Rangkaian 3

1K 133 10
                                    

Uwaw, ketemu lagi sama mimin yang tamvan.

Okay, SDC sudah diputuskan akan update seminggu 2x, hari Selasa dan Minggu. senang kan kalian?

Dibab selanjutnya sudah bersemi kebawangan, kini kita lanjutkan lagi berbawangan itu. Meluncur~

 Meluncur~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

« 3 »

Prang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prang

Suara barang-barang dibanting terdengar dari dalam kediaman Anta. Mendengarnya, Cakra refleks berhenti, seperti ada angin dingin yang ditiupkan kearah tubuhnya, ia gemetar dalam gigil, kalau sampai dia masuk sudah dipastikan Anta akan menjadikan Cakra sebagai objek pelampiasan amarah. Namun, semakin telat dia pulang, Anta akan semakin marah. Haruskah hidupnya terus seperti ini?

Tangannya yang gemetar membuka pintu perlahan dan menggumamkan salam.

Prang

Lagi, suara itu yang terdengar. Tuhan tolong Cakra! Panjatnya dalam hati. Berharap Tuhan akan menyelamatkannya kali ini.

Melihat Anta yang sadar dengan kedatangannya, Cakra pun tersentak kaget sampai dia refleks mundur satu langkah. Namun, ketakutannya menjadi sebuah kelegaan saat Anta tidak melakukan apapun dan berlalu begitu saja melewati Cakra, keluar dari rumah dan meninggalkan suara debuman keras akibat pintu yang dibanting.

Menghela napas lega, Cakra pun segera membereskan kekacauan akibat ulah ayahnya. Pecahan kaca, dan beberapa benda yang tergeletak tidak pada tempatnya. Dengan tubuh yang sudah lelah, dia pun membereskan semua itu sendirian. Ya, siapa lagi kalau bukan dirinya, dia satu-satunya orang yang berada di rumah itu.

Selesai membereskan semua kekacauan itu, Cakra pergi ke kamarnya. Dia menatap foto keluarganya yang masih dia simpan diam-diam. Tangannya terulur menyentuh gambar wanita yang begitu mirip dengan saudaranya. "Ma, Cakra kangen mama. Cakra pengen peluk mama, Cakra~" Cakra tidak melanjutkan kata-katanya, dia menyimpan kembali foto itu. Kemudian teringat kalau ia harus beranjak keluar untuk belanja kebutuhan sehari-hari yang sudah menipis.

Dia mengayuh sepedanya menerjang dinginnya malam, angin malam yang berhamburan mencubiti kulitnya, membuatnya sesekali menggosok lengannya yang hanya berbalut kemeja. Jarak rumah dengan supermarket cukup jauh, namun Cakra sudah biasa pergi dengan sepeda gunungnya itu.

Samudra Dan CakrawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang