Bab 14

585 145 27
                                    

Sabtu malam, akad nikah dilaksanakan dengan amat sederhana di kediaman Zee. Kakak dan adik Satya yang tinggal di Yogya turut hadir. Kamila dan suaminya jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menyaksikan momen spesial ini. Laura, sempat mengomel karena tak bisa hadir. Tapi, ia tetap mendoakan yang terbaik bagi Zee. Tentu saja Zee juga tidak menyangka akan secepat ini prosesnya. Sampai ke tahap khitbah saja sudah luar biasa. Apalagi sampai akad.

Malamnya, grup kantor heboh dengan foto yang di-share oleh Kamila mengenai pernikahan Zee. Hampir seluruh anggota grup memberikan selamat dan mendoakan yang terbaik untuk Zee. Danu dengan kurang ajar malah mengira Zee hamil di luar nikah hingga harus segera dinikahkan. Zee memilih tak menanggapi gurauan teman-temannya tentang pernikahan dan malam pertamanya setelah mengucapkan terima kasih dan doa.

Zee menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kepalanya masih sedikit pening. Keluarga Satya baru saja pulang. Setelah dadah-dadah lucu, Zee segera melarikan diri ke kamar. Gadis itu melepas kerudung dan memandangi dirinya di cermin.

Astaga! Ia benar-benar sudah jadi seorang istri sekarang. Dalam hitungan minggu! Zee menarik napas. Kenapa rasanya masih ada yang janggal walau kini keinginannya dan keinginan orangtuanya telah terlaksana? Setelah mengganti pakaiannya dengan piama yang nyaman, Zee berbaring ke tempat tidur.

Perutnya mulai terasa tak enak. Zee pikir itu efek dari kegugupannya menghadapi hari sakral ini. Ia mulai gelisah sejak menunggu Satya berijab kabul dengan Bapak di ruang tamu, sementara ia berada di ruangan terpisah. Tapi ternyata bukan karena hal itu, melainkan karena sudah tanggalnya mendapat haid. Ia sempat mengecek dan keluar sedikit flek. Ah, pantas saja rasanya tak nyaman. Untung saja gejala buang-buang angin itu tak kambuh saat sedang acara keluarga tadi.

Setelah cukup lama berbaring, sambil merasai perutnya yang belum menunjukkan tanda-tanda kejinakan pun keganasan yang membuatnya sampai harus guling-guling, pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Assalaamualaikum..." Suara pria. Bukan suara Bapak, Zee mengira itu suara Ghani. Tapi, tumben Ghani mengucap salam. Oh, mungkin dia jadi sungkan dengan status Zee saat ini.

"Waalaikumussalam. Masuk, Ghan...," jawab Zee malas-malasan. Zee terlonjak kaget saat mendapati sosok yang masuk ke kamarnya bukanlah Ghani seperti perkiraannya, tetapi Satya.

"Sat-eh Mas,  ngapain di sini?" tanya Zee panik, meski sempat meralat panggilannya untuk pria yang kini berstatus suaminya.
Gila...sampai minggu lalu Satya masih teman kos yang biasa ia panggil dengan santai. Tapi sejak lamaran, Ibu memperingatkan Zee untuk memanggil Satya dengan sapaan yang lebih sopan dan intim. Meski kaku, Zee memilih memanggilnya, Mas.

Satya menatapnya dengan tatapan penuh tanya.  Apa salahnya suami di kamar istrinya?

"Mas nginep di sini? Bukannya tadi ke luar?" tanya Zee linglung. Kepanikannya makin bertambah ketika ia sadar bahwa saat ini, walaupun mengenakan piama serba panjang, kepalanya tak tertutup kerudung. Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri, merasakan hawa dingin AC pun rasa malu yang tiba-tiba menyergapnya.

Pun Satya yang menyadari bahwa sekarang ia tengah melihat Zee tanpa hijab, dengan rambut pendek sebahu dan sisa-sisa air wudhu yang membuat Zee terlihat segar dan manis. Dada Satya berdesir sesaat. Ia tersenyum kecil mengingat wajah Zee ketika SMA dulu, masih dekil dan berantakan. Juga bayangan ketika mendapati Zee yang anggun ketika mengenakan hijab. Kini ia kembali melihat Zee dalam versi yang berbeda.

"Aku cuma numpang sampai minimarket depan beli perlengkapan mandi," jawab Satya tenang sambil menunjukkan bungkusan plastik berlogo minimarket.

"Jadi Mas malam ini nginep di sini? Di kamar ini?"

Satya mengangguk tenang.

"Kenapa sih?" Satya mengalihkan pandangan. Sekilas ia memperhatikan keadaan kamar Zee.

Bismillah, Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang