Makhluk memang sudah tidak mengganggu kehidupan Hari lagi. Walau begitu, nyatanya hidup gadis tersebut tetap terganggu oleh bedebah-bedebah sialan.
Terlebih lagi, Kanglim sepertinya harus mengungkap sebuah rahasia besar tentang sebuah kelompok yang...
Pulang dari kantor polisi, Hari segera memasukkan makanan yang tadi ia buat ke lemari pendingin.
"Untung masih enak. Aku tak sempat memasukkannya tadi karena buru-buru," ucapnya lega lalu membuat dua cangkir teh.
Perlahan Hari berjalan membawa kedua cangkir itu menuju Kanglim yang sudah duduk menunggu di dekat jendela kaca itu.
"Yuhu, teh datang!" soraknya girang dan meletakkan satu cangkir ke meja kecil di sana.
Hari duduk, meniup perlahan tehnya dan meneguknya dua kali. "Ah ... nikmat."
Kanglim yang sudah mengambil cangkirnya sendiri ikut menyeruput. "Benar, apalagi sekarang hawanya dingin."
Hari mengangguk setuju. "Aku penasaran mengapa musim sering berlalu begitu cepat." Diletakkan cangkirnya ke meja. Hari memijat kedua kakinya.
"Kau terkilir?"
Yang ditanya menggeleng. "Nyaman saja jika dipijat begini. Aku jarang memanjakan tubuhku akhir-akhir ini."
"Kasihan sekali kakimu."
Hari berdecak. "Kasihani saja kakimu yang masih luka itu," ucapnya.
Kanglim terkekeh dan membungkuk untuk membuka perban yang ada di kakinya. "Luka ini cepat sembuh."
"Untung saja tidak infeksi," sahut Hari.
Cowok itu kembali duduk tegak. "Entah. Duri itu kepunyaan hybrid hasil persilangan dari manusia dan hewan, yang pasti ada banyak obat tercampur."
Hari berhenti memijat kakinya dan menatap Kanglim lekat. "Jangan bilang kalau—"
Kanglim dengan cepat menggeleng. "Tidak ... tidak akan terjadi apa-apa padaku." Dia tersenyum.
Hari berdiri. "Ya sudah, obati saja lagi sampai benar-benar pulih."
"Sepertinya kau sangat khawatir, ya," ucap Kanglim menggoda seraya ikut berdiri.
Hari kembali menyeruput tehnya. "Terserah."
Setelah tegukan terakhir, Hari berkata, "Aku mau mandi, walau sedang dingin tubuhku rasanya gerah."
Kanglim mengangguk. "Aku juga akan mandi."
Hari sontak menggeleng dengan cepat. "Aku duluan."
Setelah itu dirinya berbalik dan berjalan menuju kamar mandi, tetapi Kanglim segera membopongnya ala bridal style.
Hari kaget dan mencubit lengan Kanglim. "Lepaskan, hei! Sudah kubilang aku duluan. Jangan bilang kau akan ikut denganku!"
Kanglim hanya tersenyum dan menunjuk arah bawah dengan matanya.
Hari menatap yang Kanglim tunjuk dan langsung melotot. "Aaaa!!!" Kedua tangannya sontak merangkul ke leher Kanglim dan merubah posisinya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kurang lebih ilustrasinya seperti itu deh ya.
"Kecoa! Bagaimana bisa kecoa masuk ke sini?!" teriak Hari ketakutan, lebih tepatnya geli melihat serangga itu berjalan bolak-balik di bawahnya.
Kanglim tertawa. "Padahal kau dahulu malah bermain-main dengan serangga, mengapa sekarang takut?"
Hari manyun, dia menepuk keras punggung Kanglim. "Itu 'kan dahulu!"
Kanglim menggeleng pelan lantas menurunkan Hari, tetapi gadis itu menggeleng dan malah semakin mengeratkan kedua tangannya.
"Turun dulu, biar kubuang kecoanya."
"Tidak mau, aku geli!" teriaknya lagi membuat Kanglim meringis karena Hari berbicara tepat di samping telinganya.
"Jangan teriak seperti itu, bisa pecah gendang telingaku."
Hari memeluk Kanglim erat. "Aku tak peduli, aku takut." Digerakkan kedua kakinya manja.
"Baiklah, tapi jangan bergerak begitu atau kita akan jatuh," ujar Kanglim mencoba menyeimbangkan.
Tapi Hari malah semakin menggerakkan kedua kakinya dan membuat keduanya jatuh ke depan.
Untung saja mereka jatuh ke kasur dengan posisi Hari di bawah, tentu.
FYI, vila ini itu ada dua lantai. Lantai bawah itu buat ruang tamu dan kamar mandi 1. Dan lantai atas gabungan dapur+kamar tidur+kamar mandi 2. So, kasurnya deket sama tempat KanglimHari biasa duduk liatin pemandangan keluar. Paham ya? Paham²in deh mweheh.
Mereka bertatapan lama sebelum Hari mendorong Kanglim.
Kemudian dia melirik ke lantai. "Kecoa itu pergi?"
Kanglim yang masih kaget pun mengangguk. "I-iya, sudah pergi."
Hari menghembuskan napas lega, lalu dirinya beranjak dan masuk ke kamar mandi. "Aku duluan. Jangan biarkan kecoanya masuk lagi!" peringatnya sambil menutup pintu.
Kanglim mengangguk dan memandang lantai. Kecoanya masih ada di sana, dan sepertinya tengah menatap cowok itu juga.
"Apa kau lihat-lihat?!" bentak Kanglim pada kecoa itu. Kecoa itu lantas berbalik dan masuk ke kolong ranjang.
"Huft, benar. Bagaimana bisa kecoa ini masuk?" Kanglim berkacak pinggang dan menggeleng.