"Gila. Itu duit lima belas juta buat beli hp Mas?" emosiku meledak begitu tiba di rumah. Mas Ar tidak tahu aku udah marah sejak di rumah ibunya.
"Mas pikir Mas hidup sendiri?" aku melemparkan tas tanganku ke atas kursi. "Istrimu saja pakai ponsel biasa Mas bagaimana bisa kamu perlakukan adikmu seperti itu?"
Mas Ar yang tahu kenapa aku marah, menjawab dengan santai. "Bulan depan aku beli untukmu."
"Aku enggak minta!" kini aku berteriak. "Aku istrimu, teman hidupmu harusnya kamu runding dulu. Kita kasih butuh uang banyak, mau selamanya tinggal dirumah kontrakan ini?!"
"Kalau aku memberitahumu tidak akan kamu izinkan, Dis."
Dia membela diri? "Setiap bulan Mas sisihkan gaji untuk orang tua Mas, aku marah?" aku ingin membuka matanya. "Disaat aku butuh kamu bilang tunggu bonus, aku marah Mas?"
Menarik nafas, emosiku tak kunjung reda. "Mas mau tahu duit dari mana aku beli lipstik, beli skinker? Aku jualan online Mas. Padahal gaji suamiku mampu membeli itu semua tapi kamu enggak melakukannya!" dengan tegas aku berkata lagi. "Hampir lima bulan ini aku yang bayarin tukang, Mas mikir enggak?"
Bilang ibu butuh duit tahunya beli iPhone buat adiknya, siapa yang enggak marah? Lima tahun bekerja enggak kelihatan apapun ke mana duitnya? "Mas menyembunyikan sesuatu dariku?" karena gaji yang begitu besar tapi rumah juga belum selesai. Uang bayar tukang sering barengan dengan uangku. Lima bulan ini aku terus yang membayarnya.
"Apa maksudmu?"
Aku tahu gaji mas Ar karena aku yang pegang buku rekening, tapi saat gajian aku hanya diberikan dua juta setiap bulan untuk semua keperluan. Belanja rumah tangga, Keysa dan tukang. Aku kudu hemat makanya jualan online supaya terbantu.
"Setiap bulan aku cuma dikasih dua juta, ke mana uang lainnya?"
Mas Ar diam, tapi wajahnya terlihat kesal.
"Sisanya ke mana Mas? Dari sebelas juta gaji Mas, kemana uang itu?"
"Kamu mau menghitung?"
Aku mengangguk. Bila perlu aku mau lihat nota pengeluaran. "Kita belanja bahan bangunan bareng, jadi aku tahu betul berapa uang yang Mas keluarkan."
"Kamu mencurigaiku, Dis."
"Setelah tahu Mas membelikan Yeni ponsel semahal itu apa aku harus diam?" tanyaku berang. "Belum lagi ibu yang setiap bulan ada keperluan dan Mas enggak pernah runding selalu ngasih sesuai permintaannya." kepalaku rasanya mau pecah. "Aku istri Mas. Bukan mayat! Aku perlu tahu karena kita yang jalanin rumah tangga."
"Salah aku beli untuk Yeni?"
"Salah! Apalagi dengan harga semahal itu. Kita masih ngontrak Mas! Kita masih butuh biaya hidup." mataku memerah. "Rumah belum rampung, tapi Mas enak saja ngeluarin duit. Mas sama sekali tidak memikirkanku."
"Kamu perhitungan Dis!"
"Kamu yang royal sama keluargamu!" aku menangis mendengar bentakan mas Ar. "Kamu tidak menghargaiku. Tahu begitu aku saja yang kerja." aku tidak main-main dengan ucapanku.
Belum selesai aku bicara, mas Ar menjawab telepon yang kuketahui dari adiknya. Aku menyuruh mas Ar mengeraskan volume.
"Yeni butuh laptop, Mas. Kalau bisa yang ada merek apel itu."
"Laptop kemarin ke mana?" suaranya pelan, terlihat sekali menjaga.
"Memorinya nanggung. Tugas Yeni makin banyak. Enggak mahal kok Mas. Cuma sebelas juta."
Sebelas juta enggak mahal? Karena tidak tahan, aku menjawab, "Minta mas Iyan, Yen. Kami lagi kepepet."
Tiba-tiba sambungan diputus dan aku mendapat tatapan tajam dari mas Ar. "Kenapa harus bilang kepepet? Orang tuaku tahu aku sanggup, kenapa membohongi mereka?"
"Siapa yang berbohong?" kesalku. "Seandainya lima bulan ini aku tidak membayar tukang, gimana rumah kita? Apa itu tidak termasuk kepepet?"
"Rumah itu nanti juga selesai, Dis. Keluarga lebih penting sekarang!" mas Ar memarahiku.
"Tiga tahun, mau berapa lama lagi merampungkan rumah itu?"
"Aku bilang akan selesai Dis. Sekarang Yeni sedang kuliah, kamu mau pendidikannya terhenti?"
"Ada mas Deri, mas Iyan! Sekali ini saja lihat rumah tangga kita! Jangan sedikit-sedikit ibu, keluargamu yang Mas pikirkan!"
"Kamu serakah Dis!" mas Ar keluar dari kamar.
"Mas yang serakah dengan keluarga Mas!" aku tidak mau kalah. "Mas lupa diri." sebelum mas Ar pergi aku mengatakan satu hal. "Kalau memang seperti ini terus, aku tidak apa kamu ceraikan Mas. Sakit hatiku setiap hari!"
Tidak ada jawaban lagi dan aku melihat mas Ar masuk ke mobil.
Mengambil ponsel aku menghubungi mba Lea dan mengatakan semuanya. Karena hari sudah malam, mba Lea memutuskan datang besok. Memintaku sabar tidak mengambil langkah yang salah.
******
Entah jam berapa mas Ar pulang semalam, karena aku tidur di kamar Keysa dan saat bangun menemukannya sedang menyiapkan sarapan bersama Keysa.
Mengambil gelas, aku menuangkan air putih dan menenggak sampai habis. Setelah itu aku bersiap kembali ke kamar Keysa.
"Sarapan dulu."
Aku tidak menjawab dan tidak pula menghentikan langkah. Melihat wajahnya bikin kesal, maaf aku masih marah.
Belum lama menarik selimut, kudengar suara mas Ar menyuruhku keluar karena ibu yang datang. Mau apalagi mereka?
"Matamu sembab."
Tidak peduli pada ucapan mas Ar, aku keluar. Emosiku semakin menggebu melihat Yeni juga ada di ruang tamu kecil itu.
"Ibu datang untuk minta tolong." ibu mertuaku tidak tahu basa-basi, tahunya cuma menyindir.
"Yeni sedang banyak tugas di kampus, jadi sudah butuh laptop."
Dia bahkan tidak perlu tahu, atau setidaknya canggung melihat penampilanku dengan mata sembab habis berperang. "Maaf ya Bu. Aku juga lulusan sarjana, tapi aku tetap lulus dengan nilai terbaik tanpa benda itu. Kalaupun Yeni sangat butuh, tidak bisakah memintanya pada mas Iyan atau mas Deri?" aku juga tidak mau berbasa-basi.
Mas Ar berdeham. Aku tahu dia marah dengan jawabanku, tapi berusaha tenang di depan keluarganya. "Bagaimana kalau bulan juli?" artinya selang satu bulan.
"Tidak bisa Mas. Setoran ke toko bangunan sudah jatuh tempo," jawabku.
Raut ibu mertuaku berubah. Nampaknya ia mulai marah. "Tidak apa-apa. Kalaupun Yeni berhenti kuliah tidak masalah."
"Yeni akan tetap kuliah, Bu." mas Ar menahan ibunya.
"Kamu urus saja istrimu." ibu mertuaku bersiap pergi.
"Maaf Bu." ingin sekali aku membuka mata ibu mertuaku. "Aku tidak pernah marah saat mas Ar membantu ibu asalkan ia tahu tanggungjawabnya."
"Kamu istri yang tidak tahu diri."
Kalimat yang sangat menohok dan salah tempatnya. "Ibu menghinaku?"
"Gendis!" mas Ar menatap tajam ke arahku.
"Aku mengatakan yang sebenarnya." tatapan murka dilayangkan ibu mertuaku.
"Kalau begitu, ambil kembali anak Ibu. Biarkan dia menjadi milik Ibu sampai mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."