja di kementrian kesehatan dan sedang menyelesaikan studi S2nya di Trisakti, sementara Ferry bekerja sebagai Account manager di sebuah perusahaan telekomunikasi. Alma yang baru saja lulus S1 Arsitektur
juga masih menjadi penghuni kos bawah sambil menunggu masa wisudanya. Dian dan Aci bekerja di bank. Zee sendiri tinggal di lantai atas bersama dengan Dr. Wina, seorang dokter yang baru saja bekeja di Rumah Sakit Ibu dan Anak dekat kos sekaligus mahasiswa S3. Dokter Wina jarang berada di kos. Saat tidak bekerja atau kuliah, Dr. Wina lebih sering pulang ke rumahnya di Jogja. Ia memang baru saja menikah di usianya yang ke 35. Sebelumnya ia tinggal dan bekerja di Bandung, tapi saat mengambil S3 di UI ia memilih bekerja dan tinggal di Jakarta. Hingga ia justru menikah dengan pria yang tinggal dan bekerja Jogja. Sehingga sepasang suami istri itu terpaksa harus menjalani long distance marriage.
Meskipun terhitung hanya berjumlah 7 orang penghuni kos, tapi kesibukan masing-masing membuat mereka jarang berkomunikasi. Satu-satunya orang yang akrab dengan mereka adalah Mbak Ipah.
“Eh, Mbak Ipah. Belum nih, Mbak. Mau bikin yang anget-anget dulu, he... he.. he.”
“Ooh,” Mbak Ipah manggut-manggut mengerti, ia kemudian mengeluarkan perkakas beres-beresnya. Sapu, kemoceng, lap, dan alat pel.
“Mbak Ji, Mbak Wina udah berangkat kerja, ya?” tanya Mbak Ipah lagi memulai menyapu dari arah dapur, tempat Zee berada saat ini. “Ji” entah bagaimana Mbak Ipah selalu kesulitan menyebut “Zee” dan memilih “Ji” sebagai gantinya membuat Zee kadang merasa tak nyaman juga. Namanya Ghaziya Hafizah, dan bukannya Gajiya Hafizah. Zee sudah berkali-kali membetulkan cara panggil Mbak Ipah, tapi tetap saja tak berhasil, hingga akhirnya ia hanya bisa pasrah dengan panggilan “Ji” sama kayak panggilan embah-embahnya di Semarang sana.
“Mbak Wina kan lagi ke Jogja, Mbak. Katanya Pak Agung sakit,” jawab Zee kemudian beranjak dari kursi dan memastikan airnya sudah mendidih.
“Ooh pantesan, biasanya kan Pak Agung yang nyusulin ke sini, ya?”
“Hehehe, iya, Mbak.”
“Eh iya, Mbak, mau ada penghuni kos baru katanya. Tadi Ibu bilang, nih saya disuruh bersihin kamarnya.”
Zee mematikan kompor dan menatap Mbak Ipah, kosnya memang cukup laku, setiap ada yang keluar pasti sudah ada yang mengantri untuk masuk lagi. Kamar di sebelah kamar Zee memang sudah 1 bulan ini tidak berpenghuni, setelah Siera, mahasiswi yang dulu kos di sana pindah kuliah ke Singapura. Meskipun sedikit lebih mahal dibanding kos lain di sekitaran tapi memang keamanan dan kenyamanan terjamin. Maka dari itu Zee memilih kos ini meskipun bukan kos khusus putri.
“Oh, ya? Mahasiswa atau kerja?” tanya Zee seadanya.
“Nggak tahu Mbak. Katanya sih temen keponakannya Ibu, makanya disediain tempat di sini. Belum tahu juga mau pindah ke sini kapan.”
Zee mengangguk-angguk. Perutnya terasa mulas lagi. Ketika Mbak Ipah memasuki kamar kosong, Zee bergegas kembali ke kamarnya sambil terkentut-kentut. Dalam hati ia berdoa semoga Mbak Ipah tak mendengar rentetan kentutnya. Aaaah memalukan.
***
TBC

Bismillah, Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang