Bab 8

504 124 5
                                    

"Zee, boleh saya tahu kenapa Zee begitu sangat ingin menikah?" tanya Marwa hari itu selesai mengisi kajian. Marwa mengajak Zee berbicara berdua saja sambil menikmati sop buah di sebelah masjid yang terkenal enak.

Zee menimbang-nimbang. Masa mau bilang bahwa umur udah mau expired? Nggak islami banget, ya?

"Untuk ibadah, Mbak," jawab Zee. Ya... itu juga salah satunya sih, meskipun bukan yang utama. Tapi, terdengar lebih keren. 

Marwa mengangguk-angguk, "Jadi... kalau misalnya... nggak jadi sama Naufal, nggak apa-apa dong?" tanya Marwa pelan dan terdengar berhati-hati sambil menatap Zee, melupakan sejenak sop buahnya yang tinggal separuh.

Zee menghentikan gerakan tangannya yang hendak memasukkan potongan stroberi ke mulutnya. Ia menatap Marwa.

"Kan tadi Zee bilang, tujuannya untuk beribadah. Jadi... seharusnya nggak masalah kalaupun bukan Naufal, bukan? Bukankah yang terpenting tujuan Zee tercapai?"

Zee menelan ludah. Potongan stroberi itu kembali berenang di genangan sop buah bersama kawan-kawannya.

Bukan Naufal? mendadak Zee merasa tidak rela. Tapi, apa yang dikatakan Marwa betul. Bahwa jika tujuannya memang untuk ibadah, seharusnya tak apa bila bukan Naufal. Tapi, Zee terlanjur mengharap lebih. Ia bahkan berjanji pada ibunya, saat pulang menghabiskan masa cutinya nanti, ia akan membawa kabar gembira. Kabar gembira itu Naufal. Jadi, bagaimana jika bukan Naufal?

Mendadak Zee merasa gusar.

"Kenapa memangnya, Mbak?"

"Sepertinya taaruf kalian tidak bisa dilanjutkan," kata Marwa hati-hati.

Jantung Zee seakan melorot seketika. Hastanya terasa lemas dan takberdaya, telinganya seolah berdengung saat mendengar beberapa kata menghibur, juga menenangkan, dari Marwa. Pandangannya kosong. Ia selayaknya dibawa terbang karena suatu harapan ke negeri antah berantah, kemudian dijatuhkan begitu saja, ke tempat asalnya.

"Kenapa... Mbak?" tanya Zee masih tampak linglung.

Marwa tidak ingin menjawab.  Seharusnya memang tidak perlu untuk dijawab.  Tapi melihat mata Zee yang mengembun.  Hati Marwa mengiba.

"Apa karena Zee kurang cantik?" Tebak Zee. Dengar-dengar banyak juga yang gagal taaruf karena urusan paras.

"Zee..." Marwa mengingatkan Zee untuk tidak berasumsi dengan lembut.

"Atau karena pendidikan Zee?" tanya Zee lagi.  Kali ini Marwa tidak menjawab,  tapi dari raut wajah Marwa,  Zee rasa tebakannya benar. Zee melamun,  mengingatkan pada pembicaraannya dengan Dokter Wina beberapa waktu lalu tentang pendidikan seorang wanita. Saat itu ia mengira Naufal menerimanya. Bukankah memang begitu? lalu, mengapa alasannya sekarang...?

"Saya sudah menuliskannya di CV, mbak. Dan saya kira beliau menerimanya," lanjut Zee.

Marwa menghela napas. "mungkin saat itu Naufal kurang cermat membaca CV Zee. Dia benar-benar baru 'ngeh' ketika membicarakan pekerjaan dan pendidikan saat pertemuan kalian."

Kurang cermat? Bagaimana bisa? sedang Zee saja membaca sampai berulang-ulang CV milik Naufal, memastikan bahwa pria yang hanya diketahui dari beberapa ratus kata itu bisa dipertimbangkan. Barulah setelahnya Zee berani melihat foto yang dilampirkan.

Zee menunduk, dadanya terasa sesak sekali. Ada rasa tidak rela, juga sedikit curiga. Apa betul hanya karena status pendidikan Zee, atau karena hal yang lain?

***

Satya gusar. Kos sepi saat ia tiba. Kelima pintu kamar di bangunan kos bawah tertutup rapat. tampak tak berpenghuni. Keadaan lantai atas tak kalah sepi. Tentu saja seharusnya ia bisa memprediksi, melihat garasi pun kosong. Hanya ada Mbak Ipah yang serius membersihkan kolam ikan, mungkin iapun tak sadar ada Satya, sebab pria itu terlalu malas untuk menyapa. Satya memilih duduk di anak tangga. Mulai merenungkan kejadian yang menimpanya beberapa hari ini. Bertemu Mayang dan mengetahui bahwa ternyata selama ini perasaannya berbalas. Tapi, mengapa baru sekarang Mayang mengakuinya? Padahal dulu ia begitu meraba-raba perasaan Mayang kepadanya. Satu hal yang membuat ia maju-mundur untuk mengungkapkan, hingga akhirnya memilih terjebak dalam cinta berkedok persahabatan. Satya yang berusia 20 tahun waktu itu, banyak meragu, banyak rasa takut. Takut Mayang menjauh ketika gadis itu tak memiliki perasaan yang sama dengannya. mengapa baru sekarang? Mengapa saat Mayang sudah menjadi milik orang lain? Bagaimana bisa Satya merayakan cintanya? hari ini ketika ia berkunjung ke rumah Kamila, seusai bermain dengan keponakan-keponakannya, Kamila mengajaknya bicara berdua.

"Cinta itu fitrah, tapi dengan tipu daya setan ia bisa menjadi musibah," ujar Kamila. Satya tahu benar apa maksud perkataan kakak tirinya itu.

"Jika kamu sudah tergelegak akan tipu daya cinta, sedang kamu tahu itu akan berujung dosa, ingatlah Sat, bukan cinta jika ia membuat perasaan tersiksa." Lanjut Kamila dengan tegas, tapi tetap terdengar lembut.

Satya mengusap wajahnya yang tampak gundah. "Dia tidak bahagia dengan suaminya, Mbak."

"Lantas apa kamu bisa menjamin kebahagiaannya jika mereka berpisah? Sedang kamu tidak tahu apa definisi bahagia yang ia kejar?"

"Sat...dalam pernikahan,  yang kita kejar adalah berkah.  Karena itu doa yang diajarkan rasulullah adalah doa keberkahan untuk pengantin. Bukan bahagia.  Sebab keberkahan lebih jauh dan lebih tinggi dari sekadar bahagia. Dan keberkahan,  tidak dimulai dengan pengkhianatan." lanjut Kamila lagi.

"Mbak, saya sudah berusaha menekan perasaan itu. Tetapi naluri saya sebagai laki-laki dewasa membutuhkan tempat untuk menuangkan perasaan saya... "

"Sebab itulah menikah menjadi wajib bagi mereka yang mampu, termasuk untuk mencurahkan segala cinta di tempat yang semestinya."

Menikah? Satya kembali mendengus. Dulu... satu-satunya wanita yang ingin ia nikahi adalah Mayang. Tapi sekarang? Benarkah harus dia?

***

"Tidak harus dia. Yang terpenting karena Dia."

Kalimat itu seolah membuat langkah Zee terasa makin berat. Seberapa pun ia berusaha tak memikirkannya, ia tak bisa. Bahkan sepanjang perjalanan tadi, Zee tak fokus. Hanya kebiasaannya mengemudi motor matic-nya melewati jalan-jalan tikuslah yang membuatnya tak sampai nyasar dan tiba di kos dengan selamat. Ia menyapa sekadarnya pada Mbak Ipah yang sedang membersihkan kolam ikan setelah memarkirkan motor.

Zee berjalan sambil menunduk. Rasanya ia tak kuat mengangkat kepala. Perlahan ia mulai menaiki tangga. Langkahnya terhenti saat melihat sepasang kaki lengkap dengan sepatunya berada di depannya. Zee mendongak dan mendapati Satya duduk termenung di anak tangga.  Satya kemudian mendongak. Kedua mata mereka bertemu, sesaat keduanya merasa berada di pusaran yang sama.

* * *

TBC

Bismillah, Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang