Melalui Dokter Wina, akhirnya Zee tahu Satya bukanlah pekerja warung makan seperti yang dikatakan Mbak Ipah. Satya ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan, di samping rencana untuk membuka
cabang usahanya di Jakarta. Daripada menghabiskan uang untuk menginap di hotel saat ia berkunjung ke Jakarta selama ia belum menemukan rumah, ia memutuskan untuk kos. Lagi pula ternyata yang akan menjadi partner Satya, masih ada hubungan saudara dengan Bu Titin. Satya pun bisa dengan mudah memperoleh akses untuk kos di sana. Ah, betapa dunia ternyata begitu sempit, Zee
menggerutu dalam hati.
Rupanya Dokter Wina sudah sempat mengobrol banyak dengan Satya. Mengingat ia juga sekarang tinggal di Yogya, tempat Satya tinggal dan kuliah setelah menghabiskan masa kecil hingga
SMA di Semarang. Sementara Dokter Wina yang saat ini tengah hamil muda tidak bisa kembali ke rumah di Yogya sehingga suaminya yang akan lebih sering mengunjunginya di Jakarta. Bahkan
Dokter Wina berencana untuk menyewa sebuah paviliun, yang meskipun jaraknya tak sedekat kos dengan tempat kerjanya sekarang, cukup nyaman untuk ditinggali berdua dengan sang suami dan calon anak mereka selama Dokter Wina menyelesaikan studi.
“Yaaah, kalau Mbak pindah, makin sepi dong. Cuma ngobrol sama Mbak Ipah, manyun deh,” ujar Zee sambil menyesap kopinya. Malam ini Dokter Wina berada di kos dan mereka makan malam berdua di ruang makan yang merangkap dapur umum. Sementara Satya tak kelihatan batang hidungnya karena sedang berada di Yogya.
“Kan ada Satya, Zee.”
Zee nyengir. Wina saja yang tidak tahu betapa Zee ingin menghindari Satya. Meskipun sudah berusaha menyugesti diri sendiri agar tak terlalu parno saat bertemu Satya, ditambah kenyataan bahwa Satya pasti sudah lupa dengan kejadian bertahun lalu itu, tetap saja Zee selalu ingin kabur saat Satya berada di kos. Naluriah.
“Ya kan beda, Mbak.”
“Satya enak juga kok diajak ngobrol. Ngomong-ngomong dia masih singel juga tuh, Zee,” kata Wina sambil menyeringai jail.
“Terus?” tanya Zee berusaha meraba maksud Wina.
“Ya siapa tahu cocok.” Wina melirik Zee yang sekarang baru “ngeh” ke mana arah pembicaraan Wina.
Zee terkekeh. Astagaaa! Dibanding Satya mah mending Naufal deh. Ups! Ingat Naufal jadi membuat pipi Zee menghangat. Tapi, rupanya hal itu disalahartikan oleh Wina.
“Kayaknya dia juga nggak keberatan kalau punya istri yang strata pendidikannya lebih tinggi dibanding dirinya. Nggak ba-
nyak lho cowok yang kayak gitu. Biasanya mundur duluan lihat titel cewek yang bergelar Magister atau Doktor. Siapa tahu Satya kayak suami saya, pria-pria yang tabah punya istri macam kita, hahahaha.”
Zee ikut tertawa, pilihan kata “tabah” kayaknya terlalu hiperbola, ya?
“Iya juga ya, Mbak. Memang nggak banyak. Ini sudah jadi pembicaraan kami—saya dan teman-teman sewaktu S-2 dulu.”
“Hahaha, memang begitu kenyataannya, Zee. Sewaktu saya S-2, beberapa teman juga mengeluh ditolak cowok karena statusnya. Belum lagi yang kuliah S-2 di luar negeri, yang akhirnya dipandang terlalu tinggi untuk seorang laki-laki yang strata pendidikannya dianggap tak sepadan.”
Zee mengangguk-angguk. “Jadi sebenarnya bukan kita yang pemilih ya, Mbak. Tapi, mereka yang nggak mau milih kita? He-
hehehe.”
“Kita? Kamu ya... saya kan udah,” ledek Wina membuat Zee manyun. Tapi, mendadak ia kembali teringat Naufal. Paling tidak Naufal sudah mau menerimanya. Kalau tidak, untuk apa Mbak Marwa menghubunginya dan mengatur jadwal agar keduanya bertemu?
“Tapi, memangnya dulu Mbak nggak dituntut dengan pertanyaan ‘kapan nikah?’, ya?”
Wina terkekeh, ”Ya pastilah. Kayaknya itu semacam kata yang wajib dikeluarkan kalau lihat cewek singel dan udah berumur, kan. Kenapa? Kamu udah mulai jadi korban pertanyaan maut itu, ya?”
Zee ikut terkekeh. Ya... pertanyaan maut.
“Saya dulu juga begitu Zee, sekitar umur-umur dua puluhan, ya... begitu memasuki tiga puluh sih udah nggak ada. Tau, pada
bosen kali, ya? Hehehe. Mami waktu itu sempet ngelarang saya buat lanjut S-3 lho gara-gara takut makin susah jodohnya. Untungnya Mami kemudian mengizinkan, mungkin pasrah juga kali ya sama nasib jodoh saya. Hehehe,” seloroh Dokter Wina.
“Makanya saya juga maju-mundur nih, Mbak. Mau lanjut S-3.”
“Takut nggak dapat jodoh juga?”
“Nggak. Takut nggak diizinin sama orangtua.”
“Hm... iya juga sih, kalau orangtua nggak rida, takutnya malah nggak lancar ya, Zee? Saya dulu juga begitu. Menikmati kerjaan aja dulu. Barulah setelah orangtua kalem, saya izin buat sekolah lagi.”
“Hahaha, kalau dipikir-pikir agak aneh, ya. Wanita di usia yang cukup, pendidikan tinggi, pekerjaan oke, tapi masih maju-mundur buat sekolah lagi.”
“Hahaha, ya gimana atuh, Zee, kan katanya ridanya orangtua sama dengan ridanya Allah. Turutin dulu aja lah maunya mereka.”
“Maunya mereka sih saya nikah dulu, Mbak.”
Wina mengerling kemudian terkekeh lagi, “Jodohnya belum mau nongol ya, Zee?”
“Ya... begitulah.”
“Santai, Zee, jodoh nggak akan datang terlambat kok,” ujar Wina mantap, “tapi kalau dia lupa jadwal atau salah alamat, bisa jadi sih, hahahaha.”
“Ya... masa Allah ngasih alamat palsu, Mbak?”
“Emang Ayu Ting Ting?”
Keduanya terkekeh.
“Tapi betul lho, Zee. Saya percaya kalau Allah itu memang scheduler yang paling top-markotop. Dia pasti memberikan apa
yang kita butuhkan tepat waktu, sesuai pengukuran-Nya. Bukan sekadar keinginan dan prasangka kita. Memang siapa lagi yang lebih mengerti kita dibanding Dia?”
Zee mengangguk-angguk setuju. Benar juga, jodoh itu tak akan datang lebih cepat, pun tak akan terlewat walau satu menit saja.
Hanya saja, gempuran dari berbagai pihak membuat Zee terkadang melupakan konsep itu.
“Jadi, santai aja, nikmati aja dulu masa-masa singel.”
Zee tersenyum setuju. Tak lama ponsel Wina yang ia letakkan di meja berdering. Seketika senyumnya mengembang dan rona kebahagiaan terlihat jelas.
“Assalaamualaikum, Mas. Udah selesai? Iya, ini baru selesai makan malam sama Zee. Sebentar ya, nanti Wina telepon balik,” cerocos Wina sebelum mengakhiri pembicaraan.
Wina bergegas mencuci piring bekas makannya dan pamit pada Zee meninggalkan ruang makan.
“Saya masuk duluan ya, Zee. Biasa, panggilan dinas, hehehe,”
candanya.
Zee turut mencuci peralatan makan dan bergegas ke kamarnya.
Seperti malam-malam sebelumnya, kos sudah mulai sepi. Jauh berbeda ketika dia masih kos di Depok dulu, yang isinya kebanyakan mahasiswi bawel semua. Terkadang Zee kangen juga masa-masa
heboh di kos-kosan lamanya.
Memasuki kamarnya, Zee kembali tercenung, mengingat pembicaraannya dengan Wina. Mengenai jodoh, juga wanita-wanita yang berpendidikan tinggi dan berpekerjaan mapan. Seolah hal itu
menjadi kontradiksi yang membuat para wanita enggan untuk mengembangkan diri karena takut jodoh menjauh. Tak banyak wanita seberuntung Wina, bisa menyelesaikan S-3-nya dan mendapat
suami yang pengertian dan “tabah”, bahkan untuk itu ia harus menunggu hingga usianya 35 tahun.
Zee menghela napas. Ia berharap bisa seberuntung Wina tanpa harus menunggu hingga usianya 35 tahun. Sebenarnya tak masalah juga, seperti yang Wina katakan tadi. Allah itu scheduler paling top.
Zee juga percaya itu. Tapi, apa memang perempuan berpendidikan tinggi cenderung dihindari, ya? Bukankah seharusnya wanita dinikahi karena agamanya? Adakah dalil yang mengatakan bahwa wanita berpendidikan tinggi itu makruh untuk dinikahi? Bukankah
justru wanita itu harus cerdas dan berpendidikan tinggi? Ialah yang
akan menjadi tiang peradaban, melahirkan penerus-penerus yang
kelak bisa dibanggakan di dunia dan akhirat?
Di hamparan sajadah kemudian Zee berdoa memohon kebaik-
an atas dirinya, juga jodoh yang telah dipersiapkan-Nya.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Cinta (TAMAT)
SpiritualYang satu cantik, pintar, dan punya pekerjaan yang mapan. Tapi gagal taaruf... Yang lainnya karismatik, berbakat, dan sukses. Tapi susah move on... Dan keduanya bersama, belajar menyelami hakikat cinta yang sesungguhnya. "Cinta itu fitrah...