Sore hari ini Kanglim dan Hari pergi ke bukit tepat ada satu jalan di sana.
"Kita kemari?" tanya Hari.
Kanglim mengangguk. "Aku tahu mobil pick up itu akan lewat sini, karena kemarin dia tertangkap olehku."
Hari menoleh. "Memang dia tahu kau melihatnya?"
"Tidak, tapi aku yakin dia sadar tangan hybrid itu keluar. Dan mereka menjadi lebih waspada sekarang."
Hari mangut-mangut paham apa yang Kanglim ucapkan. "Um ... bagaimana kau tahu mereka akan lewat sini bukannya jalan lain?"
Kanglim menatap Hari. "Karena ini merupakan jalan menuju hutan belakang vila kita," jawabnya.
Hari mengernyit. "Kenapa tadi kita tidak lewat jalan ini saja dan malah berputar-putar lewat jalan kota??"
Ditepuk dahi Kanglim. "Kan sudah kubilang, menuju hutan bukannya vila kita"
"Oh ... iya benar." Hari menyeringai dan menatap jalan. "Tapi bagaimana kau tahu mereka akan menuju hutan?"
"Markas mereka di sana."
Hari menoleh lagi, menatap lekat Kanglim dan kembali ke depan. "Baiklah, aku paham."
Beberapa menit mereka berdiri di tepi bukit ini, sampai sebuah mobil pick up tertutup melintas.
Kanglim menarik Hari ke balik pohon sampai mobil tersebut benar-benar lewat.
"Ayo," ajak Kanglim masuk ke mobil mereka yang mereka tutupi dengan beberapa daun.
Setelah keduanya masuk, mobil mereka melaju membuntuti pick up itu.
"Tunggu, kalau kau tahu markasnya di hutan itu mengapa kita tidak ke sana saja?" tanya Hari lagi.
"Aku tahu karena hybrid yang waktu itu kutemui pasti dibuang tidak jauh dari tempatnya. Aku tidak tahu persis markas itu di sebelah mana."
"Oh ... begitu." Hari mengangguk.
Oke, sekarang mereka masih mengikuti pick up itu. Entah keberuntungan atau apa, sepertinya pengemudi pick up tersebut tidak menyadari ada mobil yang mengikutinya.
Sekitar setengah jam kedua mobil itu melaju, pick up tadi berhenti di salah satu tepi jalan. Tempat ada sebuah gua tertutup oleh dedaunan kering.
"Aku baru tahu ada sebuah gua di sini," ucap Hari mengintip pengemudi itu turun dari mobil.
"Kita di sini saja, oke?" kata Kanglim disahuti anggukan dari Hari.
Mobil mereka mungkin berjarak lima meter dari gua itu, tetapi orang yang ada di sana tidak menyadarinya.
Beberapa orang keluar dari mulut gua itu, membawa boks-boks yang lumayan besar dari pick up tersebut.
Salah satunya berkacak pinggang sambil merokok. "10.000 botol lagi, katakan pada Profesor itu."
Sang pengemudi pick up mengangguk.
Setelahnya Hari dan Kanglim melihat orang-orang yang membawa boks tidak keluar dari gua itu lagi, tersisa 3 orang di sana. Pengemudi pick up, pria yang merokok itu sepertinya bosnya, dan seorang wanita berpakaian kesehatan.
"Bos, para wanita itu hampir mati karena disuntik kelebihan cairan," ujar si wanita.
"Ya aku tak peduli, itu urusanmu. Kalau mereka mati, cari yang lain," jawab bosnya santai.
"Katanya kau akan mencari gadis itu dahulu."
Dijatuhkan rokok yang masih menyala itu, kemudian dia injak dengan sepatunya. "Dianya saja belum ketemu."
Setelah itu, sang wanita masuk kembali ke gua.
"Hari, aku tahu tempat ini sekarang. Ayo kita kembali."
Kanglim memundurkan mobil perlahan. Ketika sudah lumayan jauh dari gua itu, Kanglim memutar mobil dan kembali.
"Setelah ini kita pulang?" tanya Hari.
Kanglim hanya tersenyum, membuat Hari mengerutkan dahinya bingung.
Sampai di ... atas bukit.
"Lo, kok ke sini?" tanya Hari, lagi.
Kanglim keluar dari mobilnya, dan membukakan pintu Hari.
"Mumpung kita di sini, lagi pula kita jarang menghabiskan waktu bersama di luar akhir-akhir ini."
Hari hanya mengangguk dan turun dari mobil kemudian menggandeng tangan Kanglim menuju tangga yang memang tersedia untuk pengunjung bukit itu.
Sampai di puncaknya, matahari hampir terbenam. Hari menyeringai lebar, sudah lama ia tidak melihat sunset di luar.
"Ayo ke tepi!" ajak Hari langsung menarik tangan Kanglim ke tepi.
"Wah, indah sekali!" Hari merentangkan kedua tangannya, lalu memejamkan mata.
Setelah itu keduanya duduk di pinggir.
"Aku merindukan Gangnam." Hari tersenyum.
"Oh, kau tahu, Hari? Mungkin bukit ini juga tersambung dengan bukit di sana."
Hari mengernyit. "Sepertinya tidak."
"Kan kubilang mungkin."
Beberapa menit mereka menikmati sunset yang indah, Kanglim menggenggam tangan Hari.
Hari menoleh. "Ada apa?"
Kanglim tersenyum dan mengambil sesuatu dari sakunya.
Cincin.
Hari hanya melongo ketika cowok itu memasangkan cincin tersebut ke jari manis tangan kanannya.
"Will you marry me, Hari?" ucapnya sambil mengecup lama punggung tangan cewek di depannya itu.
Pipi Hari merona dan menepuk bahu Kanglim. "Kita sudah bertunangan, konyol!"
Kanglim terkekeh. "Tapi saat aku melamarmu, itu di hadapan keluarga. Aku ingin yang sedikit romantis."
Cowok itu mencabut bunga kecil yang ada di sampingnya, lalu menunjukannya pada Hari. "Aku ingin yang sedikit romantis," katanya mengulangi kalimat.
Hari menggeleng dan mengambil bunga itu. "Terkadang aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu, tapi yes, I will."
Kanglim langsung memeluk Hari girang. "Kau menerima lamaranku dua kali."
"Kau juga melamarku dua kali." Hari tertawa dan menepuk-nepuk punggung Kanglim.
Setelah melepas pelukan, Kanglim berkata, "Itu adalah cincin yang ingin kuberikan sejak lima tahun lalu, syukurlah masih muat di jarimu."
"Lalu cincin ini?" Hari menunjukkan tangan kirinya.
"Itu ibuku yang membelinya."
Hari menopangkan kepalanya ke bahu Kanglim. "Terima kasih."
"Hari."
"Hm?"
Kanglim menyeringai. "Berapa anak yang akan kita miliki nanti?"
Hari mencubit lengan Kanglim keras. "Au ah!"
"Aw, ya tak salah 'kan aku hanya bertanya."
"Tapi pertanyaanmu itu ambigu." Hari memejamkan matanya dan menyilangkan kedua tangan.
Diusap lembut rambut Hari. "Bagaimana jika lima?"
Hari menggeleng.
"Dua?" Hari diam.
"Baiklah, satu?"
Sekarang gadis itu mendongak. "Bodo amat!" Lalu kembali memejamkan mata.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Protect Me
Science FictionMakhluk memang sudah tidak mengganggu kehidupan Hari lagi. Walau begitu, nyatanya hidup gadis tersebut tetap terganggu oleh bedebah-bedebah sialan. Terlebih lagi, Kanglim sepertinya harus mengungkap sebuah rahasia besar tentang sebuah kelompok yang...