doyoung as deon lazuardi, haruto as haruto danadyaksa
cisarua, bogor. tahun 2012
deon sudah beberapa kali mengintip malu malu pemuda blasteran jawa barat dan jepang itu. kata orang orang namanya haruto danadyaksa. sejak hari pertama jambore ini dimulai, si tampan itu sudah jadi topik utama. dan hari kedua, semua orang sudah tau letak tenda dan nama lengkapnya.
yang membuat deon makin naksir pada pemuda itu, dia sangat baik. deon sering melihat haruto beberapa kali membantu peserta yang bukan dari kelompoknya.
entah kebetulan apa, ia dan haruto sama sama duduk di pinggir sungai mencuci beberapa alat masak. keduanya sama sama bungkam karena memang belum pernah berkenalan secara resmi.
“hei,”
deon terkejut, gelas yang ia pegang terlepas dan hanyut terbawa arus sungai. haruto segera berdiri dan mengejar gelas itu, apalagi gelas ini cuma gelas plastik yang mudah terbawa air.
tak sampai lima menit ia kembali dengan lengan dan kaki yang basah, “maaf.” katanya. “aku haruto danadyaksa, kamu?”
“deon lazuardi.” cicit deon, “maaf bajumu basah.”
“nggak masalah, aku juga yang bikin hanyut gelasnya.” katanya lalu tersenyum kecil, “kamu lucu ya? anak regu ku pada tinggi-tinggi.” tangan haruto bergerak mengusak pelan rambut milik deon. yang membuat si lazuardi berjengit.
dibawah sinar matahari sore, dan suara riak air sungai. mereka tau kalau mereka jatuh cinta.
sudah hampir malam dan sekarang adalah waktu kosong, deon dan haruto berjanji untuk keluar dari tenda untuk duduk duduk di sisi lapangan yang agak jauh dari area tenda. deon tau kalau haruto memiliki perasaan lebih padanya, pun haruto. tapi mereka memutuskan untuk tidak membahasnya.
mereka berusaha menjauhi orang orang. duduk berdua diatas batu, menatap langit cisarua yang bersih dan bertabur bintang gemerlapan.
“deon,”
“hm?”
“menurutmu kita bakal ketemu lagi nggak?”
“aku nggak tau, haru.” kata deon, “biar tuhan yang atur itu.”
haruto perlahan menarik kepala deon untuk bersandar ke bahunya, menghirup dalam dalam harum shampo yang deon pakai sore tadi. “deon, aku boleh egois?”
“haru...”
“deon, bisa nggak sih kita bersama?”
hening sejenak, “aku nggak tau jawabannya, haruto.”
haruto melepas kalungny yang berbentuk bulan dengan ukiran huruf H diatasnya. kemudian memasangkannya ke leher deon, menyandarkan kepalanya ke bahu yang lebih tua. “suatu saat nanti, cari aku dengan kalung ini. bagaimana caranya, biar semesta yang atur.”
deon bisa merasakan seragam coklat khas pramukanya basah di bagian bahu. ia tidak tau kenapa haruto menangis, tapi menyadari fakta bahwa mereka mungkin tidak akan bertemu lagi juga membuat matanya memanas.
“aku percaya kita bakal ketemu lagi.”
malam api unggun sekaligus malam penutupan adalah kegiatan yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh peserta jambore. deon dan haruto tadinya pun menunggu-nunggu kegiatan ini. tapi kini keduanya berharap jambore ini tidak berakhir.
para pembawa api unggun mulai memasuki area, melakukan satu persatu urutan prosedur api unggun. deon menatap kosong api yang mulai menjalar membakar kayu kayu yang disusun menjadi kerucut itu.
rasanya kayu kayu yang dilahap api itu sama menyedihkannya dengan dirinya.
haruto yang regunya duduk tidak jauh dari regu deon menatap diam diam pemuda itu, haruto bisa lihat patah hati dan kesedihan didalam manik yang memantulkan cahaya api unggun itu.
tak lama regu haruto dipanggil untuk menampilkan pertunjukan seni mereka. begitu selesai haruto mengendap endap agar bisa duduk disebelah deon yang duduk di bagian terluar lingkaran para peserta jambore.
deon bersumpah bahwa haruto terlihat seribu kali lebih berkarisma dengan seragam pramuka lengkapnya.
setelah menyampirkan hasduknya ke bahu, haruto duduk disebelah deon yang masih melamun menatap api unggun.
“deon?”
“ya?”
haruto menggeleng, menautkan jemari mereka diam diam, menyembunyikannya. deon menatapnya dengan wajah terkejut dan takut—takut kalau kalau ada orang yang melihat tangan mereka yang saling menggenggam.
deon berusaha melepas tangannya, “haruto, lepas—”
haruto meremat lembut tangan deon, “sebentar saja, aku mohon.” pintanya sambil berbisik, deon mengangguk. membuat haruto tersenyum, jemarinya bergerak mengelus buku buku jari dan punggung tangan deon.
“aku nggak mau lepas tangan ini, sampai kapanpun.”
pertemuan mereka malam itu, menjadi pertemuan mereka yang terakhir.
epilog
jakarta, tahun 2021
deon menatap pantulan dirinya di cermin wastafel, tangannya menyentuh liontin berbentuk bulan pemberian si danadyaksa. ia rindu, tapi pencariannya tak pernah menunjukkan jalan pada sang pemuda danadyaksa.
sampai dua tahun yang lalu, tepatnya 2019. deon menyerah, ia menyerah akan cinta pertamanya.
mungkin satu satunya yang bisa ia miliki dari haruto danadyaksa adalah kenangan mereka dan liontin bulan itu.
“deon?”
“hai, jaka. kenapa?”
deon berbalik kemudian mendatangi tunangannya itu, merangsek ke rangkulan yang lebih tua.
“ada yang cari kamu di depan.”
“siapa?”
“nggak tau, aku nggak kenal.” kata jakarta. “temuin aja gih, kayaknya teman lama kamu.”
deon mengernyit bingung, kemudian mengikuti tunangannya ke ruang tamu apartemen mereka.
belum sampai di ruang tamu deon terpaku, haruto disana—duduk di sofanya. tatapan matanya jatuh ke cincin pertunangannya dengan jakarta.
“hai, deon?”