Adik Ipar

265 39 7
                                    



Hari berjalan memasuki lorong bangunan kampusnya, sampai dia tersadar sepertinya ada orang lain di belakang.

Hari lantas menoleh, tetapi tidak ada siapa pun. Hari pikir itu hanya perasaannya saja, jadi ia melanjutkan langkah kakinya.

Sedangkan sebenarnya, memang ada seseorang yang mengikutinya. Namun, cowok itu berhasil mengelak dan bersembunyi ketika Hari menoleh.

"Sial, aku tertinggal," gerutunya seraya berlari kecil menyusul Hari yang sudah berbelok di sana.

Cowok itu mengerutkan alis. "Ke mana dia?" gumamnya karena tidak melihat Hari yang tadi ia ikuti di lorong tersebut. Hanya ada mahasiswa lain yang berlalu-lalang.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dari belakang. Cowok itu menengok dan seketika terkejut ketika melihat wajah Hari.

Hari tertawa melihat komuk si cowok. "Apa kau pikir aku tidak tahu kau sedang membuntutiku?" tanyanya yang masih merapatkan bibir menahan tawa.

Cowok tadi berdecak. "Nuna!" teriaknya sambil menghentak-hentakkan kaki.

Hari menggeleng dan mencubit gemas pipi cowok itu. "Duri ... kau ini sebenarnya mau apa kemari? Bukankah kau kuliah di luar Seoul?"

Cowok yang ternyata adalah Duri—adik Hari tersebut mengerucutkan bibir dan menepis tangan Hari. "Aku ingin mengawasimu!"

"Mengawasi apa? Oh, kau ingin mengawasi atau mencari modus dengan gadis-gadis cantik yang satu kampus denganku, huh?" Hari menaik turunkan alisnya dan tersenyum menggoda.

Duri melipat kedua tangannya di dada. "Dengar ya, Nuna," ucapnya sedikit berbisik pada Hari.

Hari mengangguk dan memasang kupingnya mendekati wajah Duri.

"Kau itu sebenarnya—"

"Gu Hari!"

Yang dipanggil menoleh ke asal suara. "Oh, Lee Minju!"

Gadis yang memanggil Hari tadi mengangguk, tersenyum, dan berlari menghampiri Hari serta Duri.

"Eh, siapa ini? Kekasihmu?" tanya Minju—teman satu jurusan Hari menatap Duri.

Hari terkekeh. "Bukan, dia adik yang pernah kuceritakan padamu."

"Oh ... ya ... tapi wajahnya seperti lebih dewasa ...." Minju mangut-mangut.

Duri yang tadinya tersenyum karena merasa akan dipuji ketampanannya seketika murung. Batinnya kecewa, tak sesuai harapannya.

Hari sontak tertawa. "Dia memang terlihat lebih tua dariku ... ututu, lihat wajahnya yang dulu seperti bayi ini bahkan sudah tumbuh jerawat," ujarnya mencubit kembali kedua pipi Duri.

"Ah, Nuna!" Duri tambah merengut dan menurunkan kedua tangan Hari.

Minju tertawa kecil. "Tapi kau tampan juga," ucapnya.

Hari berdeham pelan dan menggandeng Minju berjalan menuju kelas mereka.

Sebelum pergi, Minju mengedipkan satu mata pada Duri dan menjatuhkan sesuatu, lalu tertawa bersama Hari.

Duri yang pipinya bersemu langsung mengerjapkan matanya dan menampar dirinya sendiri. "Aigoo, Duri! Kau ini kenapa, ayo fokus pada pengawalan Hari nuna!" Kemudian  ia berjalan ke depan, tetapi langkahnya terhenti karena melihat kertas kecil di lantai. Itu kertas yang tadi Minju sengaja jatuhkan.

Duri memungutnya dan membaca tulisan yang tertera,

Lee Minju, (+82)xxxx

Setelahnya Duri tertegun sesaat. "Apa dia serius tertarik padaku?"

Sedangkan di sini, Hari dan Minju yang masih tertawa berbincang-bincang random.

"Eh, apa adikku itu akan menghubungimu?" tanya Hari.

Minju mengangguk yakin. "Aku tahu dia tertarik padaku juga, lihat saja nanti."

"Lumayan lah, dia itu jomblo karatan, kasihan sekali." Hari menggeleng kasihan.

Minju menggenggam tangan Hari dengan kedua tangannya, lalu menunduk. "Izinkan aku untuk menjadi adik iparmu, Nona Gu."

Hari tertawa lagi dan mengangguk. "Kutunggu konfirmasi resminya nanti."

---

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan ... delapan saja?"

Wanita itu mengangguk hormat. "Sebagian besar gagal".

Pria itu berdecak. "Apa makhluk itu melakukan pekerjaannya dengan tidak benar?"

Sebelum wanita tadi menjawab, terdengar suara yang memotongnya.

"Kenapa kau menyalahkanku? Jika kau mau, kau saja sendiri yang mengerjakannya."

"Kalau aku sebangsamu, aku pasti akan melakukannya sendiri." Pria tersebut tersenyum kecut. "Bermain dengan mereka itu menyenangkan."

"Jika begitu kenapa kau tidak menjadi sepertiku saja?"

"Kau pikir aku lahir dari persilangan hewan berduri itu dengan manusia sepertimu?!" bentak si pria.

Hybrid tadi berdecih. "Cih, sayangnya kau tidak bisa membuat sebuah ramuan atau apapun itu yang bisa membuat manusia asli menjadi sebangsaku."

Pria tersebut berhenti mengeluarkan emosinya dan berpikir. "Tunggu dulu ... sepertinya itu ide bagus. Tapi, apa profesor itu bisa melakukannya?"

Diambil satu batang rokok dari tempatnya.

"Hei, itu rokok milikku!" teriak si pria.

Hybrid tadi tersenyum sinis. "Aku yang sudah bekerja keras."

"Aku yang menciptakanmu," timbal pria itu lagi.

Hybrid tersebut melempar rokok yang ia pegang beserta bungkusnya. "Rakus sekali."

Pria tadi menangkap rokoknya dan berdecak. "Cih, tak kusangka membuat makhluk sepertimu bisa bicara ternyata sangat meresahkan."

***

Protect MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang