Bab 15

659 138 10
                                    

Satya ternyata masih ingat semuanya. Meski profil wajah Zee remaja samar di ingatan Satya, tapi lelaki itu masih ingat dulu Zee berambut sebahu yang selalu dikucir kuda selama SMA. Satya sempat merasa familiar saat pertama kali berkenalan dengan Zee di Kos. Dan semua terjawab ketika Satya membaca CV Zee. Tapi kesibukan mereka untuk mempersiapkan masa depan jauh lebih penting, Itulah sebabnya Satya tak pernah mengungkit masa SMA selama ini.

Tapi, tidak bagi Zee. Rasa nya ia ingin segera menenggelamkan diri di rawa-rawa begitu tahu bahwa selama ini Satya sadar ialah gadis memalukan yang buang angin di depan senior, lalu suami di malam pertamanya. Astagaaaa! Di mana harga dirinya?

Maka semalaman, Zee tidak mau memperlihatkan wajah di depan Satya. Pun ketika pagi menjelang. Bahkan sambil sarapan pun Zee terus menunduk dan menghindar dari Satya.

Kereta Argo Sindoro sudah meninggalkan stasiun Tawang sejak lima belas menit yang lalu. Zee memandang ke arah jendela tanpa mau sedikitpun menoleh ke arah Satya.

"Biasanya... pengantin baru itu disayang-sayang, digelendotin, ini malah dicuekin." Bisik Satya di telinga Zee. Meski tertutup kerudung, bisikan Satya nyatanya mampu membuat Zee merinding.

"Mas... geli ih!" Protes Zee sambil mengusap-usap telinganya.

Satya menyeringai. "Makanya... kamu sih..."

"Kenapa?" tanya Zee sambil mencebik.

"Aku didiamin melulu dari semalam. Memangnya enak?" kali ini giliran Satya yang protes.

Zee mengintip Satya dari balik bulu matanya, wajah pria itu terlihat datar. Ya... mana enak dicuekin. Tapi Zee juga masih malu, dia menghindar bukan tanpa alasan. Ia masih belum siap menghadapi Satya. Takut diledekin.

"Kenapa sih? Kamu marah sama aku?"tanya Satya.

Zee menggeleng cepat.

"Berarti harusnya aku yang marah." kata Satya lagi.

"Kok gitu?" Tanya Zee bingung, memangnya apa yang membuat Satya marah?

Satya membenarkan letak duduknya agar bisa memandangi Zee, diatur nada suaranya agar tidak terlalu terdengar penumpang lainnya.

"Kita baru menikah... aku pertama kali nginep di mertua, kamu semalaman munggungin aku, sebelum subuh sudah ngilang, pas sarapan pun kamu nggak mau lihat mukaku. Coba menurutmu bagaimana perasaan Bapak Ibu melihat anak gadisnya menghindar terus dari suami di hari kedua menikah? Kesannya kan kaya kamu terpaksa menikah." Satya berkata dengan serius.

"Maaf, Mas... aku nggak bermaksud begitu..." cicit Zee dengan wajah menyesal.

"Tadi sebelum subuh aku mau bantu-bantu Ibu siapin sarapan, kan kita berangkat pagi-pagi. Bapak Ibu juga nggak akan mengira aku terpaksa menikah, kok. Persepsi mereka ke Mas sampai sekarang masih positif, malah aku yang kena omel kalau nggak ngurusin Mas." jelas Zee, mengingat setiap detil Ibu menasehati bagaimana seharusnya memperlakukan seorang suami.

Satya mengangguk-angguk, "Lalu kenapa aku didiamin terus?"

"Itu...a-aku...anu...mm..."

Ya Tuhaan...! Masa Satya nggak paham, sih!

"Aku malu...," jawab Zee lirih.

"Malu? Malu kenapa?" tanya Satya bingung.

"Iih... masa Mas nggak ngerti?"

"Ya mana aku ngerti kalau kamu nggak bilang?"Zee mengulum bibirnya. Ah ya, dia lupa bahwa Satya bukanlah dukun, pun sebagai laki-laki pasti tingkat kepekaan Satya juga di bawah rata-rata.

"Sebentar..." Satya mencoba menebak, "Biasanya perempuan itu malu karena habis ngapa-ngapain di malam pertama. Tapi kan semalam kita belum ngapa-ngapain?" lanjutnya setengah berbisik, celingak-celinguk memastikan penumpang lain tak mendengar obrolan mereka. Meskipun sejak tadi mereka memakai nada suara rendah agar tak menarik perhatian.

Bismillah, Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang