sebuah tarian yang tak kunjung selesai; hrky

1.6K 36 0
                                    

baru seminggu.

rasanya sudah kelewat hampa. tak ada sapaan pagi hari, tak ada pesan pesan penuh cinta dan perhatian. tak ada, semuanya hilang.

mungkin haruto kecewa, pikirnya. junkyu berusaha menguatkan diri, cepat atau lambat fase ini akan datang. fase dimana ia dan haruto akan jadi orang asing — lagi.

kamarnya yang dulu sempat ramai oleh gelak tawa juga pekik murka, kini sepi dan dingin. rasanya aneh, sangat aneh.

bisa dibilang junkyu terbiasa dengan semua perlakuan haruto — baik maupun buruk. kemudia sadar kalau mereka sangat tidak sehat. alih alih mendapat caci maki harusnya mereka bisa lebih dewasa.

mereka dulu bahagia.

tanpa pesan pesan penuh curiga, tanpa pikir pikiran pesimis, tanpa teriakan teriakan muak. mereka dulu baik baik saja.

masih ada seminggu lagi yang harus junkyu jalani. sedikit rasa sesal memutuskan untuk istirahat dari hubungan mereka. junkyu harap apa yang ia lakukan adalah benar.

“kyu,”

junkyu tersentak, menoleh kearah pintu kamarnya. jisung berdiri disana. “hai?”

“lo… gapapa?”

senyum junkyu meluntur, air mukanya kembali keruh. matanya mulai mengembun, kepalanya menggeleng kencang. “nggak, ji… aku nggak pernah baik baik aja…”

jisung segera mendatangi sahabatnya, membiarkan junkyu menangis sambil memeluk pinggangnya.

“kyu, kalau lo mau cerita, boleh.”

junkyu masih terisak diatas kemeja biru muda yang jisung kenakan hari ini. “ji.. i love him, i really do. tapi kenapa ji? kenapa semuanya jadi berantakan begini?”

“lo pernah nanya ke dia?”

junkyu menggeleng, “dia nggak pernah cerita. gue juga nggak mau tanya sebelum dia cerita sendiri.”

“kyu, nggak bisa gitu… kalian harus jujur. sama diri sendiri, satu sama lain.”

“gue nggak tau, ji. gue nggak tau apa apa.” junkyu masih terisak, “gue nggak tau harus gimana lagi.”

jisung masih diam, geram pada haruto. tangannya mengelus rambut coklat madu milik sahabatnya.

“gue selalu berusaha jadi pacar yang dia mau, percaya sama dia, percaya sama omongannya, percaya kalau yang dia mau itu baik buat gue. tapi kalau gini… apa gue masih harus percaya?”

“kyu, gue tau lo capek. tapi coba, bertahan sebulan. cuma sebulan. setelah itu terserah lo mau lanjut,

— atau mau selesai.”

















minggu kedua,

haruto rasanya hilang arah. senyum gemas dan tawa yang biasa mengudara didalam mobil tak lagi ada disana.

berkali kali haruto menoleh ke kursi penumpang yang selalu kosong hampir dua minggu. tempat yang selalu diisi oleh pusat dunianya.

setiap ia sadar kursi itu kosong, air mata selalu berkumpul di pelupuk matanya. haruto selalu ingin menangis mengingat pertengkaran hebat mereka di mobil kala itu. wajah kacau dan putus asa junkyu berputar di kepalanya bak kaset rusak. rasa sesal yang sesak pun tak mau pergi.

haruto selalu takut,

ia takut untuk kehilangan.

“hei.”

“hei.”

“lo.. gapapa?”

nyatanya, haruto sama hancurnya.

; antologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang