"Hari ini Mas gajiankan?"
"Eum."
"Aku nyusul ke kantor nanti, kita ke Bank bareng." kali ini aku mau melihat gajinya dengan mata kepalaku. Semua uang itu bukan untuk foya-foya, sudah jelas ke mana akan kupergunakan uang itu.
"Jangan berlebihan, Dis." mas Ar menatapku dingin. Sejak kejadian tiga hari lalu, dia mendiamkanku. Tak akan bicara jika bukan aku yang mulai. Dan mulutku belum gatal untuk ngobrol santai dengannya selama sikapnya lebay terhadap Keluarganya. "Kamu mau mempermalukanku?"
"Oke. Aku tunggu di mobil."
"Aku akan bawa pulang uang itu ke rumah."
Menatapnya jeli, aku menilai raut datar mas Ar. "Kamu enggak bohong Mas?"
"Kamu tunggu saja."
Oke. Kali ini aku mau lihat seberapa besar kejujuran seorang Armada. "Baiklah. Aku tunggu."
Sebelum mas Ar keluar dari rumah, aku mengingatkan lagi. "Sebelas juta. Jangan sampai kurang." aku berkata dengan nada rendah.
Setelah mas Ar berangkat, aku mengantar Keysa ke sekolah yang terletak tidak jauh dari kontrakan. Rutinitas pagi sambil belanja di gerobak sayur yang sering mangkal di pos jaga.
"Nanti pulangnya jangan bercanda di jalan," pesanku saat Keysa mencium punggung tanganku dan masuk ke perkarangan sekolah.
"Enggak sama suamimu, Dis?"
Kulihat mba Weni, adik pak RT yang juga mengantar anaknya.
"Enggaklah Mba." ngapain sama suami, toh sekolah Keysa dekat.
"Aku lihat mertuamu di mobil mas Ar, makanya bingung lihat kamu di sini. Kirain ada acara ap---"
"Mba lihat di mana?"
Mba Weni menunjuk ujung jalan. Ibu mertuaku dalam mobil mas Ar, ada apa?
"Ya udah, yuk ke mang Ikal. Entar nggak kebagian."
Dengan pikiran bercabang aku mengikuti mba Weni. Apalagi yang direncanakan ibu mas Ar sampai harus naik mobil di jalan. Usai belanja, aku bergegas pulang. Mengambil ponsel, aku menghubungi mas Ar. Tetap mencoba menelepon hingga dia menjawab. Hampir sepuluh menit mencoba, hasilnya tetap nihil. Aku akan menunggu, kali ini apalagi alasannya.
******
Harusnya jam empat sore mas Ar sudah pulang, aku masih sabar menunggu walaupun jarum jam sudah bergerak lewat dari angka lima. Prasangka sejak mendengar berita dari mba Weni sudah menguasai amarahku.
Aku tidak akan mendengar apapun alasannya nanti. Ketika deru mobil terdengar, aku masih tenang dan baru membuka pintu saat mas Ar mengetuk.
Dia sendirian. Wajahnya terlihat lelah, dan aku mengurungkan niat untuk bertanya hingga mas Ar selesai mandi dan makan malam.
"Keysa mana?"
"Ngaji."
Mas Ar mengambil handuk di tanganku dan masuk ke kamar mandi. Layar hp-nya berkedip pertanda ada pesan masuk, aku menahan langkah dan jari untuk tidak melihatnya. Aku ingin mendengar langsung dari mulutnya, ada kejadian apa hari ini sampai ibu harus mencegat mobilnya di pinggir jalan.
Kutemani mas Ar makan malam tanpa bicara. Setidaknya kuberikan waktu untuk melepaskan ketegangan karena seharian ini bekerja. Ikan goreng, sayur rebus dan sambel tempe adalah menu andalan mas Ar. Aku sendiri tidak makan dari tadi siang.
"Besok kita ke toko bangunan?" aku mulai pembicaraan.
"Sudah kamu rincikan?"
Aku mengangguk. "Setoran enam juta, belanja baru sekitar tiga juta."
Tidak ada tanda keberatan, dan kecurigaanku mulai menyurut.
"Mau pergi jam berapa?" tanya mas Ar.
"Kalau bisa jam makan siang. Aku tunggu di toko besok." karena tidak menemukan hal aneh, aku menyinggung tentang ibunya.
"Sepertinya aku melihat ibu tadi pagi," kataku dan aku melihat mas Ar tidak kaget.
"Iya. Ibu mengajakku melihat tanah."
"Ibu mau beli tanah?"
Mas Ar mengangguk. "Untuk Yeni, dia kan belum dapat jatah."
Emangnya mas Ar dapat jatah apa? Sejak menikah dia hanya membawa satu tas pakaian dan ijazah sebelum tinggal di rumah almarhum orang tuaku dan berakhir di kontrakan ini.
Aku tidak bertanya lagi. Cukup tahu ibu mau membeli tanah dan tidak bertanya asal usul uang beli tanah. Yang penting gaji bulan ini kelihatan dan besok kami ke toko bangunan.
******
Jam dua belas siang aku sudah siap berangkat ke toko bangunan. Setengah jam lebih awal tidak apa, sekalian aku mau membeli mukena baru untuk Keysa.
"Loh, Mas? Kenapa enggak tunggu di sana?"
"Bareng saja. Lagian ada waktu luang sampai jam dua." aku tidak bertanya lagi. Mengambil dompet aku mengajak mas Ar pergi.
"Bawa emasmu Dis."
Apa? "Untuk apa emasku?"
"Kita gadaikan. Minggu depan Mas ambil lagi."
"Semalam Mas bilang hari ini siap ke toko bangunan, sekarang apa lagi?"
Mas Ar ingin meraih tanganku, cepat aku mundur satu langkah. "Kemarin Mas berjanji membawa gaji Mas pulang, ke mana uang itu?"
"Ada Dis." raut mas Ar lunak. "Minggu depan uang itu dibalikin. Sekarang pakai emas-mu dulu ya?"
Nafasku memburu, "Siapa yang minjem duit sebanyak itu?"
"Ada." mas Ar tidak menjawab dengan jelas. "Ambil emas-mu kita pergi sekarang. Aku sudah telepon tokonya."
Aku menepis tangan mas Ar saat ia berusaha meraih tanganku. "Mas yang bayar tanah itu?"
"Aku mengutangi Ibu, minggu depan dibayar Dis."
Aku tidak percaya. Janjinya kemarin, ditambah keyakinannya semalam untuk menyetor ke toko bangunan. Dia berani meyakinkanku karena mengandalkan emas milikku?
"Pergi saja Mas. Lupakan rumah kita. Lupakan semuanya." aku kecewa. "Pergi dan peluk ibumu."
"Gendis!"
"Kamu yang mau Mas. Ibumu juga sama. Begini terus sama saja kamu bunuh aku! Emas itu bukan kamu yang beli, bukan juga ibumu! Aku beli dengan hasil keringat untuk anakku! Bukan untuk menghidupkan kalian!"
Keluar dari rumah, aku bergegas ke simpang menunggu taksi lewat. Aku harus memberi pelajaran pada ibu mas Ar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku selingkuh punya alasan Mas
Romance"Ibu terus yang kamu pikirin Mas!" "Kamu tidak kekurangan apapun kan?" "Aku menyerahkan posisi itu untukmu karena aku tahu Mas yang wajib mencari nafkah!" Mas Armada menatap tajam ke arahku. "Ini pertama kali ibu minta bantuan, Dis."