EXTRA CHAPTER

279 22 1
                                    

Gladis POV

Juna pernah bilang, jangan pernah tinggalin anak-anak sendirian. Karena aku masih punya sifat ceroboh dan teledor, aku melupakan janjiku padanya.

Hari itu, aku kewalahan memasak sesuatu untuk ulang tahun Juna, aku mencoba menepati janjiku membuat makanan kesukaannya. Di samping itu, Aksa sedang rewel sekali, badannya sedikit panas, dan abangnya—Arka sedang suka bolak-balik tengkurap. Meski hanya tengkurap, belum ke mana-mana.

Juna sedang mandi. Sementara di bawah, aku sedang memasak di kompor, kutinggal.

"Arka, Bunda ke dapur dulu, ya, Nak." Kuusap pipinya, anak itu merespon dengan senyuman.

Aku terpaksa meninggalkan Arka sendirian karena Aksa tidak mau tidur dan bermain bersama kakaknya. Jadi aku menggendongnya di belakang punggungku dan kuajak ke dapur.

Kejadiannya benar-benar cepat. Aku mendengar suara benda jatuh, agak keras. buru-buru aku mematikan kompor dan berlari ke kamar atas.

Arka menangis, menangis kuat. Ia jatuh dari ranjang dan terjun ke karpet berbulu. Karpetnya sudah kuganti dengan yang lebih tebal, tapi tetap saja aku khawatir. Ternyata, aku lupa memberi bantal pada sisi kanan dan kiri anakku, ditambah lagi posisi Arka yang ada di pinggir.

Ia sudah ada di gendongan ayahnya. Juna sampai mengecek bagian tubuh Arka berkali-kali, takut ada yang terbentur atau apa, dan fokusnya pada bagian kepala.

"Juna, tadi aku—"

"Gila, ya kamu?!" Juna kalau sudah marah, tidak tanggung-tanggung. "Ke mana aja, sampai bisa jatuh begini?"

"Aku tadi—"

Juna tidak membiarkan aku bicara, sedikit pun.

Ia berbalik badan, berjalan cepat keluar kamar, entah ke mana. Alih-alih memberikan Arka yang masih menangis ke aku, dia justru pergi membawa anakku entah ke mana. Aku merasa sangat bersalah, bahkan sekarang air mataku meluruh.

Aku ingin menyusulnya ketika sudah berhasil menurunkan Aksa dari gendongan, tapi kalah cepat dengan pintu yang terbuka. Arka sudah berhenti menangis, meski masih terdengar sesenggukan. Juna tidak bicara, ia langsung memberikan Arka padaku.

"Maaf-maaf, maafin Bunda, ya." Aku tidak berhenti mencium pipinya.

Rasa bersalahku mulai tumbuh besar ketika kulihat ada memar di lutut bagian kanan. "Sakit, ya, Nak?" Aku mulai berkaca-kaca.

"Kamu tadi ngapain? Kenapa bisa ninggalin Arka sendirian?" tanya Juna, datar.

"Aku belum matiin kompor."

Aku dengar Juna menghela napas, sebelum membuka laci dan mengeluarkan salep. Ia berjongkok di depanku, mengoleskan salep pada luka memar Arka. Sekarang anaknya sedang menyusu padaku, kuat sekali, bahkan matanya mulai terpejam. Mungkin lelah juga menangis sampai sesenggukan.

"Juna," panggilku lirih.

"Hm?"

"Kamu marah?"

Juna diam.

"Kamu marah sama aku?"

Juna diam lagi.

"Kok diam, sih. Kamu marah?"

Aku memang cengeng, jadi aku menangis ketika Juna mendiamkanku. Aku teledor, sudah membahayakan anakku tadi.

Melihat Aksa yang ditidurkan di sebelah kami, Juna langsung berdiri dan membawaku ke pelukannya. Mimik anak bungsuku sudah berubah, percaya atau tidak, Aksa sangat sensitif dengan suara tangisan. Mungkin itu juga alasan Juna membawa Arka keluar tadi—tidak mau membuat yang satunya menangis.

"Udah, diam."

"Maafin aku, Juna. Maaf."

"Iya-iya. Arka lagi tidur, nanti bangun."

Juna berusaha membuatku tenang. Sampai aku sendiri yang memilih lepas dari dekapan Juna dan menatap Arka yang sudah tertidur pulas. Kuusap bawah matanya, sebelum mencium sekali lagi pipi gembil putra sulungku.

"Lain kali dilihat, udah dikasih pembatas atau belum. Dia tadi nggak jatuh, aku tangkap pas dia mau terjun ke bawah. Untung, aku lihat."

Aku mengusap sisa air mataku. "Tadi aku dengar suara dia jatuh."

"Aku nyenggol lampu." Juna menunjuk lampu kamar di samping meja rias.

"Terus kalau dia nggak jatuh, kenapa bisa memar begini? Kamu jangan bohong, aku makin merasa salah."

Kudengar Juna menghela napas lagi. "Dia kena pinggir ranjang, makanya nangis."

Aku memperhatikan wajah damai Arka ketika tidur. Lega tidak ada apa-apa, tapi aku memang bersalah karena meninggalkannya sendirian tanpa pembatas di kanan kiri ranjang.

"Maafin aku."

"Kalau nggak ada aku, kamu jangan kayak gini!" Dia mengusap pipiku. "Bikin jantungan aja, Dis, Dis."

Iya, aku juga merasa jantungan.

Perbincangan kami harus teralihkan dengan suara menggeram rendah dari ranjang. Aku lupa, Aksa masih bangung. Dari tadi tidak diajak bicara dan diperhatikan, dia mengeluarkan suara bayi seperti mengomel. Jujur saja, Aksa mirip dengan aku, dia tidak suka diabaikan.

PR-ku tinggal satu, menidurkan Aksara.

_____

Annyeong!

Sedikit bocoran untuk bonus ektra chapter 😊

Pre-Order Ebook Trouble After Marriage dibuka tanggal 20-26 Juli 2021

Ebook kira-kira ada 300 halaman dengan 10+ part tambahan yang nggak ada di versi wattpad.

Ditambah, bonus ektra chapter keseruan Gladis dan Juna pas ngurus anak-anak mereka. Bonusnya dibuat terpisah, jadi kalau kalian pesan, ada dua ebook yang bakal masuk ke email kalian.

Ditambah, ada dua ebook lain dari beberapa tokoh di novel TroubleMaker Girl. Bisa jadi kisah Bella, Anya, Dera, Dandi, Tristan, atau Zildan. Nggak menutup kemungkinan ada bonus lain yang aku kasih buat kalian. Pantengin aja, ya :)

Dijamin kalian nggak akan menyesal.

Pricelist dan beberapa bonus + metode pembayaran akan aku share bertahap di lapak ini.

Masih ada waktu buat nabung, ya gaes.
Jangan sampai kalian nyesel karena nggak ikut PO.


Salam manis💨

Oktavia

Trouble After Marriage (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang