"Jangan memfitnah ibu." mas Ar mengira aku berbohong. Bukan ingin mengadu, mengatakan tentang bungkusan yang kuambil kemarin hanya ingin mas Ar tahu kebenarannya.
"Aku akan memperlihatkan kepadamu." bukan sekarang, karena seseorang sudah mengamankan benda itu. "Mas perlu tahu, ada atau tidaknya masalah ini ibumu tetap akan menyingkirkanku dengan caranya."
"Kamu bisa mempertanggungjawabkan ucapanmu?"
"Itu bubuk racun." tidak perlu meminumnya, dihirup saja akan menghilangkan nyawa. "Kali ini Mas tidak bisa membelanya." aku berkata dengan tegas. Dua perkara dalam satu waktu, ini adalah pencapaian titik akhir kesabaranku.
Raut terkejut di wajah mas Ar menjelaskan kegalauannya. Aku tahu bagi mas Ar ibu tetap malaikatnya, namun dari sudut pandangku wanita itu sudah berlebihan dalam bersikap dan pantas kuanggap iblis. Tak akan sirna bayangan raut sadis saat beliau menjambak rambutku. Jika racun sudah disiapkan bukankah ibu mas Ar sudah menyusun rencana dengan matang dan bisa jadi ini adalah akhir dari rencananya.
"Aku pergi." langkahku terhenti karena mas Ar menarik tanganku.
"Kita tidak akan bercerai."
Aku menggeleng dan melepaskan tangannya. "Kecewaku sudah cukup." jujur masih ada perasaan ini, tapi kalah dengan kesakitan. "Aku sudah lelah."
"Gendis."
Tatapannya kubalas, banyak rangkai kata mewakili luka yang bisa kujabarkan tapi rasanya percuma. Suaraku pernah tak berarti. "Komitmen kita hanya sampai di sini."
"Aku jahat, karena terlalu membela keluarga dan untuk itu aku punya alasan yang kamu ketahui, apakah alasan keluarga membuatmu ingin mengakhiri pernikahan ini?"
Aku mengangguk. Pelakor dan campur tangan mertua adalah dua hal yang sama-sama menyakitkan. Kuakui kelemahan mas Ar hanya menyangkut keluarganya, lainnya tidak ada. Terlalu mengurus adik dan ibu sehingga lupa jika dirinya punya keluarga yang lebih penting.
"Mungkin Mas mengerti kata lelah."
"Kamu tidak melihatku?"
Apa yang perlu kulihat darinya? "Sebagai suami, menurutku Mas gagal."
Mata mas Ar menentang, tak ada keraguan. "Jika benar tentang kesalahan ibu yang kamu katakan, bukankah sudah berakhir?"
"Bagaimana dengan prinsipmu?" aku bukan sekadar bertanya. Laki-laki yang dipegang omongannya, dan berulang kali mas Ar melanggar ucapannya dan itu semua karena keluarganya.
"Aku punya keluarga, selama ini aku tidak menelantarkan kalian. Apakah itu tidak bisa menjadi penilaianmu?"
Iya. Aku tahu. Mas Ar hangat padaku dan Keysa. Namun, keseluruhannya selalu berkaitan dengan ibu dan adik, sehingga aku menjadi yang kedua.
"Tanyakan hati Mas, lebih istimewa mana antara aku dan keluarga Mas?" aku yakin mas Ar tahu jika aku bukan istri jahat. Aku tidak pernah menjelekkan ibu dan adiknya, tidak pernah menyuruhnya berhenti memberikan jatah uang belanja bulanan. Aku sering mengatakan padanya jangan berlebihan artinya harus ada sikap awas mana tahu ada kepentingan mendadak sementara sedikitpun tidak ada simpanan.
"Aku banyak kekurangan. Namun aku memintamu mengingat lagi, adakah sisi baikku?"
Tidak memungkiri, tapi aku rasa akan sulit mengingat banyak hal tidak baik telah terlewati.
"Aku tidak bisa berjuang lagi." mengatakan dengan jujur, setelah lima malam tak lagi bersama sepertinya jarak mulai tercipta. Yang dikenang hatiku bukan hal baik, yang diserap jiwa bukan juga kebahagiaan.
"Aku yang akan melakukannya."
"Aku ragu Mas bisa melakukannya." yang lebih penting, aku sendiri. Sedikitpun tak ingin menoleh karena jejak kecewa telah mengalahkan semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."