🖇 H A P P Y R E A D I N G 🖇
_____
Suara knop pintu yang diputar, membuat seorang wanita dengan gaun putih gading yang masih melekat di tubuh rampingnya, berjengit. Derap langkah dari belakang tubuhnya dan lengan yang kemudian melingkar di sekitar perut, membuatnya semakin gugup.
"Aku kira kamu udah ganti baju," suara berat itu seperti gema di telinga Gladis.
"Belum," jawab Gladis. "Boleh minta tolong, nggak?"
"Apa, sayang?"
Gladis memutar tubuhnya menghadap Juna. Ia mendongak untuk menatap wajah laki-laki yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya itu, lalu meringis. Rasanya, masih begitu canggung, padahal saat mereka masih pacaran tidak seperti sekarang.
"Kenapa, Dis?" Juna terkekeh.
Melihat pipi Gladis yang bersemu merah membuat Juna tidak bisa menahan tawa. Gemas, ia sampai mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Gladis yang menghangat.
"Heran, kita bisa sekamar." Gladis menggembungkan pipinya, lalu menggenggam jemari Juna yang masih ada di pipi.
Bernapas lega, Gladis melepas dasi yang masih bertengger di leher Juna. Menariknya, dan melepas dua kancing teratas Juna. Seperti ini lebih baik, daripada melihat lelaki itu seperti tercekik karena harus memakai dasi seharian.
"Heran, kamu istri aku sekarang," sambung Juna. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari wajah manis Gladis yang terlihat bertambah manis karena riasan.
"Aneh, aku gugup sekarang. Masih speechlees aja kamu di sini, sama aku." Gladis meremas gaunnya.
Juna tertawa pelan, sebelum akhirnya berjongkok di depan Gladis yang duduk di kursi riasnya. Lega sekali hari ini, acara akad berjalan lancar, dan resepsi juga begitu. Meski lelah, Juna dan Gladis merasa begitu senang dan bahagia melihat banyaknya tamu undangan yang datang dan memberi mereka selamat.
Sebenarnya, di bawah masih ada acara dansa. Tapi, Juna memilih untuk menemui Gladis yang sudah pergi ke kamar duluan karena terlihat lelah.
"Bersih-bersih sana, terus tidur." Juna mengusap bahu Gladis, sebelum berdiri dan melepas jas hitamnya.
"Juna, tadi 'kan aku mau minta tolong ke kamu," celetuk Gladis, menoleh pada suaminya yang sudah terduduk di tepi ranjang.
"Apa?"
"Aku—aku nggak bisa buka resleting gaunku," kata Gladis malu-malu.
Ini rupanya, masalahnya. "Kenapa nggak bilang dari tadi?"
"Aku malu, tahu."
"Udah sah juga ini, bilang aja." Juna berjalan pelan menuju Gladis, membuka resleting belakang gaunnya lalu membiarkan wanita itu berjalan menuju kamar mandi.
Juna tidak berhenti tersenyum sepanjang malam, merasa begitu bahagia karena memiliki Gladis sepenuhnya.
__________
Masih di rumah Gladis.
Juna keluar dari kamar Gladis setelah mandi, ia dapat mendengar gelak tawa dari ruang makan yang jaraknya tidak jauh dari undakan tangga menuju lantai dua. Tebakkan lelaki itu tidak salah, semua orang yang ada di meja makan tertawa karena Athaya—adiknya, sedang bicara.
Adik perempuannya itu hampir mirip dengan Gladis jika sudah berbicara. Ramainya melebihi ibu-ibu komplek yang sedang berbelanja di pasar.
"Lagi ngomongin apa, sih?" Juna mencubit pipi Athaya sekilas, lalu duduk di sebelah adiknya.
"Udah bangun, Juna? Baru aja Mama mau suruh Gladis bangunin kamu." Mama Sarah menyodorkan piring berisikan nasi pada Juna.
Sementara Juna menoleh ke dapur, mencari sosok istrinya yang tidak kelihatan bergabung di meja makan.
"Cari Gladis?" tanya Mama.
Baru saja ingin menjawab, Gladis sudah berjalan menuju meja makan, membawa piring besar berisi ayam goreng krispy kesukaan Athaya.
"Nih, buat Aya." Gladis menaruh ayam goreng paling besar di piring gadis itu, lalu tersenyum.
"Ayo makan Gladis," ajak Papa Gala.
Gladis mengangguk, lalu duduk di sebelah Juna yang sudah menyodorkan piringnya—minta diisi lauk. Sarapan jadi lebih hidup karena ada keluarga Juna sebagai tambahan.
__________
Sudah setengah jam, Gladis berkutat dengan tumpukkan kado di kamarnya—kado pernikahannya dengan Juna. Seperti tidak ada habisnya kado itu untuk dibuka, masih terlalu banyak, bertumpuk-tumpuk dan membuat kamar terlihat berantakan.
"Biar dibuka Atha aja, Dis. Aku capek lihat kamu dari tadi nggak bisa diam," kata Juna.
Gladis berdecak, ia menyerah saja. Pada akhirnya ia berpikir Juna ada benarnya karena ini sangat melelahkan, bisa saja dia meminta bantuan Mama atau Athaya nanti untuk membukanya. Lagi pula, sebagian dari kado ini juga tidak akan digunakan Gladis dalam waktu dekat.
"Kamu belum selesai?" Gladis menoleh pada Juna yang masih berkutat dengan laptop.
"Sebentar lagi," jawab Juna.
Gladis mengangguk sekilas. Sebelum akhirnya ikut duduk di sebelah Juna di sofa, lalu menyalakan televisi agar tidak terlalu hening.
"Mau tidur siang?" Juna menoleh pada Gladis yang menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.
"Mau nonton drakor."
"Drakor terus, kurang-kurangin nonton kayak gitu, udah punya suami kamu, tuh." Juna mengacak puncak kepala Gladis.
Gladis menghela napas. "Kamu juga lagi kerja 'kan? Daripada aku nggak diajak ngobrol ya aku nonton."
Juna menaruh laptopnya, menarik Gladis untuk tidur di pahanya dan membiarkan wanita itu mencari posisi yang nyaman.
"Kalau mau aku perhatiin, bilang dong. Mana aku tahu kamu cemburu sama kerjaan."
Gladis mencebit. "Seharusnya tahu, kamu 'kan minta libur cuti buat pernikahan kita. Ini malah lanjut kerja."
"Iya, bawel."
Beberapa menit mereka diam, menonton film yang diputar Gladis. Tiba-tiba sebuah suara membuat Juna menunduk, suara dengkuran Gladis. Baru saja film terputar beberapa menit Gladis sudah tertidur pulas, sampai Juna tidak bisa menahan kekehan.
Jika sedang tidur, Gladis seperti bayi mungil yang meringkuk. Manis sekali, tidak banyak bergerak dan harus memeluk sesuatu. Dia juga tidak terusik dengan sentuhan Juna, tapi Gladis sensitif dengan suara.
"Katanya nggak tidur?" bisik Juna yang membuat Gladis mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pipi lelaki itu.
"Nanti bangunin ya, mau buat makan malam sama Mama."
"Iya, sayang."
__________
Tekan bintang di pojok kiri untuk membuat Author semangat Update!
Okta🍭
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble After Marriage (END)
RomansaPernikahan. Bukan hanya tentang aku dan kamu yang akhirnya bersama, tinggal seatap dan menghabiskan waktu berdua. Banyak hal yang akan berubah, yang membuat kita harus belajar melengkapi satu sama lain, berkomitmen dan selalu mengerti. Kadang juga...