The Five Men

594 43 11
                                        

"Lepaskan!"


"Haha, lihatlah j#l#ng ini."

Pria itu membuang rokoknya sembarangan, kemudian tangannya meraih baju atas si wanita yang terpojok di tembok tersebut.

"Jangan ... aku mohon jangan ...." Wanita itu menangis sejadi-jadinya, wajahnya yang menunduk tertutupi oleh rambut yang berantakan.

"Ayo, sayang ...." Pria tadi menarik dagu sang wanita dan mengelap bibirnya yang sudah pucat.

"Panggilkan dia kemari!" perintahnya pada beberapa bawahannya.

---

"Aku akan pulang ke sini, kalau ingin pergi telepon aku, makanan ada di meja, itu untuk nanti siang makanya kututupi, dan ...." Hari yang selesai memakai sepatunya itu mendekati Kanglim yang menatap keluar dari jendela.

"Cium aku." Hari menunjukkan pipinya, Kanglim menengok dan tersenyum.

"Muah," ucapnya yang membuat Hari sebal.

"Oke, terserah, kubawa mobilmu." Setelahnya, dia pergi.

Kanglim hanya tertawa kecil memandang punggung Hari yang sudah menjauh, ia kembali melihat arah jendela. Pikirannya sedang tertarik dengan sesuatu.

"Hutan ... makhluk ...."

Di sisi Hari, dia membuka pintu mobil milik Kanglim dan duduk di kursi supir. Menyalakan mesinnya dan terhenti karena ponselnya berdering.

"Oh, Hyeji eonni." Hari mengangkatnya.

"Yeoboseyo, Eonni. Ada apa menelepon?"

"Begini, Hari. Apa kau mengenal ayah Byeoljji?"

Hari mengernyitkan dahinya. "Mengapa bertanya seperti itu?"

"Aku ... dia ... maksudku, dia tahu aku dan Byeoljji ada di sini, di apartemenmu."

"Apa?! Bagaimana bisa??"

"Entahlah, aku pikir kau mengenalnya dan memberitahu dirinya."

"Masalahnya ... aku bahkan tak tahu namanya."

"Nah, itu dia, bagaimana bisa dia menemukan kami ...?"

"Ya sudah, Eonni, nanti kabari aku lagi jika dia berbuat hal buruk padamu. Biar kumarahi dia!" kata Hari sedikit bergurau.

"Haha, tentu saja. Eh, hari ini kau kuliah, kan? Semangat, ya!"

"Terima kasih!" Hari tersenyum dan mematikan telepon lantas kembali mengendarai mobilnya.

Hari sudah bisa mengendarai mobil sekarang, diajari beberapa bulan lalu.

---

17.32 PM

"Aku ingin tahu, Kanglim tidak pergi sekarang, apa dia tiduran di rumah?" tanya Hari pada dirinya sendiri dan memberhentikan mobilnya ketika lampu merah menyala.

Hari melihat cermin di tempat bedak riasnya. "Uh, lihat, diriku ini cantik sekali, seperti gadis 18 tahunan saja," ujarnya percaya diri.

Kemudian, dia melihat arah depan, sudah lampu hijau. Saat Hari akan kembali melajukan mobilnya, lima orang lewat. Oh bukan lewat, tetapi menghalangi mobil Hari.

"Me-mereka?"

Hari teringat video yang pernah Kanglim perlihatkan padanya tentang kelima pria itu. Hari membuka jendela dan melongok keluar.

"Aish ... hei! Pergi dari situ, kendaraan lain ingin melaju!"

Hari menekan klakson beberapa kali. Namun, mereka masih tidak mau pergi. Hari menengok ke belakang, terlihat pengendara lain juga ingin melaju.


"Hei, bisakah kau jalan??" teriak salah satunya pada Hari.

Hari tersenyum canggung. "Maaf, maaf ...."

Dia memundurkan sedikit mobilnya dan menepi, lalu keluar dari situ. "Mereka ini ...."

Hari mendekat pada lima pria tadi. "Mengapa kalian kemari?"

"Hei. Kau, kan, adik kami," sahut salah satunya dengan senyum miring.

Hari memutar bola mata malas. "Bukan, aku bukan adik kalian."

"Kami akan menjagamu."

"Aku tak perlu dijaga."

Hari memilih masuk kembali ke mobil, tetapi tangannya ditahan oleh salah satunya. Hari berdecak dan menoleh.

"Hei, Yang Minhak!" bentak perempuan itu.

Hening sekilas.

Pria itu tertawa. "Rupanya kau sudah berani membentakku."

Hari tersenyum. "Aku sangat berani membentak bahkan membunuh berandal-berandal s#ekkiya seperti kalian."

Setelahnya, Hari menendang perut pria yang menarik tangannya tersebut, memukulnya dengan tas yang ia bawa. Dilanjutkan memukul yang lain, ketika dia melihat beberapa orang yang lewat dan menonton.

"Hei, bawa kelima orang ini ke kantor polisi, mereka menggodaku," ujar Hari masuk ke dalam mobil dan melajukannya kembali ke vila.

"Cih, aku menyesal telah mengenal mereka."

Sampai di vila, Hari bergegas membuka pintu dan masuk.


"Aku pul-" Ucapannya terhenti ketika melihat bercak-bercak darah di lantai yang membentuk jejak kaki.

Dia dengan cepat naik ke atas dengan tangga dan menemukan Kanglim yang terduduk di kursi kamar dekat jendela. Bercak darah itu ternyata menuju dirinya.


"Kanglim ...," panggil Hari lirih.

"Hm? Sudah pulang ternyata," jawab Kanglim tanpa merubah posisinya.

Hari menjatuhkan tasnya, dan menelan salivanya sendiri. "Apa kau habis berkelahi?"

"Tidak."

"Apa kau mencoba bunuh diri?!"

"Tidak, mana mungkin."

Hari menghela napas. "Apa kau bertarung dengan makhluk?"

Kanglim berdiri. "Tidak."

Hari maju, mendekati Kanglim.

"Lalu, kartu ini apa?!" tanyanya menunjukkan kartu yang biasa Kanglim gunakan saat mengusir makhluk dulu. Dia menemukannya di lantai tadi.

Kanglim menoleh, menatap kartu itu.

"Apa makhluk telah kembali?" tanya Hari lagi dengan cemas.

Kanglim membelakangkan kedua tangannya, dan menatap Hari lekat. "Itu bukan makhluk, tetapi hybrid."

Hari mengerjapkan matanya beberapa kali. "Hybrid?"

***

Protect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang