'Bos'

435 41 5
                                    


Setelah kejadian kemarin, Hari memutuskan untuk meminta Kanglim mengantarnya ke kampus. Bukan takut atau apa, tetapi kelima pria itu bisa saja menculik atau berbuat hal buruk lain jika Hari pergi sendiri.

"Aku pikir setelah aku ke Belanda saat itu, mereka sudah tidak ingat padaku lagi." Hari manyun sambil memandangi jalanan di depan.

"Kau masih ingat mereka, 'kan? Tentu mereka juga masih mengingatmu." Kanglim menggelengkan kepalanya pelan.

"Yah ... benar juga. Omong-omong, bagaimana kakimu?"

Diangkat salah satu kaki Kanglim oleh sang pemilik ke depan wajah Hari. Hari terkejut dan langsung menurunkan kaki itu.

"Uh, sembarangan sekali kau ini, kakimu bau! Juga, ini di dalam mobil," omelnya lantas mengganti stella yang menggantung di mobil.

"Wangi." Hari menghirup dan memejamkan matanya.

"Eh, kapan kau membelinya?" tanya Kanglim.

Hari mengambil kotak rias di tasnya.

"Kemarin aku sempat ke minimarket," jawabnya disahuti anggukan dari Kanglim.

"Ah .... Lihat ini, kering dan pecah-pecah." Hari mengusap bibirnya setelah melihat cermin. "Bibirku yang malang."

"Kau terlalu sering memakai liptint," cetus Kanglim.

Hari berdecak. "Itu, kan, agar bibirku tidak terlihat pucat. Juga, liptint lebih tahan lama dari lipstick."

"Hei, aku bahkan tak bisa membedakan keduanya."

"Iya, kau tak tahu apa-apa soal penampilan," ejek Hari sembari mengoleskan lagi liptint kesayangannya pada bibirnya yang sudah dibersihkan itu.

---

"Dia tidak ada di mana pun, Tuan."

"Sudah kubilang panggil aku 'Bos'!" murka pria itu.

"Tuan dan bos sama saja," celetuk salah satu anak buahnya.

"Akan tetapi, 'bos' lebih terkesan keren dan berkuasa."

Obrolan mereka diinterupsi oleh seseorang masuk ke ruangan gelap itu.

"Kau mencarinya di sana, padahal gadis itu ada di sini," ungkap orang itu.

Yang diajak berbicara menoleh. "Di mana dia?"

---

Hari keluar.

"Cepatlah pergi, aku yakin akan ada yang melirikmu," ucapnya memasukkan kepalanya ke jendela mobil.

Kanglim mengangguk dan memutar balik mobilnya, Hari melambaikan tangan dan masuk ke bangunan kampus.

"Mengapa aku memilih lanjut kuliah? Lebih baik kucari pekerjaan saja ketika lulus sarjana waktu itu." Hari mencerocos sembari terus berjalan di koridor, sampai dia menabrak seseorang.

"Ah, maaf." Hari menunduk pada orang itu lantas melanjutkan jalannya.

Yang tadi ditabrak menoleh, menatap Hari yang sudah berbelok.

"Dia orangnya?" gumamnya.

---

"Bagus sekali, makhluk ini bisa berbicara."

"Tentu saja, dia percobaan pertama yang berhasil," katanya bangga seraya menyeruput kopi hangat dari meja itu.

"Kalau kalian sudah selesai memujiku, apa bisa aku kembali pada pekerjaanku?"

"Lihatlah makhluk ini, dia pandai sekali," sahut salah satu pria lain.

Yang berkuasa berdiri. "Tentu saja, bersenang-senang dengan wanita adalah keahliannya. Kemudian, akulah yang menikmati hasilnya."

Ia menatap beberapa tabung besar berisi hybrid-hybrid percobaannya yang lain.

"Aku yakin ini akan meraup untung besar," tegasnya penuh percaya diri.

Salah satu kembali bertanya, "Apa mereka tidak mati di dalam tabung itu, Tuan?"

"Sudah kubilang, 'Bos'!"

"Ma-maaf, Bos."

Orang itu langsung menundukkan kepala, takut pada orang yang memiliki kasar tertinggi di hadapannya. Suasana hening sebentar.

"Tabung itu hanya penjara kaca bagi makhluk-makhluk itu. Tak mungkin kubiarkan mereka mati," jelas sang "Bos" kemudian yang memecah keheningan.

Kemudian dia berbalik, menunjuk beberapa asistennya. "Kalian kurung hasil yang gagal pada ruangan di sana, mungkin lain waktu bisa kucoba untuk membuat mereka menjadi lebih berguna."

Yang ditunjuk mengangguk dan bergegas pergi. Beberapa saat kemudian, seorang wanita berpakaian kesehatan masuk.

"Permisi, Bos."

"Iya?"

Wanita itu menghela napas dan menunduk. Dengan was-was ia berkata, "Salah satu 'ibu' kabur."

"Lalu apa lagi?! Cepat kejar dia!" bentaknya.

"Masalahnya—"

"Tidak ada alasan apapun, cepat kejar atau kau kubunuh sekarang!"

"Jika kau membunuhku, tak akan ada yang bisa membantumu menciptakan makhluk-makhluk itu."

Pria lawan bicaranya mendekat, sangat dekat hingga ia mundur satu langkah, menatap tajam mata sang wanita. Membuat wanita itu kembali menundukkan pandangan, bersiap jika dirinya akan ditampar atau dipukul.

"Kejar saja," perintah pria di hadapannya dengan penuh tekanan.

Protect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang