Bab 3

674 110 4
                                    

Perut Zee masih terasa tak nyaman, ia bolak-balik dari toilet sejak pagi. Untung saja masalah kentutnya sudah berkurang. Hanya saja pencernaannya masih bermasalah.
Setelah mengajar, Laura datang sambil membawa greentea hangat untuk Zee.
“Udah enakan?” tanya Laura prihatin. Oke, Laura tahu bahwa ada beberapa wanita yang bermasalah kala sedang haid. Ia ingat dulu sahabatnya bahkan selalu pingsan di hari pertama haid. Atau ada juga yang katanya merasakan sakit minta ampun di bagian perut. Laura sendiri tak mengalami masalah itu, hanya beberapa gejala biasa, seperti nafsu makan meningkat, jerawat, atau punggung pegal-pegal. Tapi Zee sungguh aneh, lancar BAB dan terkentut-kentut? Hahaha, kadang Laura menertawakan Zee, tapi sebenarnya ia kasihan juga.
“Makasih ya, Ra. Masih lancar BAB nih, kalau kentut sih... eh.. bentar...”
Zee mengangkat sedikit pantatnya, dan...
Tut!
Zee kemudian nyengir ke arah Laura yang hanya geleng-geleng kepala, “maaf, Ra. Tadinya mau bilang udah mendingan. Tuh! cuma sekali, kan?”
“Mbak... Mbak... cantik-cantik kok tukang kentut!” ledek Laura kemudian kembali ke kubikelnya.
Zee Cuma bisa nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya, siapa juga yang mau terkentut-kentut tiap kali haid? Maunya sih kalau dikasih kentut yang biasa aja, yang normal. Mana tahu kalau dia bisa kelebihan kentut di saat haid pertama?
Ia menyesap sedikit greentea hangat dari Laura. Terasa hangat sampai ke lambungnya. Laura memang top deh, dibalik sikap tak pedulinya sebenarnya Laura ini sangat perhatian, bahkan untuk hal-hal kecil. Getaran halus bertubi-tubi di smrtphone Zee membuat gadis itu menoleh dan mengambil smartphone-nya yang tergeletak begitu saja di meja. Ada notif whatsapp, separuh yang bisa terbaca singkat oleh mata Zee berbunyi...
"Kira-kira Zee bersedia, nggak?"
Jantung Zee berdegup kencang, mendadak ia menduga bahwa itu whatsapp dari Mbak Marwa. Buru-buru Zee membuka aplikasi dan terdapat rentetan kalimat yang membuat Zee benar-benar menahan napas untuk satu waktu.
"Assalamualaikum, Zee
Lagi sibuk kerja, ya?
Ada ikhwan yang berniat taaruf, kriterianya mendekati seperti yang Zee inginkan
Kira-kira Zee bersedia, nggak?"
Lalu muncul lagi susulan emoticon senyuman.
Zee membuang napasnya perlahan. Astaga! Benar-benar dari Mbak Marwa, dan apa? Tawaran taaruf? Oh ya Allah....
***
Zee tak berhenti nyengir, bahkan sampai dalam batas ia tidak sadar bahwa sepanjang beberapa menit itu bibirnya terus tertarik ke atas, sesekali memperlihatkan giginya, sesekali mengatup tapi jelas rona kebahagiaan tak bisa disembunyinya dari wajah ayu Zee. Ferdian, yang kubikelnya bersebelahan dengan Zee berkomentar jahil.
“Zee, lo suntik botox, ya?” pertanyaan Ferdian jelas menarik perhatian Laura yang sedang merapikan meja kerjanya.
Zee yang sadar ditegur buru-buru menghilangkan senyumnya, dan baru sadar kalau sejak tadi ia tersenyum karena ia kemudian merasakan sedikit pegal di bibirnya.
Laura ikut melongok melihat Zee, beneran suntik botox?
“Ih, apa sih Bapak,” Jawab Zee malu. Ya ampun, ketahuan banget ya kalau lagi happy?
“Ya abis lo bibirnya terangkat melulu nggak berubah dari tadi. Kali aja lo botox, atau operasi apa itu? Kemarin gue nonton di TV katanya sekarang ada operasi bibir biar selalu terlihat tersenyum walau sebenernya lagi diem.”
“Hah?” Zee melongo, “ih, bukan, Pak. Ngapain juga saya operasi begituan.”
Ferdian masih memandang Zee dengan tatapan tak percaya.
"Tapi lo beneran nggak apa-apa, kan? Ra, temen lo nih, jangan-jangan kesurupan.” Ferdian mengalihkan pandangan pada Laura.
“Hah? Jin mana ada yang mau nempel sama dia, Pak.” Komentar Laura acuh.
Ferdian tergelak, sementara Zee manyun.
“Yaudah deh gue pulang dulu, ini kalian kenapa lagi masih pada di sini? Perawan jangan pulang malem-malem, bahaya.”
“Saya sih udah mau pulang, Pak. Nggak tahu kalau Zee, kayaknya dia mau jagain kantor.” Sahut Laura melirik Zee yang kemudian mematikan laptopnya dan turut merapikan barang-barang. Astaga! Zee bahkan sampai nggak sadar kalau ternyata jam kerja sudah berakhir sejak tadi.
“Eit enak aja, saya juga mau pulang kok, Pak.”
“Yasudah kalau gitu gue duluan, ya. Hati-hati.” Pamit Ferdian sebelum meninggalkan keduanya.
“Oke, Pak!” jawab Zee dan Laura hampir bersamaan.
Laura menunggu Zee hingga selesai dan berjalan bersama ke arah parkir motor karyawan. Mereka memang lebih suka menggunakan motor, selain praktis dan cepat karena bisa melalui jalan-jalan tikus tanpa harus bermacet-macet ria. BBM juga lebih irit. Kalau musim hujan, barulah Laura memilih mengendarai mobilnya, dan biasanya Zee nebeng. Pernah satu kali saat hujan lebat Zee nekat mengendarai motor ke kampus, dan itu menyebabkan penampilannya dari kusut dan lecek, terutama gamis bagian bawahnya yang terkena cipratan genangan air hijan di jalan, sehingga kadang Zee harus membawa pakaian ekstra.
Sepanjang perjalanan rupanya Zee tanpa sadar kembali tersenyum. Mengingat email yang dikirim Marwa padanya. Biodata ikhwan yang dibicarakan sebelumnya.
Namanya Naufal Ardian, usianya 29 tahun. Lulusan S1 Farmasi dan bekerja di sebuah perusahaan farmasi di kawasan Jati Jajar, Depok. Baru sekali ini Zee mendapat email biodata ikhwan untuk taaruf, padahal sebelumnya ia hanya mendengar dari kawan-kawan ngajinya atau ceramah ustadz dan film. Tapi kali ini ia benar-benar melihatnya sendiri. Membaca kata demi kata yang tertera dalam CV itu. Marwa juga menyertakan foto Naufal, membuat jantung Zee berdetak berkali lipat dibanding biasanya.
Hidungnya tak terlalu mancung, tapi pas untuk wajah Naufal yang memiliki rahang yang tegas. Matanya menatap tajam dengan bibir yang proporsional juga janggut mungil membuat Naufal terlihat ‘ikhwan banget’ di mata Zee.
Sekilas cocok, menurut Mbak Marwa, Naufal pun merasakan hal yang sama. Mereka cocok. Hingga kemudian minggu depan mereka akan dijadwalkan bertemu di salah satu rumah makan kawasan Kemang.
Tanpa bisa dicegah, foto Naufal melayang-layang begitu saja di pikiran Zee. Meskipun berkali-kali gadis itu berusaha menepisnya, tapi rupanya ia tak bisa. Bayangan lelaki soleh dan menyejukkan mata rupanya lebih menggoda. Astaga! Pantas saja para pemuda dianjurkan untuk menundukkan pandangan. Bahkan hanya dengan memandang foto pun telah memberi efek luar biasa. Zee berdoa sungguh semoga kali ini taarufnya berjalan lancar. Ia bukannya tak tahu kalau proses taaruf tak selamanya berjalan lancar bahkan banyak juga yang gagal. Ia baru pertama kali, bahkan belum benar-benar tahu taaruf yang benar itu seperti apa. Ia hanya menurut pada Mbak Marwa. Zee tersenyum kecil, teringat cerita Kamila tentang taarufnya dulu. Ini sih masih mending, ya... Zee bisa melihat foto Naufal terlebih dahulu. Bahkan diberi kesempatan untuk bertatap muka.
Ah apapun itu ia berharap mendapatkan yang terbaik melalui jalan yang baik ini.
***
“Jadi seminarnya tanggal 25?” tanya Zee memastikan sambil mencomot pempek dari tupperware Laura. Hari ini Laura membawa pempek buatan Mamanya sendiri. Dan ketika Laura memamerkannya pada Zee melalui whatsapp pagi. Bagai kerbau dicocok hidungnya, seusai Laura sholat Dzuhur, Zee bergegas mengikuti Laura ke staaf lounge untuk menikmati pempek dengan leluasa.
“Ih, kan kemarin Bu Kamila udah bilang. Elo sih ngelamun melulu,” protes Laura kesal.
Zee hanya nyengir, “jadi kita beli tiket juga atau gratis?”
“Ya beli lah. Lo pikir itu perlengkapan buat seminar punya mbahmu apa?”
Zee terkekeh lagi, “ya kali, Ra. Buat staff didiskon gitu lhooo. Emang udah ketemu siapa pembicaranya?”
“Udah. Rekomendasi Pak Wiwid katanya. Pengusaha muda asal Jogja gitu deh. Katanya dia buka bisnis waralaba sejak kuliah, jadi kan cocok buat mahasiswa.”
“Oh ya? Siapa?”
Laura mengedikkan bahunya, “lupa gue namanya.”
“Wah ada yang bawa pempek nggak bagi-bagi nih. Solidernya sesama jomblo doang, ih!” sahut Danu tiba-tiba datang menghampiri meja mereka dan mencomot pempek.
“Ih, kan emang pesenan saya, Pak. Udah dari seminggu lalu nih.” Jawab Zee seolah tak rela berbagi dengan Danu.
"Eh enak, Ra. Bikinan lo sendiri?” tanya Danu tak mempedulikan protes Zee dan malah duduk di sampingnya.
“Bikinan Mama, Pak.” Jawab Laura singkat.
“Enak lho, bawa lagi besok ya, Ra,” jawab Danu sambil nyengir.
“Yaela kalau gini caranya saya suruh Mama bikin catering aja sekalian. Kalian kalau mau pesan bayar, ya!”
“Nggak apa-apa, Ra. Aku rela kok bayar kalau pempeknya seenak ini.” Jawab Zee kemudian menjauhkan tupperware berisi pempek itu dari Danu.
“Zee, jangan pelit lah. Biar cepat dapat jodoh.” ujar Danu sambil nyengir.
“Kalau Laura beneran bikin catering, gue beliin lo deh. Eh bener, Ra. Gue pesen, ya. Bini gue suka sama pempek juga soalnya. Gue bayar deh, tapi jangan mahal-mahal, ya.”
Danu baru berhenti mengoceh setelah Agus, OB kantor membawakannya makanan yang pasti dipesan dari kantin. Beberapa staff dan dosen memang lebih suka makan siang di staff lounge daripada harus berdesakan dengan mahasiswa di kantin atau ke luar area kampus di jam makan siang seperti sekarang. Biasanya mereka membawa bekal atau meminta OB untuk membelikan sesuatu dari kantin dan makan di staff lounge atau di kubikel masing-masing. Tergantung selera.
“Eh tau nggak, kemarin gue denger Mayang ngobrol sama Bu Kamila.” Ujar Danu membuat Zee dan Laura saling berpandangan.
“Ya kan Mayang emang maunya ngobrol cuma sama orang-orang tertentu, Pak. Bu Kamila salah satunya.” Sahut Laura.
“Oh kalau itu sih gue juga tahu. Tapi ini masalahnya si Mayang minta sama Bu Kamila buat jadiin doi moderator di acara seminar nanti. Tumben banget, kan? Dia mau terlibat di acara kemahasiswaan kayak gitu?”
“Wow! Gencatan senjata kali, Pak. Udah mau merakyat gitu sekarang. Terus Bu Kamila setuju?”
“Nah itu dia yang bikin gue bingung. Bu Kamila nolak. Nolak Mayang lho ini... Mayang. “ seru Danu dengan memasang wajah lebay tanpa perlu merasa khawatir barangkali Mayang lewat dan mendengar pembicaraannya.
“Padahal gue yakin kalau doi yang jadi moderator pasti jadi daya tarik tersendiri buat acara nanti.” Lanjut Danu lagi.
“Kenapa ditolak?” kali ini Zee jadi ikut penasaran.
“Bu Kamila bilang sih berharap Fira, anak tingkat 3 yang jadi moderator. Kan Fira oke juga pas jadi moderator seminar tahun lalu. Jadi biarlah mahasiswi yang bersinar. Kurang lebih begitu. Eh tapi gue nggak yakin itu alasan Bu Kamila. Sumpah gue kok ngerasanya nih, ya. Si Mayang mau mengakrabi Bu Kamila gitu. Tapi Bu Kamilanya kayak ogah gitu, malah lebih deket ke kalian atau staff cewek lain, kan?”
“Ah Pak Danu nih gosip aja deh.” Sahut Laura, meskipun sejujurnya ia juga memiliki pemikiran yang sama dengan Danu.
“Lho? Gue serius. Emang kalian nggak ngerasa? Wah nggak peka nih. Katanya kalau cewek lebih sensitif?”
Oh tentu saja Zee dan Laura sudah menduga. Mereka bahkan pernah membicarakannya. Kamila yang terlihat tidak nyaman saat mengobrol dengan Mayang. Bahkan cenderung menghindar.
Padahal, meskipun kelihatan tak terjangkau, Kamila adalah sosok yang asyik kalau sudah mengobrol.
“Mungkin Bu Kamilanya kaget kali, Pak. Tiba-tiba Bu Mayang turun dari kahyangan. Makanya jadi waspada gitu. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba sekarang Bu Mayang mau jadi moderator tapi pas hari-H doi ada acara sama temen-temen sosialitanya. Bisa kacau acaranya.” Jawab Zee mencoba berspekulasi, meskipun ia sendiri tak yakin dengan spekulasinya.
Tapi ternyata Danu dan Laura dengan mudah menerima spekulasi ngawur Zee itu, hingga kemudian Laura mengalihkan pembicaraan mereka mengenai rencana buka catering ibunya untuk pesanan teman-teman sekantor. Yang disambut antusias oleh Danu dan tentu saja Zee yang sudah lama ngefans dengan masakan Mama Laura yang meskipun bule tapi ternyata lebih jago masak makanan indonesia.
***
Minggu pagi, ketika Ibu menelepon dan seperti biasa berprihatin pada Zee yang menghabiskan waktu di kamar kosnya untuk menonton drama korea di hari libur seperti ini. Tapi sebelum Ibu kembali mengeluh atas kejombloan Zee, gadis itu kemudian dengan malu-malu memberitahu Ibu bahwa ia akan bertaaruf. Meskipun bingung dan akhirnya Zee menjelaskan lalu berjanji akan bercerita pada ibunya lebih lengkap setelah bertemu dengan calon. Ibu baru terdengar lega.
Tok... tok... tok...
“Ya?” jawab Zee begitu mendengar pintu kamarnya diketuk.
“Mbak Ji di dalam?”
Oh cuma Mbak Ipah di kosan ini yang memanggilnya Ji.
“Iya Mbak Ipah, kenapa?” tanya Zee dari dalam kamar, malas mengenakan kerudungnya dan lebih memilih tampil santai dengan dasternya.
“Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya mau bersih-bersih. Kirain Mbak Ji  pergi.”
“Enggak, Mbak.” Balas Zee sedikit berteriak. Eh? Ini kan hari minggu? Bukan jadwalnya Mbak Ipah bersih-bersih kos. Biasanya Mbak Ipah bersih-bersih 2 hari sekali di hari kerja. Bukan di hari minggu begini.
Zee kemudian mendengar suara pintu kamar sebelah terbuka, Oh bersihin kamar sebelah. Mungkin penghuninya sudah mau datang. Pikir Zee.
Jam 9 pagi Zee keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi. Hari ini jadwalnya mengaji. Ia melihat Mbak Ipah membersihkan dapur bawah saat melewati tangga menuju garasi.
“Mbak, penghuni kamar sebelah Zee udah mau dateng, ya?”
“Iya, Mbak. Kata Ibu, nanti siang atau sore nyampe.”
“Cewek atau cowok, ya?”
“Cowok, Mbak.”
Yaaaaah, dalam hati Zee kecewa. Biasanya dia lumayan bandel, malas menggunakan kerudung kalau hanya ke luar kamar sebentar sekadang merebus mie atau menghangatkan makanan. Tapi kalau penghuni sebelah kamarnya laki-laki itu artinya Zee nggak bisa sembarangan lagi, seperti saat hanya ada dr. Wina.
“Oke deh, Mbak. Zee berangkat dulu, ya... assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Ati-ati Mbak.”
“Yoi, Mbak.”

***
Pukul satu siang ketika Zee sudah sampai Kos, ia melihat sebuah taksi baru saja bergerak meninggalkan kosnya. Zee turun dari motor, tapi saat ia melihat pintu garasi sedikit terbuka Zee bergegas untuk melebarkan agar motornya bisa masuk. Tetapi gegarakan Zee terhenti saat ia melongok dan melihat seorang pria sedang berbincang dengan Pak Arto. Zee menduga itu adalah pria yang akan menempati kamar sebelahnya. Karena di bawah kaki lelaki itu ada sebuah tas penuh yang diduga Zee sebagai barang-barang lelaki itu. Zee melihat ke arah lelaki jangkung yang terlihat masih muda itu.
Zee dapat melihat wajah lelaki itu dengan jelas ketika Bu Titin hadir dan turut menyambut lelaki itu. Kini giliran Zee yang syok berat dan buru-buru ngumpet ketika memastikan bahwa penglihatannya tak salah juga ingatannya yang tak pernah pudar. Tentu saja dia ingat lelaki itu, tapi astaga! Kenapa laki-laki itu ada di sini sekarang? Dan... apakah dia benar-benar akan jadi tetangga kamar Zee?
Membayangkan hal itu saja membuat Zee tiba-tiba ingin langsung pindah kos sekarang juga. Tapi yang bisa ia lakukan saat ini iya lah kabur dengan motornya. Membatalkan niatnya untuk segera menikmati kenyamanan kasurnya. Ia tak mungkin lewat di hadapan ketiga orang itu—dan terutama di hadapan lelaki itu saat ini—oh, dari sekian banyak calon penghuni kos, mengapa harus dia?
***

TBC

Bismillah, Cinta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang