• C H A P T E R 6 | SUNA, BEST BROTHER? •

235 33 7
                                    

Suna Rintarou benar-benar menuruti apa yang aku mau. Mulai dari pergi ke cafe kesukaanku, pergi ke toko buku untuk mencari koleksi baru, membeli sepatu yang sudah lama aku idamkan, memberikan boneka Totoro yang besar, dan tak lupa make up serta skincare yang selama ini hanya bertengger di keranjang aplikasi online yang berwarna oranye itu. Terbesit di pikiranku sejenak, dengan adiknya saja begini apalagi dengan Nana yang notabenenya adalah kekasih Suna? Kalau planet bisa dibeli, sepertinya Suna akan memberikan itu pada Nana.

Sebenarnya Suna tidak sering begini. Hanya jika ia sedang pulang ke Indonesia, barulah dia memanjakanku meski tak jarang juga mengajak gelut. "Seneng, ya?"

Aku menoleh ke samping tepat dimana Suna berdiri. Dari nada dia bicara, agaknya dia ingin memulai pergelutan antara adik dan kakak lagi. Padahal baru beberapa jam kita sedang harmonis-harmonisnya.

"Iya, seneng. Jangan kapok-kapok, ya! Belum kelar gue porotinnya." ucapku, lalu tersenyum lebar.

Suna mendengus. "Gak masalah, udah biasa. Tapi..."

Pandanganku jadi terfokus ke Suna, karena pembicaraan yang menggantung itu.

"... lo mau maafin gue, kan?"

Kentara sekali raut wajah Suna merasa bersalah. Jujur, aku sudah memaafkannya sedari ia membayar make up serta skincare yang aku butuhkan. Akan tetapi, sepertinya tidak apa-apa kalau menjahilinya? Dasar, aku. Mau itu kakak atau adik pasti akal bulus selalu menyertai.

"Mau, tapi belum."

Kedua pundak Suna lantas turun, tanda dirinya kehilangan harapan. "Gue bilang belum dimaafin. Bukan gak dimaafin." jelasku menyemangati yang pastinya tidak merubah Suna jadi semangat.

"Iya, iya. Habis ini mau kemana lagi?"

Otakku bekerja dua kali lipat ditanyai begitu. Pasalnya, aku sudah mengunjungi dan melakukan hal yang kumau hari ini. Namun, aku tidak mau mengakhiri perjalanan ini, lalu pulang ke rumah. Bahkan matahari baru saja terbenam. Malam masih panjang.

Pikiranku buyar tatkala tiba-tiba Suna menarikku mendekat kepadanya. Aku jadi linglung. "Lo jalan kakinya aja kali, ya? Pikirannya, mah kemana tau. Hampir aja ditabrak lagi."

Masih dengan kebingunan yang sedikit tersisa, ada seorang wanita yang memegang troli sedang meminta maaf kepadaku dan juga Suna. Suna membalasnya dengan senyuman, kemudian berkata bahwa tidak apa-apa, ini ada kesalahan dari dirinya juga. Selepasnya Suna memperhatikan diriku yang malah mengalihkan pandangan ke arah lain. Helaan napas terdengar darinya.

"Mau ambil snack apa lagi?"

Benar, saat ini Suna sedang menuruti keinginanku yang lain untuk membeli berbagai macam snack di supermarket. "Udah, yogurt yang terakhir itu."

Suna menganggukkan kepala, kemudian dengan satu tangan mendorong troli ke arah kasir. Sebelum itu, Suna berkata padaku, "Sini deket-deket. Heran punya badan jadi sasaran tabrak mulu."

Aku menatap Suna garang dan mencubit lengannya. Suna mengaduh bohongan. Pertengkaran kecil itu mengakhir perjalanan kakak dan adik di supermarket.

Setelah memasukkan belanjaan ke bagasi mobil, aku maupun Suna duduk di kursi masing-masing. Suna yang menyetir pastinya. Menyalakan mesin mobil, ia tidak langsung berusaha mengeluarkan mobil dari parkiran. Seperti mendapatkan petunjuk, agaknya aku paham mengapa Suna malah diam. "Gue gatau mau kemana lagi, tapi gue gak mau langsung pulang. Gimana kalo sekarang turutin kemauan lo?"

Suna menoleh ke arahku. "Lo beneran gak ada yang dimau lagi?"

Aku menggeleng. Tak lama, akhirnya Suna mengendarai mobilnya untuk keluar dari area supermarket. Di perjalanan sama sekali tidak ada yang bicara. Hanya musik yang menjadi pengiring perjalanan kami. Bukan berarti kami memulai cold war lagi. Memang begitu kebiasaanya. Suna biasa mendengarkan musik dan sesekali bersenandung, sedangkan aku biasa mendengarkan musik sambil memperhatikan pemadangan luar dari dalam kaca mobil.

Rengat [Kita Shinsuke x Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang