CHAPTER XXVI

544 53 10
                                    

Debur ombak didepannya terlalu kuat, waktu seperti lenyap, kaki Jimin sudah berada didalam air asin. Ia terlelap, tangannya terangkat ke atas berusaha meraih sesuatu. Berharap sosok pria penyelamatnya datang. Nafasnya mulai tercekat, telinga Jimin berdengung. Tiba-tiba semua gelap.

"Minnie, bangun, babe!"

Mata Jimin terbuka dan memerah. Ia akhirnya bisa bernafas lega tapi tak ada air, tak ada rasa putus asa dan Jimin tidak mati. Wajah Jungkook yang begitu khawatir menyambutnya tapi Jimin malah terserang panik. Air mata mulai keluar dan ia mencari Ibunya.

Jungkook berusaha memberikan pelukan ditengah malam. Ia mendekap Jimin berusaha memberikan rasa nyaman untuk Jimin yang masih terasa dingin. Jungkook mencoba menenangkan Jimin dengan bisikan-bisikan menenangkan. Tangannya menepuk bahu Jimin dan mengusap kepalanya.

"Sshhh ssshhh kau baik-baik saja, besok kita hubungi ibumu ya? Ssshhh ssshhh..."

---------

Rumah sakit ini begitu dingin dan juga menakutkan. Namun sebuah troli dengan beberapa petugas berlari menuju ruang gawat darurat. Operasi dilakukan secepatnya setelah mendapat persetujuan.

Sekertaris Jin Kyung berusaha mencari tahu keberadaan anak semata wayangnya namun tak ada jejak dimana anak itu berada selain menghubungi temannya, Kim Taehyung.

---------

Pagi-pagi sekali Jimin mendengar suara handphone Jungkook berbunyi. Ia terbangun, kepalanya masih agak pusing karena semalaman ia menangis akibat mimpi buruknya. Jungkook begadang menemaninya hingga Jimin tertidur didalam pelukannya.

Ia menceritakan bagaimana masa lalunya dan tentang Ayah dan juga Ibunya. Jungkook begitu menunjukkan sosok pengertian yang berusaha menenangkan Jimin. Setidaknya perasaan Jimin sekarang sudah lebih baik dan lusa saat mereka pulang, Jimin akan menemui ibunya.

Jimin mengangkat telfon itu karena Taehyung yang menelfon Jungkook.

"Tae, Kookie masih tidur."

"Akhirnya Jimin, aku justru ingin berbicara denganmu! Tapi tolong, kau harus berfikir tenang dan jangan panik. Bisakah?" Suara Taehyung tentu tidak memberikan kesan baik-baik saja. Dada Jimin rasanya sesak sekarang.

Jimin mematung dan handphone Jungkook jatuh beserta dirinya yang terjatuh dilantai. Karena agak berisik, Jimin tak sengaja berpegangan pada meja tapi membuat gelas berisi air mineralnya jatuh juga. Jungkook pun terlonjak dari tidurnya.

"Minnie, ada apa?!" Jungkook meraih Jimin yang menangis. Ia langsung bersimpuh dan memeluk Jimin, suara Taehyung masih ada ditelfon memanggil Jimin, "Tae! Ada apa?"

.
.
.

Beruntung Jimin dan Jungkook mendapatkan tiket pesawat karena sekertaris Jin Kyung mengurus semuanya. Jimin sudah tidak bisa berfikir dengan kepala dingin. Mereka naik bussiness class agar Jimin bisa nyaman tapi percuma ia terus cemas.

Selama perjalanan, Jungkook dengan sabar berada disamping Jimin. Tak meninggalkan Jimin walau hanya untuk ke toilet.

Jungkook tidak bisa membayangkan perasaan Jimin sekarang. Ia pasti begitu menyesal dan kecewa pada dirinya yang pergi dan mendapati Ibunya kecelakaan disaat Jimin belum bisa menemuinya.

Jimin sama sekali tidak bisa tidur atau makan, rasanya tenaganya sudah habis. Pantas jika semalam ia mimpi begitu buruk, jik ini jawabannya, Jimin benar-benar mengutuk dirinya sendiri. Ia hanya menangis atau melamun, tak memikirkan apapun selain Ibunya yang berbaring dengan penuh luka. Jimin menyalahi dirinya atas semua yang terjadi walau Jungkook berusaha menenangkannya tapi Jimin tak bisa melumat ucapan Jungkook walau satu kata.

Our Time • Jikook {REVISING-COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang