Shinichi menunggu nada dering. Ini sudah ketiga kalinya. Dua panggilan pertama, Shiho tidak menjawab. Namun Shinichi tidak mau tahu, ia akan terus menelpon sampai Shiho mengangkat tidak peduli seberapa sibuknya dia. Sudah beberapa hari Shiho tidak memberi kabar, Shinichi merasa sudah cukup waktunya bagi Shiho untuk ngambek dan cemburu.
"Halo Shiho?" panggil Shinichi ketika sambungannya terangkat.
"Maaf, ini Tuan Kudo?" kata suara di seberang.
"Eh? Ya benar, Kudo Shinichi di sini," Shinichi bingung, suara wanita yang berbeda yang menjawab handphone Shiho.
"Begini Kudo-San. Saat ini kami ingin memberitahukan, Profesor Shiho sedang tidak dapat menerima panggilan untuk sementara waktu,"
"Apa? Kenapa?"
"Sekarang Profesor Shiho sedang dirawat di ruangan intensif karena positif Covid,"
"Apa?!" Shinichi terhenyak.
"Sebelum terinfeksi, Profesor Shiho telah menemukan formula untuk pengobatannya, kami sedang memeriksa semua catatan Hakase untuk meramunya,"
Shinichi gemas, "Sekarang bagaimana keadaannya? Apa dia sadar?"
"Hakase tidak sadar dan dipasang ventilator di ruang ICU, kami terus memantau kondisinya dengan ketat,"
"Apa bisa menerima kunjungan?"
"Maaf sekali Kudo-San. Hakase sedang di ruangan isolasi dan tidak diperbolehkan menerima kunjungan dari luar karena virus ini sangat mudah menular,"
Shinichi memejamkan matanya pasrah, "Baiklah, tolong kabarkan terus kondisinya,"
"Pasti,"
"Terima kasih,"
Setelah memutus sambungan, Shinichi menyandarkan keningnya di dinding. Merasa sangat terpukul. Terbayang wajah Shiho pada saat koma tujuh tahun lalu, saat itu Shiho juga mengenakan ventilator. Kini kejadian itu terulang kembali, Shihonya berada diantara hidup dan mati. Namun kali ini Shinichi tidak berdaya, ia tidak bisa mendampingi maupun menggenggam tangan Shiho.
Shiho... Aku mohon bertahanlah...
***
Ting! Tong! Terdengar suara bel rumah.
Shinichi membukakan pintu dan melihat Ran yang tersenyum di hadapannya.
"Ran..."
"Bagaimana Ai-Chan? Masih ngambek?"
"Tidak apa-apa, kami sudah baikan,"
"Baguslah. Bagaimana kalau hari ini kumasakan nasi kari?"
Shinichi menggeser tubuhnya, secara halus memberi tanda agar Ran tidak memasuki rumah.
"Eh?" Ran memandangnya.
"Terima kasih atas bantuanmu selama ini Ran, tapi maaf aku dan Ai tidak bisa menerima kebaikanmu lebih jauh," tolak Shinichi sebisa mungkin tidak menyinggung Ran.
"Eh kenapa? Aku senang melakukannya kok,"
"Aku sudah menikah, Ran,"
Ran membeku.
"Aku sudah menikah dan memiliki seorang putri. Shiho sedang tidak di rumah dan kau yang masih lajang kemari setiap hari, aku rasa itu bukan hal yang pantas. Walaupun kita berteman dan tidak melakukan hal yang buruk, tetap saja hal ini tidak sesuai dengan norma kesopanan. Aku masih menghormati istriku Shiho,"
Ran tertunduk, "Kau... Sangat menyayangi Shiho ya..."
"Tujuh tahun membina rumah tangga bukan hal yang mudah," kata Shinichi menerawang, "Awalnya aku juga mengira hanya bertanggung jawab saja, memberi status pada Shiho dan anak kami sudah cukup. Meski aku tidak mencintainya pada saat itu, tapi memperlakukan dia sebagai partner kerjaku yang biasa sepertinya juga tidak masalah. Tapi rupanya aku tak bisa...
"Shiho berada di titik terendah hidupnya, begitu lemah dan depresi. Aku tidak bisa tidak peduli, aku tidak bisa diam saja," Shinichi mengepalkan tangannya ketika mengingat masa-masa berat itu, tubuh Shiho yang gemetaran ketika muntah dan menangis seorang diri di kamar mandi, "Puncaknya ketika Shiho mengalami koma setelah melahirkan..."
Ran terkesiap, "K-Koma?"
"Eh," Shinichi mengangguk.
Kejadian yang dialami Shiho membuat Shinichi mengutuki para pria di dunia ini yang menghamili wanita seenaknya tanpa bertanggung jawab. Betapa melahirkan tidak mudah dan taruhannya adalah nyawa. Batas hidup dan mati begitu tipis.
"Shiho menderita guillain barre syndrome, hingga ia koma selama tiga bulan," Shinichi memberitahu.
Ran menutup mulut dengan tangannya. Ia tidak pernah mengetahui hal ini, karena saat itu ia masih berada di pedalaman untuk mengajar. Sengaja menutup diri dari dunia untuk menyembuhkan patah hatinya.
"Setelah sadar dari koma, Shiho mengalami kelumpuhan seluruh tubuh dan masih harus menjalani terapi yang panjang," lanjut Shinichi, "Melihat penderitaannya, sulit rasanya untuk tidak melibatkan emosiku. Aku bertekad untuk melindunginya. Sejak saat itu aku menyadari, sebuah pernikahan bukan hanya tentang status tapi aku menyerahkan seluruh hidupku seutuhnya,"
"Aku mengerti. Melihat Shiho begitu hebat sekarang, aku yakin semua tidak lepas dari dukunganmu terhadapnya,"
Shinichi menggeleng, "Tanpa bantuannya, aku juga bukan apa-apa,"
Ran menghela napas, menegarkan dirinya. Dalam hati menyalahkan kebodohannya sendiri, ia mengakui sengaja memanfaatkan kekosongan Shinichi untuk bernostalgia mengenai masa lalu. Ia merasa malu. Tujuh tahun bersama, tentu banyak hal yang dapat terjadi diantara Shinichi dan Shiho.
"Semoga saja riset Shiho berhasil agar pandemi ini berakhir dan dia bisa segera pulang," ujar Ran dengan senyuman simpati.
"Arigatou Ran,"
"Aku mendoakan kebahagiaanmu dan Shiho," ucap Ran tulus.
"Kau juga Ran. Kau adalah sahabat terbaikku. Aku berharap kau juga menemukan kebahagiaanmu,"
Mereka akhirnya bersalaman sebagai seorang sahabat. Shinichi melihatnya keluar gerbang sebelum ia masuk ke dalam rumah. Putrinya dan Profesor Agasa sedang masak di dapur.
"Ah Otosan! Karinya sudah matang!" kata Ai yang berdiri dekat panci besar.
"Sepertinya lezat!" Profesor Agasa melongok ke panci dengan wajah penuh minat.
Hingga detik ini, Ai belum tahu perihal Shiho sakit. Shinichi menguatkan dirinya untuk tetap tegar dan tersenyum. Ternyata beginilah tugas seorang ayah.
"Ah! Ayo kita makan!" sahut Shinichi riang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married By Accident
FanfictionFanfic ShinShi/CoAi versi ini yang paling menguras airmata Pipi Tembam dalam proses penulisannya. Monggo disiapkan tisunya. Mengandung bawang apalagi kalo bacanya sambil denger lagu sedih. Detective Conan milik Aoyama Gosho! Selamat membaca n baper!