Eps 10

471 44 0
                                    


Semenjak hari memalukan itu, Tiara mengurung diri di kamar. Ia tak mau bertemu siapapun termasuk teman-temannya sendiri.

Ia takut. Takut semua orang mencemooh nya. Tiara tau, teman-temannya akan membela ia. Tapi Tiara tetap tak ingin bertemu orang-orang. Ia sedih dan kecewa.

Tiara benci Arfan. Tiara benci pacar cowok itu. Tiara ingin membalas. Tapi ia tak sanggup.

Tiara uring-uringan. Memikirkan reputasinya hancur begitu saja karena mengejar cowok yang sama sekali tidak ada perasaan terhadapnya.

Apa yang harus Tiara lakukan sekarang? Apa lebih baik Tiara mengakhiri semua ini?

Ya. Mungkin Tiara harus mengakhiri ini semua. Mungkin ia harus mengakhiri penderitaan batinnya ini dengan cara mudah.

Tiara berdiri dari pojok kamar. Tatapan matanya tajam menghunus. Mendekati nakas dan mengambil pisau pemotong buah yang tertancap di apel merah. Sebentar ia memandang pisau agak besar itu. Tajam seperti tatapannya.

Tanpa pikir panjang, Tiara menusukkan pisau tersebut tepat ke perutnya.

Darah memuncrat. Merembes dari badan Tiara dan menetes ke lantai kamarnya.

Tiara terbelalak. Kesakitan menguasainya. Tidak bisa lagi diungkapkan lewat kata-kata bagaimana rasanya. Yang jelas, Tiara benar-benar kesakitan.

Kedua kaki Tiara melemas. Jatuh lunglai ke lantai kamar yang dingin. Pisau itu masih tertancap. Memperderas cairan merah kental yang keluar dari perutnya.

Di sela-sela kesadaran, netra yang mulai layu itu menangkap siluet seseorang jatuh dari plafon kamar. Tiara berkedip beberapa kali. Tak punya lagi kemampuan untuk mengeluarkan ekspresi kaget.

Orang ber-hoodie itu mendekat. Dengan sepasang sarung tangan membungkus tangannya. Dia berjongkok di dekat kepala Tiara. Tiara tak mampu mengeluarkan suara dan juga tak mampu melakukan apa-apa. Yang bisa dilakukan nya hanya menatap sayu orang itu dengan kesakitannya.

"Tolong ..." Tiara berkata parau. Dia merasa menyesal karena melukai dirinya sendiri. Andai waktu bisa diputar kembali, Tiara tak akan melakukan hal bodoh semacam ini.

Orang itu menatap Tiara. Dia tersenyum iblis. Bahagia melihat cewek ini menderita. Tapi, bukan hanya ini kesakitan untuk Tiara. Ia harus lebih menderita dari ini. Orang itu tak akan pernah membiarkan Tiara mati dengan mudah.

"Tolong ..." Lagi, Tiara berbisik parau. Tangannya terangkat kepada orang pakaian serba hitam itu. Namun langsung ditepis kasar.

"Tolong?" ulang orang itu. Tiara merasa familier dengan suaranya. Manik matanya masih menatap layu.

"Kenapa minta tolong? Kan lo nusuk diri lo sendiri. Nikmatin aja kesakitan lo itu."

Tiara tak mampu berkata-kata. Kesakitan semakin mendera.

"Lo pantes ngelakuin hal ini. Bukannya lo dulu pernah bilang, kalo gue jadi elo, gue lebih milih bunuh diri daripada nanggung malu!"

Di detik-detik terakhir hidupnya, Tiara ingat. Otaknya kembali ke masa lalu dimana seluruh sekolah menyaksikan suatu kejadian.

Hari itu, para guru sedang pergi ke rapat dinas. Semua murid SMA Carmina High School leha-leha dimana pun tempat yang nyaman dijadikan tempat tongkrongan. Tapi berbeda dengan cowok rambut brown blonde dan cewek rambut abu-abu. Menjadikan mereka sebagai pusat perhatian.

Mereka berdiri ditengah lapangan sambil saling tatap. Yang cowok menatap remeh, dan yang cewek kecewa. Dibelakang si cowok ada empat orang temannya menatap cewek rambut abu-abu dengan sinis dan remeh.

ANTAGONIS TWINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang