"Kenapa Mbak nggak bilang kalau dia kerja di sini?" tanya seorang pria sambil memutar-mutar telunjuknya di pinggiran cangkir berisi teh panas.
"Memangnya kalau Mbak bilang, kamu mau apa?" Wanita yang begitu disayangi dan dihormatinya itu menjawab santai.
"Sudah lama?"
"Sudah."
Sang pria menghela napas. Hari ini sebenarnya ia berencana bertemu dengan pimpinan fakultas itu untuk membicarakan beberapa hal. Tak disangka ia bertemu dengan wanita yang tak ia duga akan ia temukan di sana.
"Mbak kira kalian sudah selesai."
"Memang sudah selesai."
"Lalu apa masalahnya, Sat? Kenapa kamu jadi perlu tahu dia berada dan kerja di mana?"Satya, sang pria, menyeruput teh yang disajikan. Ruangan rapat itu sepi, hanya ada Satya dan Kamila, kakak tirinya.
Ibu Kamila meninggal saat usianya masih satu tahun. ayahnya kemudian menikah dengan seorang wanita yang kemudian melahirkan Satya dan dua adik lagi untuk Kamila. Kamila sendiri memiliki tiga kakak dari ibu kandungnya. Sejak kecil, Kamila dan Satya tumbuh bersama dan menjadi lebih dekat satu sama lain dibanding dengan saudara-saudara yang lain.
"Entahlah, Mbak, aku cuma nggak nyangka bisa ketemu dia di sini."
"Tapi, kamu nggak berniat untuk mengulang lagi kisah kasih kalian yang tak sampai itu, bukan? Dia sudah bersuami, Satya."
"Ya aku tahu, Mbak." Satya menelan ludah pahit. Entah sudah berapa tahun mereka kehilangan kontak. Satya mengenal hingga akhirnya bersahabat dengan Mayang di bangku kuliah. Sikap Mayang yang ambisius memang akhirnya menjadi penyebab kandasnya hubungan persahabatan mereka yang memang sudah bukan sekadar sahabat lagi. Masing-masing tahu bahwa memang ada perasaan lebih dari sepasang sahabat yang mereka rasakan tanpa banyak ucap. Tapi, semua berakhir begitu saja saat Mayang memilih pergi dan mengenyahkan nama Satya dalam kehidupannya. Mayang melanjutkan studi S-2-nya ke Australia dan meninggalkan Yogya. Terakhir, sekaligus yang membuat Satya patah hati berat, adalah saat ia tahu Mayang telah menikahi seorang pengusaha properti kaya, Danny Syailendra. Saat itu ia baru merintis kembali
bisnisnya setelah berkali-kali jatuh dan gagal.
"Kamu dari kapan di Jakarta?" tanya Kamila mengalihkan pembicaraan.
"Dari kemarin. sebenarnya akhir bulan kemarin aku juga ke Jakarta. Tapi, belum sempat ke rumah Mbak. Nanti, ya... aku kangen sama bocil-bocil," jawab Satya nyengir.***
Kamila menutup telepon yang menyambungkannya dengan ibu tirinya di Yogya. Sekadar memberitahu bahwa ia baru saja bertemu dengan Satya, sekaligus menanyakan kabar beliau di Yogya. Kedua orangtuanya kini tinggal bersama satya dan Dharna, si bungsu yang masih kuliah di Yogya. Sementara anak-anak yang lain sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Mereka berkumpul saat lebaran saja.
Kamila merenung seusai mendengar keluhan ibunya tentang satya yang belum juga menampakkan tanda-tanda akan menikah.
Jangankan menikah, pacaran pun tidak. Padahal usahanya kini sudah mapan. Berbeda dengan beberapa tahun lalu, saat usahanya masih jatuh-bangun. Wajarlah jika Satya tak memikirkan perempuan. Kini semuanya berubah. Satya jauh lebih dari mapan dan siap untuk membangun keluarga. tapi, menurut ibu, Satya masih saja menolak setiap kali ibu mengenalkannya pada seorang gadis. Padahal usia satya sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga.Kamila ingat, Satya memang bukan tipe pria yang mudah dekat dengan wanita. Mayang adalah satu-satunya teman dekat perempuan yang Satya miliki. Setelah hubungan asmara berkedok persahabatan itu bubar, Satya memang lebih fokus meniti kariernya. Tapi... selama ini? apa Satya belum bisa benar-benar melupakan Mayang?
Kamila menghela napas. Apalagi sekarang Satya tinggal di Jakarta. Mayang juga tahu. Jujur saja, Kamila masih bisa melihat kilatan cinta dan kerinduan yang amat dalam dari mata keduanya
ketika mereka sempat bertemu dan berbasa-basi sekilas di hadapan Kamila. Mayang sendiri jelas belum bisa melupakan Satya. Wanita itu masih begitu mengharapkan Satya. meski tak mengatakan secara gamblang, Kamila tahu bahwa satu-satunya tujuan Mayang mendekatinya selama ini adalah Satya. Mayang dan Satya memang sudah lama kehilangan kontak. Mayang pun mulai mendekati Kamila untuk mencari segala informasi yang tidak bisa ia dapatkan mengenai Satya. Juga kenyataan bahwa Mayang tahu Kamila adalah kakak paling dekat sekaligus paling didengar oleh Satya. Meski tak berani menduga lebih jauh, pernah terlintas dalam benak Kamila bahwa bisa saja kedekatannya dengan Mayang ini akan memudah-
kan rekannya itu kembali dekat dengan Satya.
Kamila merinding. Mayang sudah berumah tangga. Meskipun ditilik dari sifat Satya, dia tidak akan melanggar norma, tapi setan kadang terlalu pintar menggoda.***
Mayang menatap lurus ke arah depan fakultas dari balik kemudinya. Jarinya yang lentik diketuk-ketukkan perlahan, secara iseng, sambil menunggu. Sudut bibirnya terangkat sedikit saat melihat sosok yang sudah ia tunggu sejak tadi baru saja keluar. Segera ia menghidupkan mesin mobil dan mulai menjalankan secara perlahan. Mayang berhenti di dekat sosok yang terus berjalan perlahan sambil menahan terik matahari.tepat saat sosok itu melintas di sebelah mobilnya, Mayang menurunkan kaca.
"Butuh tumpangan?" tanya Mayang pada Satya, sosok itu. Satya kaget, tapi berusaha bersikap biasa saja. "Tidak. Terima kasih."
"Masuklah. Aku antar kamu." kata Mayang, Satya tampak ragu, berpikir lama.
"...Aku pikir ada banyak yang bisa kita bicarakan setelah lama nggak ketemu, Satya." lanjut Mayang jelas tak ingin ditolak. Wanita itu tersenyum penuh kemenangan saat akhirnya Satya
menuruti kemauannya. Bahkan ketika kemudian Mayang mengajak Satya untuk makan siang bersama."Dua sop iga, satu es teh lemon, dan satu es teh tanpa gula," pesan Mayang pada pelayan sambil menatap Satya, memastikan pria itu tak menolak apa yang dia pesankan. Ia tahu bahwa sop iga dan es teh tanpa gula adalah pilihan yang disukai Satya. Pria itu merasa kikuk. Sudah lama ia tak bertemu dengan Mayang, tapi wanita itu jelas masih ingat apa kesukaannya.
"Baik, saya ulangi ya, Bu, dua sop iga, satu es teh lemon, dan satu es teh tanpa gula," kata pelayan itu memastikan.
"Mbak, saya nasi timbel, sayur asem, dan air putih saja, ya...," ujar Satya. Mayang menatap Satya, tapi laki-laki itu berusaha tak mengacuhkannya.
"Kalau begitu sop iga satu, es teh lemon satu, dan pesanan Bapak ini saja, terus buah juga, ya," pesan Mayang lagi sebelum pelayan tersebut mengulangi pesanan dan meninggalkan mereka.
"Bertahun nggak ketemu selera kamu udah berubah ya, Sat?"
sindir Mayang.
"Cuma lagi pingin nasi timbel."
"Aku harap cuma selera makan kamu aja yang berubah, nggak semuanya...," Sahut mayang tanpa berusaha menerima alasan Satya. Satya menatap lurus mata wanita yang pernah—bahkan mungkin hingga saat ini—ia cintai.
"Satu hal yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri."
"...termasuk perasaan kamu." Mayang berhenti dalam jeda yang cukup lama. Menandakan bahwa ia telah menyelesaikan dengan sempurna kalimatnya yang sempat dipotong oleh Satya. Satya masih tak mampu menerjemahkan tatapan Mayang. Tatapan yang dulu begitu ia kagumi. sorot mata yang tajam, gemintang, tampak cerdas sekaligus angkuh.
"Aku kira kita nggak akan ngomongin masa lalu." Kata Satya."Masa lalu yang membuat kita bisa duduk bersama saat ini."
"Masa lalu yang mana maksud kamu?"
Bibir Mayang sedikit terangkat. Ia berusaha terlihat santai.
"Kita pernah jadi sepasang sahabat yang saling menguatkan, Sat."
"Setelahnya kita menjadi sepasang orang asing yang tak saling mengenal."
"Tapi, sebelum itu kita adalah sepasang kekasih yang saling mencintai walau tanpa deklarasi. Apa aku salah?"Lidah Satya kelu. Ia tak bisa lagi menampiknya. Tapi... apa tadi kata Mayang? Kita? Satya tersenyum miris. Mungkin bukan kita, tapi hanya dirinya. Satya tidak bisa memastikan sejak kapan ia mulai jatuh cinta pada Mayang. Tapi, keberanian dan kecerdasan gadis itu memang menarik hatinya. Mereka bersahabat, meskipun ia tahu Mayang hanya mau bergaul dengan segelintir orang, dan ia beruntung menjadi salah satunya. Mungkin karena saat itu Satya adalah salah satu mahasiswa yang cerdas, juga seorang petinggi senat mahasiswa. Satya tak pernah peduli apa alasan Mayang mau menjadikan dia salah satu dari segelintir orang sebagai teman bahkan sahabat.Tidak juga ketika teman-temannya mulai ribut bahwa mereka berdua pacaran. Tidak, sama sekali tidak. Mayang bahkan benar-benar marah saat Satya tidak bisa lulus tepat waktu karena sibuk dengan bisnisnya yang selalu gagal. Mayang meminta Satya untuk bersegera menyelesaikan kuliah, melanjutkan S-2 dan S-3 sesuai dengan kemampuan akademis Satya yang mumpuni, jika saja laki-laki itu tak terlalu larut dan begitu mencintai dunia bisnis yang membuatnya terus terjatuh. Akhirnya Mayang pergi melanjutkan studinya dan menikah dengan Danny Syailendra. Lalu apa masih bisa Mayang memakai kata "kita" untuk urusan cinta yang dirasa Satya sudah sepihak sejak awal?
"Kita?" tanya Satya menatap tajam Mayang. "Bukan kita, tapi hanya aku."
Mayang menggeleng pelan. "Aku juga, Aryasatya Khairy."
Mata gemintang favorit satya itu mengembun. ada makna di balik tatapan itu yang langsung menembus ke ulu hati satya.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Cinta (TAMAT)
SpiritualYang satu cantik, pintar, dan punya pekerjaan yang mapan. Tapi gagal taaruf... Yang lainnya karismatik, berbakat, dan sukses. Tapi susah move on... Dan keduanya bersama, belajar menyelami hakikat cinta yang sesungguhnya. "Cinta itu fitrah...